Mata Akademisi, Milenianews.com – Gelombang keresahan rakyat kembali pecah di berbagai daerah di Indonesia. Kali ini, ledakannya tertuju pada manuver tidak sehat pemerintah yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sejak Agustus 2025 lalu.
Bagaimana tidak, tarif pajak melesat tajam dalam waktu singkat, bahkan angkanya gila-gilaan hingga tak masuk akal. Di Kabupaten Pati, pajak naik 250%; Semarang 400%; Cirebon 1.000%; dan Jombang 1.202%.
Baca juga: Pajak Digital Tanpa Kepercayaan Adalah Omong Kosong, Saatnya Bangun Sistem yang Dipercaya
Lebih ironis, kenaikan ini terjadi di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sedang tertekan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi nasional pada Juli 2025 mencapai 2,37% (year-on-year), dengan inflasi bulanan sebesar 0,30%. Lonjakan ini didorong oleh kenaikan harga beras dan biaya pendidikan. Penambahan beban pajak jelas membuat rakyat semakin terpojok.
Tamparan keras pun dirasakan petani, pedagang kecil, dan pemilik rumah sederhana. Rakyat yang tadinya pas-pasan kini dipaksa membayar lebih, bahkan ada yang nekat memprotes dengan membawa koin ke kantor pajak sebagai simbol perlawanan. Tatkala rakyat diperas, pemerintah daerah terlihat kompak. Ada apa sebenarnya? Apakah ada instrumen terselubung di balik kebijakan serentak ini?
Ironisnya, respons pemerintah pusat justru setengah hati. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 14 Agustus 2025, alih-alih menyelesaikan masalah, malah menambah kegaduhan. Isinya hanya berupa imbauan—tanpa mekanisme sanksi, tanpa solusi fiskal alternatif, dan tanpa keberpihakan pada rakyat kecil. Hasilnya, pajak tetap mencekik, sementara daerah berdalih defisit akibat pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU). Pemerintah pusat seakan cuci tangan.
Apakah ini kesengajaan?
Pajak yang Lupa Tujuan
Sejatinya, pajak adalah instrumen keadilan sosial yang dipungut dari yang kuat untuk melindungi yang lemah. Konstitusi jelas mengatur, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 23A, bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Prinsip ini mengandung asas keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan bagi rakyat.
Namun, kenyataannya terbalik. Yang kecil justru diperas, sedangkan yang besar bebas mendapat pengampunan pajak dari pemerintah. Pajak yang mestinya dikenakan pada spekulan tanah, korporasi besar, dan pemilik lahan luas, justru menghantam kaum tani, buruh, dan pedagang kecil. Apakah pemerintahan sedang merampok rakyatnya sendiri?
Data bicara lantang. Pati memiliki rasio pajak daerah (tax ratio) hanya 0,73% pada 2024, jauh di bawah rata-rata nasional 10–12%. Anehya, kontribusi PBB-P2 di Pati mencapai lebih dari 20% penerimaan pajak daerah (rata-rata nasional hanya 12,6%). Artinya, sejak lama daerah menggantungkan pendapatan pada rakyat kecil. Saat tarif dinaikkan drastis, yang runtuh pertama kali adalah dapur rakyat.
Ketika Pajak Melupakan Lingkungan
Pajak atas tanah seharusnya berfungsi ganda: sebagai pendapatan fiskal sekaligus regulasi tata ruang. Dalam teori ecotax, pajak bisa mengendalikan alih fungsi lahan, melindungi tanah produktif, dan menekan spekulasi.
Namun, faktanya PBB-P2 malah buta fungsi. Sawah-sawah subur hilang hingga 100 ribu–150 ribu hektare per tahun, berubah menjadi kompleks perumahan elit, tambang, atau kawasan industri.
