Obat vs. Takdir: Apakah Manusia Bisa ‘Mencuri’ Kuasa Tuhan dalam Penyembuhan?

obat vs. takdir

Mata Akademisi, Milenianews.com – Sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah, manusia adalah makhluk yang tidak bisa mencapai sisi sempurna—khususnya dalam hal kesehatan. Sehebat apa pun dirinya menjaga daya tahan tubuh secara fisik dan mental, akan ada satu titik di mana manusia bersinggungan dengan yang namanya penyakit. Entah hanya sekadar penyakit ringan maupun yang membutuhkan penanganan intensif.

Dalam dunia yang semakin modern ini, berobat bukan lagi pilihan, melainkan seolah menjadi bagian dari spontanitas manusia saat merasa tubuhnya “tidak baik-baik saja.” Maka muncullah doktrin: “Jika sakit, harus minum obat.” Seakan-akan, tanpa obat, kesembuhan adalah hal mustahil.

Baca juga: Al-Qur’an sebagai Objek Perdebatan Teologi dalam Islam

Lebih dari itu, perkembangan sains telah menghadirkan fenomena yang cukup menarik: efek plasebo. Efek ini menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa tubuhnya membaik setelah mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki kandungan aktif untuk menyembuhkan—misalnya pil gula. Dalam banyak penelitian medis, efek plasebo terbukti sering kali terjadi. Ia nyata, dan menunjukkan betapa keyakinan, sugesti, serta harapan bisa memberi pengaruh pada tubuh, bahkan tanpa kandungan-kandungan kimiawi pada obat yang sebenarnya.

Di sinilah mulai muncul pertanyaan mendalam: Sebenarnya, apa yang membuat kita sembuh? Obatkah? Sugestikah? Atau ada kekuatan lain di luar batas nalar manusia?

Perspektif Teologi Islam tentang Kesembuhan

Pertanyaan itu menjadi semakin kompleks ketika kita bawa ke ranah teologi, khususnya dalam diskursus ilmu kalam. Dalam perspektif teologi Islam, kesembuhan bukanlah sekadar hasil dari proses biologis dan kimiawi, melainkan terkait erat dengan kehendak Tuhan. Maka timbullah pertanyaan filosofis: Jika Tuhan adalah penyembuh sejati, sejauh apa peran obat dalam proses itu? Apakah obat benar-benar menyembuhkan, atau hanya menjadi perantara? Lebih jauh lagi, apakah ketergantungan kita pada obat telah menggeser keyakinan pada kuasa Ilahi?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu menggali cara pandang dua aliran besar dalam ilmu kalam: Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Keduanya menawarkan perspektif yang berbeda tentang hubungan antara Tuhan dan manusia dalam hal perbuatan, termasuk dalam konteks ikhtiar manusia untuk sembuh dari sakit. Dari sini, kita akan mencoba mengaitkan pandangan kedua aliran tersebut dengan peran obat dalam penyembuhan, untuk kemudian sampai pada pemahaman yang lebih jernih tentang hubungan antara takdir, usaha, dan kuasa Tuhan.

Asy’ariyah, yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, memegang teguh prinsip bahwa Tuhan adalah satu-satunya pelaku hakiki dalam segala hal. Segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan manusia, adalah ciptaan Allah. Bahkan ketika manusia tampak “melakukan” sesuatu, sejatinya Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Namun, untuk tetap memberi ruang pada tanggung jawab moral manusia, Asy’ariyah memperkenalkan konsep kasb (perolehan).

Menurut mereka, manusia tidak menciptakan perbuatannya sendiri, tetapi mengusahakan (mengkasb) perbuatan yang diciptakan oleh Allah. Misalnya, ketika seseorang memilih minum obat, Allah yang menciptakan tindakan minum itu, tetapi manusia “memilihnya” sebagai bagian dari kehendaknya.

Berbeda dengan Asy’ariyah, aliran Mu’tazilah, yang dipelopori oleh Wasil bin ‘Atha, meyakini bahwa manusia adalah pencipta dari perbuatannya sendiri. Kaum Mu’tazilah dalam sistem teologi mereka memandang manusia memiliki daya yang besar dan bebas, sehingga mereka menganut paham qadariyah atau free will (kebebasan berkehendak). Dalam pandangan mereka, keadilan Tuhan tidak mungkin ditegakkan bila manusia tidak diberi kebebasan dalam bertindak. Jika semua perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, bagaimana bisa manusia dipertanggungjawabkan atas perbuatan baik atau buruknya?

