Mata Akademisi, Milenianews.com – Sejarah pemikiran Islam dipenuhi dinamika kompleks, dari mulai perbedaan tafsir hingga perdebatan antara aliran-aliran teologis yang melahirkan beragam ideologi keislaman. Salah satu kelompok paling kontroversi dalam sejarah ini adalah Khawarij. Mereka bukan sekedar faksi politik yang muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW, tapi juga merepresentasikan sebuah pola pikir teologis yang keras, eksklusif, dan ekstrem. Meskipun secara fisik kelompok Khawarij telah punah, semangat dan doktrin mereka terbukti tetap hidup dalam berbagai bentuk ekstremisme keagamaan modern.
Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Secara historis, mereka muncul pasca Perang Ṣiffin (657 M) antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Setelah peristiwa tahkim (arbitrase) yang dianggap mereka sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah, sekelompok orang yang awalnya mendukung Ali kemudian “keluar” dan membentuk faksi sendiri dengan ideologi yang sangat literal dan ekslusif.
Baca juga: Mengapa Ilmu Kalam Penting Dipelajari oleh Mahasiswa Muslim Saat Ini?
Ciri khas pemikiran Khawarij adalah keyakinan bahwa siapapun yang melakukan dosa besar otomatis keluar dari Islam dan halal darahnya. Ini dikenal dengan doktrin “al-Murtakib al-Kabirah”. Tidak ada ruang untuk taubat atau pemahaman kontekstual atas kesalahan individu. Mereka memaksakan interpretasi tunggal terhadap wahyu dan menolak pluralitas dalam ijtihad keagamaan. Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali (w. 505 H) dan Ibn Taimiyah (w. 728 H) menyebut metode berpikir Khawarij sebagai bentuk ektremisme tekstual (al-Jumud al-Nassiy).
Penting untuk dicatat bahwa radikalisme Khawarij tidak lahir dalam kekosongan. Khawarij muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan politik, krisis otoritas, dan kekecewaan sosial. Karen Armstrong dalam bukunya “Fields of Blood” menyatakan bahwa kekerasan dalam agama seringkali berwujud ekspresi dari kegelisahan sosial yang dibungkus dengan narasi teologis. Dalam kasus Khawarij, teks-teks agama digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan pemberontakan dan kekerasan.
Secara kelompok, Khawarij memang sudah tidak ada, akan tetapi cara berpikir mereka masih hidup dan berkembang dalam bentuk baru. Ada sejumlah indikator kuat yang menunjukkan bahwa semangat Khawarij kembali muncul dalam fenomena keagamaan saat ini. Pertama, Takfirisme (mudah mengkafirkan). Banyak kelompok keagamaan di era modern yang mengadopsi pola pikir takfir, yakni mudah mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham atau pandangan. Ini terlihat dari maraknya ceramah atau konten digital yang melabeli umat Muslim lain sebagai kafir, hanya karena berbeda dalam furu’iyah (cabang-cabang hukum Islam).
Kedua, kekerasan atas nama agama. Tindakan terorisme, bom bunuh diri, atau pembunuhan terhadap sesama umat Islam seringkali dibenarkan dengan dalih jihad. padahal, menurut Quraish Shihab dalam wawasan Al-Qur’an, jihad haruslah dipahami sebagai perjuangan menyeluruh dalam kebaikan, bukan hanya sekedar pertempuran bersenjata.Ketiga, eksklusivisme dan intoleransi. Ideologi yang merasa dirinya paling benar dan menolak eksistensi pihak lain merupakan warisan dari teologi Khawarij.
Cendikiawan Muslim, Khaled Abou El Fadl, menyebutkan bahwa Islam ekstremis seringkali muncul dari keengganan untuk berdialog dan memahami keberagaman. Indikator terakhir yaitu fanatisme politik berbasis agama. Politisasi agama sebagai alat mobilisasi politik juga memiliki benih Khawarij. Ketika agama dipakai untuk menjustifikasi kekuasaan, maka yang muncul adalah kebencian dan perpecahan.
Berbagai tokoh-tokoh Islam memiliki pandangan terhadap bahaya pemikiran Khawarij. Ali bin Abi Thalib sendiri sudah memperingatkan bahaya Khawarij dengan kalimat terkenal: “Kalimatnya benar, tapi tujuannya batil”. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa pemikiran Khawarij tidak lahir dari keikhlasan beragama, tetapi dari fanatisme tanpa ilmu. Adapun Ibnu Taimiyah yang dikenal keras dalam sebagian pandangannya, turut mengecam keras praktik Khawarij karena dianggap menyimpang dari Maqasid Syariah. Nurcholis Madjid (Cak Nur) menambahkan, bahwa bahaya utama dari pemikiran semacam ini adalah hilangnya nilai substansi Islam, seperti rahmat, keadilan, dan kebebasan berpikir.