Padahal di negara maju, pajak tanah digunakan sebagai pengendali spekulasi sekaligus pelindung lahan produktif. Korea Selatan dan Jepang menerapkan land value tax, sementara Uni Eropa menggunakan eco-tax untuk mendanai konservasi. Indonesia justru sebaliknya.
Buktinya, produksi padi turun dari 59,7 juta ton (2017) menjadi 54,3 juta ton (2022). Hilangnya 100 ribu hektare sawah berarti 174 ribu ton gabah lenyap setiap tahun. Artinya, pajak justru memeras perut rakyat sekaligus meruntuhkan ketahanan pangan nasional.
Pajak yang seharusnya membela rakyat dan bumi malah menjadi instrumen pengabaian ekosistem. Para pemilik modal besar jarang disentuh fiskal progresif, sementara petani kecil dipaksa membayar lebih mahal. Sebuah kebijakan timpang yang melukai nalar keadilan. Di mana hati nurani pemerintah?
Gejolak Sosial dan Runtuhnya Legitimasi
Apa yang terjadi di Pati, Jombang, Semarang, hingga Cirebon hanyalah potret kerentanan fiskal daerah di seluruh Indonesia. Ketika transfer pusat dikurangi, jalan pintas yang diambil adalah menaikkan pajak tanpa memperhitungkan daya tahan rakyat.
Ada kisah nyata rakyat yang menjerit. Seorang petani di Pati, misalnya, mengaku: “Saya hanya punya sawah seperempat hektare. Pajak dulu Rp150 ribu, sekarang naik jadi Rp500 ribu. Uang dari mana? Hasil panen tidak cukup untuk biaya hidup.” Kisah ini menggambarkan bahwa kenaikan pajak telah mengancam dapur rakyat.
Padahal, teori fiscal social justice menegaskan bahwa pajak harus menjadi alat redistribusi, mengurangi ketimpangan, dan melindungi kelompok paling rentan. Namun kenyataannya, PBB-P2 justru memicu gejolak sosial, menggerus kepercayaan publik, dan membuka krisis legitimasi pemerintah. Apakah pemerintah sadar bahwa pajak tak adil adalah taruhan atas kepercayaan rakyat?
Ini Saatnya Menata Ulang
Dalam situasi ini, jalan keluar harus segera dicari untuk mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan lagi ada imbauan kosong yang memperkeruh keadaan, seolah pemerintah tidak mampu berpikir solutif atas masalah keuangan daerah maupun negara. Pemerintah harus berani menata ulang PBB-P2 dengan prinsip progresif, berpihak pada rakyat kecil, dan berorientasi ekologis.
Petani, buruh, dan pemilik rumah sederhana harus dilindungi dengan pajak rendah. Sementara korporasi besar, spekulan tanah, dan pengembang harus membayar lebih tinggi. Lahan produktif diberi keringanan, sedangkan lahan spekulatif atau perusak ekosistem ditarik pajak maksimal.
Seperti kata Henry George sejak abad ke-19, nilai tanah meningkat bukan karena jerih payah individu, melainkan karena pembangunan kolektif masyarakat. Maka, yang menikmati keuntungan besar dari kenaikan nilai tanah harus menanggung beban lebih untuk rakyat banyak.
Baca juga: Pajak Bagi Keberlangsungan Negara
Kasus Pati adalah peringatan keras bahwa pajak tanah bukan hanya soal fiskal, tetapi juga soal ruang hidup rakyat, keberlanjutan ekosistem, dan masa depan pangan Indonesia.
Hari ini kita menyaksikan rakyat menjerit karena pajak tak adil. Esok, bila ekosistem terus diabaikan, kita akan kehilangan sawah, pangan, dan ruang hidup yang layak. Sudah waktunya pajak kembali ke fungsi sejatinya. Hentikan segala bentuk pemerasan terhadap rakyat. Mari lindungi bumi dan manusia, lindungi ruang hidup dan sesama kita.
Penulis: Alialudin Hamzah, Ketua Umum PB LMII
Instagram: @alialudin_hamzah
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.