Oleh karena itu, Mu’tazilah mengajarkan bahwa Allah memberi manusia akal, kehendak, dan kemampuan untuk bertindak. Manusia yang memilih untuk minum obat, manusia pula yang berusaha sembuh, dan kesembuhan adalah hasil dari ikhtiar yang diizinkan dan dikuatkan oleh Tuhan. Dalam hal ini, obat bisa menjadi sebab yang sah dan nyata dalam proses penyembuhan karena manusia diberi otoritas untuk menggunakan sebab-sebab tersebut.

Namun, Mu’tazilah tidak menafikan peran Tuhan sepenuhnya. Mereka tetap mengakui bahwa Tuhan menciptakan sistem sebab-akibat, memberi daya, dan tidak akan ada apa-apa tanpa kehendak-Nya. Tetapi berbeda dari Asy’ariyah yang meniadakan daya manusia, Mu’tazilah menganggap daya manusia nyata dan efektif dalam tindakan.

Pertanyaan “Apakah obat dapat mencuri kuasa Tuhan dalam penyembuhan?” pada akhirnya bukanlah pertanyaan yang menuntut jawaban “ya” atau “tidak” secara mutlak, melainkan mengajak kita merenung lebih dalam tentang hubungan antara usaha manusia dan kehendak ilahi. Obat, dalam wujud apa pun, adalah simbol dari ikhtiar manusia. Ia adalah bagian dari peradaban—hasil akal dan pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan. Namun, menjadikannya sebagai satu-satunya sumber harapan, seolah-olah ia memiliki kuasa mutlak untuk menyembuhkan, adalah bentuk meniadakan nilai-nilai spiritual.

Dua Pandangan, Satu Kesimpulan: Pentingnya Ikhtiar

Dalam diskursus ilmu kalam, Asy’ariyah dan Mu’tazilah memberi dua cara pandang yang sama-sama tajam, namun berbeda dalam menempatkan kuasa. Asy’ariyah memandang bahwa semua perbuatan, termasuk kesembuhan, sepenuhnya ciptaan Allah. Obat tidak memiliki kekuatan hakiki dan hanya menjadi sebab biasa dalam sistem ilahi yang konsisten. Sementara Mu’tazilah percaya bahwa manusia memiliki kuasa atas perbuatannya, dan obat bisa menjadi sebab aktif yang berperan nyata dalam penyembuhan karena hukum alam yang ditetapkan Tuhan.

Baca juga: Perbedaan Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Murjiah tentang Status Al-Quran serta Relevansinya dalam Realitas Kekinian

Keduanya, meski berbeda dalam logika teologis, bertemu dalam satu titik: bahwa manusia tidak seharusnya menyerah pada keadaan. Usaha tetap dibutuhkan. Berobat bukanlah bentuk pembangkangan terhadap takdir, melainkan bagian dari cara manusia menjalani takdirnya. Sebaliknya, hanya menggantungkan diri pada obat tanpa kesadaran spiritual adalah bentuk keterputusan dari sumber kekuatan sejati.

Fenomena efek plasebo pun menjadi pengingat bahwa tubuh manusia tidak bekerja secara mekanik semata, melainkan menyimpan dimensi kejiwaan yang sangat dalam. Di sana, keyakinan, harapan, dan keimanan memainkan peran yang tak kalah penting dari senyawa kimia. Jadi, apakah obat mencuri kuasa Tuhan? Tidak. Obat hanyalah alat. Yang menciptakan kesembuhan, mengatur sebab-akibat, dan meniupkan harapan ke dalam hati manusia tetap dan selalu Tuhan. Justru ketika kita menyadari bahwa obat hanyalah perantara, kita sedang mengembalikan segala daya kepada-Nya—tanpa mengabaikan pentingnya ikhtiar.

Karena, sebagaimana kata pepatah:

Bertawakallah, tapi jangan lupa menambatkan untamu.

Penulis: Rifdah Farnidah, Dosen serta Aisyah Ramadhani, Maryam Ishmah Mumtazah, Wulandari Sri Agustian, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Penulis: Rifdah Farnidah, Aisyah Ramadhani, Maryam Ishmah Mumtazah, Wulandari Sri AgustianEditor: Sismia Wandi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *