Milenianews.com, Mata Akademisi – Adab dalam kajian ontologi memang tidak secara eksplisit menjadi istilah utama dalam filsafat Barat. Namun, konsep ini dapat dipahami sebagai etika dasar yang menyertai proses pencarian hakikat keberadaan dan pengetahuan. Dengan kata lain, cara manusia mempelajari dan menggunakan ilmu seharusnya selaras dengan nilai-nilai kebenaran. Dalam kerangka ini, adab berkelindan erat dengan aksiologi, yakni cabang filsafat yang membahas nilai dan tujuan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks pendidikan Islam, ilmu dan adab merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ilmu berfungsi sebagai sarana untuk memahami realitas, sedangkan adab menjadi pengarah agar pemahaman tersebut tidak menyimpang dari fitrah kemanusiaan dan nilai ketuhanan. Tanpa adab, ilmu berpotensi melahirkan kesombongan intelektual; sebaliknya, adab tanpa ilmu dapat kehilangan arah dan kedalaman.
Kesatuan antara ilmu dan adab inilah yang secara kuat diinternalisasikan dalam budaya pesantren. Pesantren tidak hanya mencetak individu berpengetahuan, tetapi juga membentuk karakter santri yang berlandaskan kesadaran etis dan spiritual.
Adab Pesantren sebagai Fondasi Ontologis Ilmu
Dalam tradisi pesantren, adab bukan sekadar persoalan sopan santun lahiriah, melainkan bagian dari fondasi keilmuan dan spiritualitas. Santri diajarkan untuk menundukkan kepala, mencium tangan kiai, hingga berjalan dengan penuh kehati-hatian di hadapan guru. Praktik-praktik ini bukanlah ritual kosong tanpa makna, melainkan simbol kesadaran bahwa ilmu bukan hanya teks, tetapi nūr (cahaya) yang hanya dapat ditampung oleh hati yang bersih dan rendah diri.
Namun, tradisi ini kerap menuai kritik dari sudut pandang rasionalisme modern. Sebagian pihak menilai simbol-simbol penghormatan tersebut sebagai bentuk feodalisme, perbudakan intelektual, bahkan dituduh mengarah pada kemusyrikan. Kritik semacam ini sering muncul karena adab pesantren dibaca secara ahistoris dan dilepaskan dari konteks teologis serta budaya Nusantara.
Secara historis dan teologis, praktik adab dalam pesantren memiliki akar kuat dalam sunnah Rasulullah saw. dan perilaku para sahabat. Oleh karena itu, adab pesantren tidak dapat dinilai secara parsial tanpa memahami tradisi Islam dan kearifan lokal yang melingkupinya. Bentuknya boleh lokal, tetapi semangatnya bersifat universal: penghormatan terhadap ilmu dan pemiliknya.
Kontroversi Adab: Antara Tradisi dan Salah Paham
Salah satu kontroversi yang sering muncul adalah praktik mencium tangan kiai. Di lingkungan pesantren, mencium tangan guru merupakan bentuk penghormatan yang lazim. Bagi sebagian kalangan modern, tindakan ini dianggap berlebihan dan tidak relevan. Padahal, dalam berbagai budaya, bentuk penghormatan memiliki ekspresi yang berbeda-beda.
Di dunia Arab, berdiri menyambut guru merupakan kebiasaan mulia; di Jawa, mencium tangan (nyungkem) melambangkan kerendahan hati (andhap asor); di Jepang, menunduk (ojigi) adalah salam kehormatan resmi; sementara di Barat, berjabat tangan dan menatap mata dianggap sebagai bentuk respek. Dalam tradisi Islam, praktik penghormatan kepada guru juga memiliki dasar hadis, sebagaimana disebutkan dalam Sunan Abī Dāwūd, Kitāb al-Adab, no. 5223, dan al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhārī, no. 975, yang dinilai ṣaḥīḥ oleh Ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī dalam Fatḥ al-Bārī (11/57).
Kontroversi lain adalah sikap santri yang duduk tenang dan menunduk di hadapan kiai. Sikap ini berakar pada perilaku para sahabat ketika menghadiri majelis Rasulullah saw., di mana mereka menunjukkan kesungguhan, ketenangan, dan penghormatan penuh terhadap sumber ilmu. Duduk menunduk bukan simbol ketakutan, melainkan ekspresi kesadaran spiritual dan intelektual.
Membungkuk, Niat, dan Batas Tauhid
Praktik lain yang kerap disalahpahami adalah kebiasaan santri berjalan agak menunduk atau sedikit membungkuk di hadapan kiai. Sebagian pihak menilai tindakan ini menyerupai rukuk dan karenanya dianggap tidak pantas. Untuk memahami persoalan ini, diperlukan pembedaan yang tegas antara rukuk sebagai ibadah dan tunduk sebagai adat.
Rukuk dalam ibadah memiliki dimensi teologis dan niat khusus sebagai bentuk penghambaan kepada Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam hadis tentang makna rukuk dalam Sunan Ibn Mājah, no. 2857. Adapun menundukkan badan sebagai bentuk sopan santun adat tidak dapat disamakan dengan ibadah selama tidak disertai niat pengkultusan atau penyembahan.
Dengan demikian, menundukkan badan atau berjalan sedikit membungkuk di hadapan guru menjadi terlarang apabila diniatkan sebagai ibadah, tetapi diperbolehkan apabila semata-mata merupakan ekspresi penghormatan adat yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
Baca juga: Gelar Gus dan Ning: Kontribusi Nyata atau Legalitas Semata?
Tawassul dan Tabarruk dalam Perspektif Ahlussunnah
Terakhir, praktik tawassul dan tabarruk dengan orang saleh juga sering disalahpahami sebagai perilaku syirik. Padahal, hadis-hadis sahih menunjukkan bahwa para sahabat mengambil keberkahan (tabarruk) dari Rasulullah saw., baik dari air wudhunya, rambutnya, maupun keringatnya. Hal ini diriwayatkan dalam Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Ṭahārah, no. 232.
Santri yang memohon doa kepada kiai tidaklah meminta kepada manusia, melainkan berharap agar Allah mengabulkan doa melalui perantara hamba-Nya yang saleh. Praktik ini mencerminkan kesadaran tauhid yang utuh, bukan penyimpangan akidah sebagaimana sering dituduhkan.
Dengan demikian, adab pesantren, termasuk tawassul dan tabarruk, merupakan bagian dari konstruksi ontologis pendidikan Islam yang menekankan hubungan harmonis antara ilmu, akhlak, dan ketuhanan.
Penulis: Amelia Sari Nasution, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