Dalam menghadapi warisan pemikiran Khawarij di era digital dan globalisasi tidak cukup dengan retorika normatif. Hal ini membutuhkan pendekatan yang multidimensional dan adaptif. Ada beberapa solusi yang dapat dikembangkan. Pertama, narasi Islam moderat melalui media sosial, dengan cara membuat konten dakwah yang fun dan edukatif di TikTok, Youtube, atau Instagram, serta dapat bergabung dengan influencer dan konten kreator muda.
Kedua, perlunya reformasi pendidikan agama dengan memasukkan mata kuliah filsafat, logika, dan sejarah pemikiran Islam ke dalam kurikulum sekolah atau kampus. Ketiga, revitalisasi masjid sebagai ruang diskusi dengan melibatkan komunitas muda untuk memakmurkan masjid. Keempat, literasi keislaman dengan digital dan fact-checking, yakni membuat platfor, cek fakta ceramah agama dan memberikan edukasi pada masyarakat agar tidak langsung percaya pada konten provokaif.
Kelima, mengadakan pelatihan kontekstualisasi dakwah, sebab seorang da’i harus paham denga konteks zaman dan sertifikasi berbasis kompetensi sosial. Keenam, hindari politisasi agama. Hal ini perlu adanya regulasi agar tokoh agama tidak dijadikan alat kampanye politik dan perlunya promosi etika politik berlandaskan nilai Islam. Ketujuh, pendekatan sosial dan ekonomi.
Pemerintah dan ormas Islam perlu fokus pada pemberdayaan ekonomi, terutama daerah miskin yang rentan oleh radikalisme harus jadi prioritas pembangunan. Terakhir, memberikan ruang untuk perempuan berdakwah di forum publik dan memperkuat kajian feminis untuk melawan narasi patriarkal.
Pemikiran Khawarij adalah bukti nyata bahwa pemahaman agama yang kaku, eksklusif, dan antikritik bisa membawa umat pada kehancuran. Di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas masalah sosial, umat Islam tidak bisa bertahan dengan cara pikir lama yang sempit. Kita perlu membumikan Islam yang penuh cinta, toleransi, dan reflektif. Seperti sebuah pepatah, “jangan lihat siapa yang berkata, namun lihat apa yang dikatakannya”.
Pemikiran khawarij adalah bukti nyata bahwa pemahaman agama yang kaku, eksklusif, dan antikritik bisa membawa umat Islam pada kehancuran. Di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas sosial, umat Islam tidak bisa bertahan dengan cara pikir lama yang sempit. Kita perlu membumikan Islam yang penuh cinta, toleransi, dan reflektif. Lebih dari itu, pendekatan teologisyang kaku dan seragam tidak bisa begitu saja diterapkan di Indonesia, sebuah negara yang terdiri dari ratusan suku bangsa, bahasa, dan budaya.
Baca juga: Pembaruan Pendidikan Muhammad Abduh: Jembatan Antara Tradisi Islam dan Modernitas di Indonesia
Keberagaman ini menuntut menuntut pendekatan dakwah yang lebih fleksibel, inklusif, dan kontekstual agar ajaran agama Islam bisa diterima secara luas dan tidak menimbulkan resistensi. Islam yang tumbuh di tanah air harus mampu berdialog dengan kearifan lokal, bukan malah memaksakan keseragaman yang justru menyingkirkan esensi rahmatan lil ‘alamin. Seperti kata Sayyidina Ali, “Jangan kamu melihat siapa yang berkata, tapi lihatlah apa yang dikatakannya”.
Sudah saatnya kita menilai narasi keagamaan bukan dari siapa yang paling lantang, tapi dari siapa yang paling membawa kebaikan. Islam bukan agama kekerasan, dan tugas kita adalah menjaganya tetap seperti itu. Dengan pendekatan kreatif, pendidikan yang kritis, dan semangat kolaboratif, warisan Khawarij dapat ditangkal. Islam akan terus hidup sebagai agama rahmat bagi seluruh alam.
Penulis: Iffaty Zamimah, Dosen serta Azizah Putri Rahma Dhania, Annisa Qurrata A’yun, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.