Sistem perpajakan Indonesia
Di Indonesia, berbagai pungutan baik bentuk natura, kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya, terutama sesudah berdirinya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) tahun 1602, dan dilanjutkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Memasuki era proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian. Hal ini sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap situasi perpolitikan dan tuntutan rakyat dari sebuah negara yang memperoleh kemerdekaannya dari cengkeraman penjajah.
Baca juga: Perlindungan Hukum Terhadap Hak Nasabah Dalam Transaksi Jual Beli Saham Syariah
Ketentuan umum perpajakan di Indonesia
Karakteristik pokok dari pajak yang diterapkan di Indonesia adalah pemungutannya harus berdasarkan undang-undang yang tertulis. Hal ini tercantum pada UUD 1945 Pasal 23 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”.
Tata cara pemungutan pajak di Indonesia
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Jenis pajak ini dikenakan pada setiap jenis penghasilan yang didapat dari setiap wajib pajak yang diatur dalam UU no. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Tarif pajak sesuai dengan pasal 17 UU Nno. 36 Tahun 2008 menyebutkan:
1) Untuk wajib pajak orang pribadi
a. Untuk lapisan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 50.000.000,00 dikenakan tarif sebesar 5%.
b. Untuk lapisan penghasilan kena pajak antara Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 250.000.000,00 dikenakan tarif sebesar 15%.
c. Untuk lapisan penghasilan kena pajak antara Rp. 250.000.000,00 sampai dengan Rp. 500.000.000,00 dikenakan tarif sebesar 25%.
d. Untuk lapisan penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 500.000.000,00 dikenakan tarif sebesar 35%.
2) Untuk badan dikenakan tarif pajak sebesar 28% dari penghasilan kena pajaknya
Pajak untuk orang pribadi adalah ketika seorang mempunyai usaha dimana dari usaha tersebut dia mendapatkan penghasilan pertahunnya melebihi jumlah PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) yang telah ditetapkan oleh UU PPh pasal 7 ayat 1, maka jumlah tersebut menjadi patokan jumlah penghasilan kena pajak.
Sesuai dengan UU PPh pasal 7 ayat 1, jumlah PTKP yang dapat dikurangkan atas penghasilan dalam waktu setahun, yakni:
- Rp. 15.840.000,00 untuk diri wajib pajak orang pribadi.
- Rp. 1.320.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin.
- Rp. 15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
- Rp. 1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga yang sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
Setelah jumlah penghasilan dikurangkan PTKP, sisanya dikalikan jumlah tarif pajak. Selanjutnya jumlah tersebut menjadi penghasilan kena pajak. Selanjutnya jumlah tersebut dituangkan dalam SSP (Surat Setor Pajak) yang terdiri dari 5 lembar dan dibayarkan ke Bank.
Baca juga: Apa Saja Kunci Perkembangan Keuangan Syariah?
Lembar pertama dan ketiga akan dikembalikan kepada WP kembali. Lembar pertama sebagai arsip WP dan lembar ketiga untuk dilaporkan ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak).
Dari lembar SSP tersebut digunakan sebagai pedoman pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan yang kemudian harus dilaporkan ke KPP.
Pelaporan SPT Tahunan tidak boleh melebihi 20 April tahun pajak berikutnya, karena jika melebihi tanggal tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp.500.000,00.