Penghilangan Liputan Demonstrasi Agustus 2025 di Televisi Nasional: Analisis Teori Agenda Setting McCombs & Shaw dan Dampaknya terhadap Kesadaran Politik Anak Muda Indonesia

Demonstrasi Agustus 2025

Milenianews.com, Mata Akademisi – Dalam lanskap komunikasi politik Indonesia, media massa memegang peran strategis dalam membentuk persepsi publik tentang isu-isu sosial dan politik. Aksi-aksi unjuk rasa besar yang terjadi pada bulan Agustus lalu menjadi peristiwa politik penting yang melibatkan ribuan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil dengan membawa isu kebijakan pemerintah, kondisi sosial-ekonomi, dan kritik terhadap praktik kekuasaan. Di tengah dinamika tersebut, muncul kritik dari sebagian kalangan bahwa pemberitaan di sejumlah stasiun televisi nasional dinilai terbatas, terfragmentasi, atau kurang proporsional jika dibandingkan dengan skala peristiwa dan ramainya pembahasan di ruang digital. Situasi ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana kondisi tersebut dapat dibaca melalui kacamata Teori Agenda Setting McCombs dan Shaw, serta apa implikasinya bagi demokrasi dan kesadaran politik anak muda di Indonesia.

Baca juga: Love Bombing pada Generasi Z: Analisis melalui Teori Atraksi Interpersonal Byrne dan Clore

Teori Agenda Setting McCombs dan Shaw menegaskan bahwa media tidak secara langsung menentukan apa yang dipikirkan khalayak, tetapi memengaruhi isu apa yang dianggap penting untuk dipikirkan terlebih dahulu melalui seleksi, intensitas, dan penekanan pemberitaan. Dalam kerangka ini, besarnya porsi liputan, penempatan berita, serta konteks narasi akan berkontribusi pada pembentukan hierarki kepentingan isu di benak publik. Ketika suatu peristiwa politik besar mendapat porsi peliputan yang terbatas atau ditempatkan di posisi yang kurang menonjol, dapat muncul fenomena yang disebut sebagai “issue omission”, yaitu penghilangan atau peminggiran isu dari pusat perhatian publik. Dalam konteks unjuk rasa Agustus, kesan bahwa liputan di televisi tidak sebanding dengan skala aksi dan ramai diperbincangkan di media sosial dapat dibaca sebagai indikasi berjalannya mekanisme agenda setting yang cenderung mengecilkan signifikansi peristiwa tersebut di ruang publik arus utama.

Televisi nasional masih menjadi salah satu sumber informasi utama, terutama bagi kelompok usia yang lebih tua dan penonton di wilayah dengan akses internet terbatas. Legitimasi simbolik televisi sebagai media “serius” membuat banyak orang menganggap bahwa isu yang muncul di layar TV adalah representasi realitas yang sahih dan penting diperhatikan. Jika demonstrasi besar hanya tampil secara singkat, tanpa pendalaman, atau bahkan tidak muncul dalam jam tayang utama, sebagian publik dapat menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut bukan isu prioritas. Di titik ini, agenda setting bekerja secara halus bukan dengan berkata bahwa demo tidak penting, tetapi dengan tidak memberi ruang yang cukup sehingga maknanya menyusut di mata khalayak. Dengan demikian, televisi tidak hanya menyampaikan realitas, tetapi ikut membentuk realitas sosial tentang apa yang dianggap layak dibahas secara luas.

Media tidak bekerja dalam ruang hampa; ia beroperasi dalam struktur ekonomi-politik yang sarat kepentingan. Industri televisi di Indonesia banyak dimiliki oleh konglomerat yang memiliki kedekatan dengan partai politik atau kekuasaan negara, sehingga keputusan redaksional sering kali tidak sepenuhnya lepas dari kalkulasi politik dan ekonomi. Dalam situasi ketika demonstrasi berpotensi mengganggu citra pemerintah atau elite tertentu, dapat terjadi kecenderungan meredam liputan, menggeser fokus, atau membingkai peristiwa secara sedemikian rupa agar tidak memunculkan persepsi ancaman terhadap stabilitas kekuasaan. Di sinilah konsep agenda building menjadi relevan: agenda media tidak hanya dibentuk oleh pertimbangan jurnalistik, tetapi juga oleh aktor-aktor politik dan ekonomi yang memiliki sumber daya untuk memengaruhi seleksi dan penonjolan isu.

Anak muda merupakan kelompok yang sangat potensial menjadi aktor perubahan politik karena memiliki akses tinggi terhadap teknologi, kecepatan konsumsi informasi, dan kecenderungan kritis yang meningkat di era digital. Namun, mereka juga rentan terhadap distorsi dan manipulasi informasi, terutama ketika terdapat jurang antara narasi media arus utama dan arus informasi di media sosial. Absennya liputan komprehensif mengenai demonstrasi di televisi dapat mengurangi kesempatan anak muda untuk melihat struktur argumen demonstran, memahami konteks kebijakan yang dipersoalkan, dan menilai sendiri legitimasi aksi tersebut. Dalam jangka panjang, praktik ini berpotensi berkontribusi pada proses depolitisasi, yakni pengurangan ruang dan minat untuk terlibat secara sadar dalam proses politik, karena isu-isu krusial tidak tampil sebagai agenda bersama di ruang publik resmi.

Demokrasi mengandaikan warga negara yang memiliki akses memadai terhadap informasi politik yang relevan, beragam, dan mendalam agar mampu mengambil keputusan secara rasional. Ketika isu-isu kritis seperti demonstrasi besar tidak mendapatkan ruang liputan yang sepadan, kualitas demokrasi menjadi taruhannya. Publik dapat mengembangkan persepsi bahwa situasi politik baik-baik saja, tidak ada penolakan signifikan, atau bahwa kritik terhadap pemerintah hanya “isu pinggiran” yang tidak perlu dipikirkan secara serius. Kondisi ini menguntungkan struktur kekuasaan yang ingin mempertahankan status quo, karena tekanan publik untuk melakukan perubahan menjadi lemah. Dalam konteks ini, Teori Agenda Setting membantu melihat bahwa penghilangan atau peminggiran liputan demo Agustus bukan semata keputusan teknis editorial, tetapi bagian dari proses politik di mana media menjadi arena kontestasi kekuasaan dan alat pengelolaan perhatian publik.

Baca juga: Oppressing Voices: Spiral of Silence and the Silencing of Sexual Harassment Victims in Indonesian Digital Spaces

Penting untuk menegaskan bahwa analisis di atas tidak serta-merta menyimpulkan adanya instruksi langsung dan eksplisit dari pemerintah kepada semua stasiun televisi untuk menghilangkan liputan demonstrasi. Kesimpulan yang lebih bertanggung jawab secara akademik adalah bahwa terdapat indikasi kuat struktur ekonomi-politik dan praktik agenda setting yang dapat menghasilkan kecenderungan meredam atau meminggirkan isu-isu yang dianggap sensitif. Oleh karena itu, esai ini sebaiknya diposisikan sebagai analisis kritis yang menawarkan argumentasi dan hipotesis, bukan sebagai tuduhan pasti, sambil tetap menekankan perlunya riset lanjutan seperti analisis isi pemberitaan, wawancara dengan pelaku media, dan kajian kebijakan penyiaran untuk menguji sejauh mana dugaan tersebut terbukti dalam praktik.

Penulis: Ghifa Salsabila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *