Menyingkap Stigma Pesantren: Fakta, Tantangan, dan Peran di Era Modern

pesantren

Milenianews.com, Mata Akademisi – Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, memiliki peran sentral dalam sejarah bangsa, mulai dari perjuangan kemerdekaan hingga pembentukan karakter. Namun belakangan ini, citra pesantren kerap dihadapkan dengan opini negatif yang tersebar luas di masyarakat, terutama melalui media sosial dan pemberitaan provokatif.

Pandangan buruk ini sering muncul dari kejadian-kejadian tertentu yang kemudian digeneralisasi. Dari situlah muncul stigma negatif yang melekat pada pesantren, seperti istilah “kolot dan ketinggalan zaman.” Pesantren dianggap hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tradisional, yang dianggap kurang relevan dengan perkembangan sains dan teknologi modern. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan di pesantren terbatas dari dunia luar yang terus berkembang, padahal beberapa pesantren juga mengajarkan sains dan teknologi modern.

Baca juga: Santri di Era Digital: Menjaga Jati Diri Pesantren di Tengah Arus Zaman

Tak dapat dipungkiri, di tengah perannya sebagai lembaga pendidikan, isu kekerasan dan pelecehan sering membayangi citra pesantren. Kasus-kasus tragis, baik kekerasan fisik maupun seksual, yang terjadi di beberapa institusi memang peristiwa individual. Namun dampaknya luas, menyebabkan kecurigaan publik terhadap seluruh institusi pesantren. Akibatnya, banyak yang mempertanyakan keamanan lingkungan pesantren secara keseluruhan.

Kritik dan Stigma yang Kerap Muncul

Seringkali muncul kritik bahwa pesantren bersifat tertutup dan eksklusif. Anggapan ini didasari kekhawatiran bahwa lingkungan yang membatasi interaksi santri dengan dunia luar dapat menghasilkan generasi yang kurang adaptif atau canggung menghadapi keragaman masyarakat plural di luar gerbang pesantren.

Kualitas pesantren sangat beragam. Kita bisa melihat kontras tajam antara institusi besar yang serba modern dengan pesantren kecil yang masih kental dengan tradisi. Sayangnya, rentang kualitas yang ekstrem ini sering membingungkan masyarakat awam. Alih-alih melakukan seleksi mendalam, masyarakat kadang langsung menilai negatif pesantren yang dianggap kurang canggih atau tertinggal.

Stigma negatif ini semakin diperparah oleh cara media membingkai berita. Media cenderung menonjolkan konflik dan sensasi ketimbang meliput fungsi dan kontribusi positif pesantren secara menyeluruh. Padahal, banyak pesantren kini telah berbenah. Mereka mengintegrasikan kurikulum agama dengan ilmu umum, bahkan menjelma menjadi pusat unggulan dalam studi sains dan kewirausahaan.

Klasifikasi Ilmu di Pesantren

Secara umum, ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan ke beberapa kategori utama, meski para filsuf memiliki pandangan berbeda-beda. Salah satu klasifikasi membagi ilmu berdasarkan objek kajian dan tujuannya:

  1. Ilmu Teoritis, bertujuan mencapai pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Ilmu ini membahas ontologi, hakikat keberadaan, termasuk Tuhan, alam semesta, dan manusia. Di dunia pesantren, ilmu teoritis terkait dengan studi tauhid, fikih, dan akhlak yang mendalam, bertujuan memahami hakikat kehidupan dan kebenaran mutlak. Selain itu, matematika dan ilmu alam (sains/eksakta) juga diajarkan di beberapa pesantren modern, menunjukkan bahwa pesantren tidak menolak ilmu rasional-empiris, melainkan menyinergikannya.

  2. Ilmu Praktis, bertujuan menuntun perilaku menuju kebaikan. Contohnya adalah etika, akhlak, dan moral yang membahas perilaku individu. Pendidikan akhlak dan penyucian jiwa menjadi fondasi utama pesantren. Kasus kekerasan yang muncul merupakan penyimpangan, bukan representasi ajaran dasar. Pesantren juga mengajarkan ilmu sosial, seperti ekonomi dan politik, melalui pendidikan kemandirian, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial.

  3. Ilmu Produktif, bertujuan menghasilkan karya atau benda, misalnya melalui teknologi, seni, atau keterampilan. Banyak pesantren mengajarkan pertanian, keterampilan, dan kewirausahaan sebagai bekal hidup mandiri bagi santri.

Melihat Pesantren Secara Utuh

Kita tidak boleh hanya menilai pesantren dari berita miring atau kasus yang hanya segelintir. Pesantren telah hadir lama dan memiliki peran besar, dari zaman kemerdekaan hingga kini. Memang ada kasus kekerasan atau anggapan “kolot,” tapi itu bukan gambaran seluruh pesantren. Banyak pesantren kini telah maju, menggabungkan kurikulum agama dengan sains, teknologi, dan kewirausahaan. Pendidikan akhlak tetap menjadi inti pesantren, dan kasus negatif adalah penyimpangan, bukan ajaran dasarnya.

Baca juga: Ontologi Adab dalam Budaya Pesantren: Fondasi Pembentukan Karakter dan Kesadaran Keilmuan Santri

Daripada termakan stigma, lebih baik melihat fakta bahwa banyak pesantren terus berbenah dan berkontribusi. Pesantren berpotensi membentuk generasi yang taat agama, cerdas, adaptif, dan siap menghadapi perkembangan zaman. Tugas media dan masyarakat adalah menilai pesantren secara utuh, melihat kontribusi positifnya, bukan sekadar sensasinya. Dukungan terhadap upaya pembenahan pesantren penting agar lembaga pendidikan tertua ini tetap menjadi pusat unggulan yang aman dan relevan bagi masa depan bangsa.

Sudah saatnya berhenti membiarkan opini negatif yang tergeneralisasi merusak citra pesantren. Kasus-kasus negatif yang muncul adalah penyimpangan, bukan ajaran inti. Dengan pandangan lebih adil, kita bisa membantu pesantren keluar dari stigma dan menjadikannya pilar pendidikan yang mencetak pemimpin masa depan bangsa yang religius dan adaptif.

Penulis: Nurlia Syafira, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *