Milenianews.com, Mata Akademisi – Di antara derasnya gerakan roda transportasi dan layar gawai yang menyala mendahului kedipan mata, notifikasi mendatangi Gen-Z dengan penuh kecanggihan teknologi. Namun di balik cahaya layar yang menyilaukan itu, terselip lembaran kitab berwarna kuning—rekam jejak intelektual Islam yang ditulis dengan tinta peradaban dan menjadi saksi keemasan Islam dari masa ke masa.
Perkembangan keilmuan Islam tampak melalui kemunculan kitab-kitab kuning yang saling berdialog, saling mengkritisi, bahkan saling membantah lewat goresan tinta ulama. Kitab kuning adalah karya monumental bersejarah, hasil kecerdasan ulama besar dengan sanad keilmuan yang hingga kini tetap tersambung hingga Rasulullah SAW.
Pertemuan antara Gen-Z dan lembaran kuning bukanlah pertemuan biasa. Ia membawa perubahan pola pikir, membentuk nilai-nilai baru, serta memunculkan kreativitas yang memperkaya perkembangan Islam di Indonesia maupun di berbagai penjuru dunia. Seolah-olah karya ulama mengundang Gen-Z untuk menyelami kitab kuning di era modern.
Proses penyelaman ini bukan kontradiksi antara dua peradaban. Ia membuka dialog lintas zaman yang merekonstruksi, menginovasi, dan mengembangkan ilmu tanpa harus meninggalkan warisan intelektual klasik. Bahkan kemajuan teknologi hari ini adalah kelanjutan dari metodologi berpikir sistematis para ulama terdahulu yang tertulis dalam kitab-kitab klasik.
Kitab Kuning & Tantangan Keaslian Turats
Tantangan terbesar Gen-Z terletak pada upaya menjaga keaslian warisan turats di era modern. Namun justru hasil penyelaman kitab kuning oleh generasi ini pada abad digital memberikan dampak positif, terutama di dunia pesantren.
Gen-Z bahkan mengolahnya dengan teknologi informasi dan komunikasi, menghadirkan konten kajian kitab kuning melalui media sosial, video syarah kitab, aplikasi kitab digital, platform kajian online, hingga forum diskusi global.
Terbukti bahwa pembacaan kitab kuning secara mendalam dapat membentuk cara berpikir tertib, kritis, terstruktur, dan argumentatif, sebagaimana jejak para ulama besar dunia.
Baca juga: Triangulasi Penyelamatan: Membaca Isyarat Banjir Sumatera melalui Data, Dalil, dan Dzikir
Kitab Kuning sebagai Latihan Berpikir Kritis
Beberapa persoalan Gen-Z muncul dari kebiasaan bergantung pada jawaban instan dari teknologi. Minimnya usaha mencari sumber lain melemahkan daya analisis dan ketajaman intelektual.
Dengan menyelami kitab kuning, Gen-Z dapat mengasah:
kemampuan berpikir kritis,
kekuatan argumen,
kemampuan analisis teks,
dan kemampuan menyimpulkan makna secara kontekstual.
Kitab kuning sekaligus membuka ruang digitalisasi pembelajaran—media sosial sebagai ruang syarah, diskusi interaktif, hingga konten edukatif untuk memperkuat pemahaman Islam masa kini.
Kitab Kuning & Krisis Literasi Gen-Z
Menurunnya angka literasi menjadi persoalan generasi digital hari ini. Konten 10 detik lebih menarik daripada membaca teks panjang. Kebiasaan ini bukan karena Gen-Z tidak mampu membaca, tetapi karena gaya hidup telah membentuk pola konsumsi informasi yang serba cepat.
Sebagian Gen-Z bahkan menganggap kitab kuning hanya untuk generasi lampau, sedangkan mereka berfokus pada ilmu teknologi terbaru.
Maka mindset ini harus diluruskan dengan:
membangun klub diskusi,
menghidupkan kajian rutin,
metode pembelajaran menarik,
dan visualisasi materi kitab.
Kitab kuning seharusnya menjadi identitas intelektual santri modern sekaligus panduan moral dalam menghadapi informasi digital melalui prinsip tabayyun.
Tekanan Sosial Digital & Kitab Kuning
Media sosial sering menjadi ruang tekanan mental bagi Gen-Z: jumlah like menjadi ukuran harga diri, komentar menentukan kepercayaan diri, hingga munculnya rasa putus asa hanya karena perbandingan digital.
Dengan mentadabburi kitab kuning, Gen-Z dapat menemukan nilai adab, kedalaman makna, dan keseimbangan batin.
Teknologi pun dapat menjadi media maslahat:
grup diskusi online,
platform pembelajaran,
perpustakaan kitab digital,
aplikasi kajian,
hingga kelas virtual pesantren.
Turats dan teknologi tidak bertentangan—keduanya saling menguatkan.
Nahwu & Sharaf: Pondasi Membaca Turats
Pembelajaran kitab kuning dimulai dengan penguasaan ilmu alat: nahwu dan sharaf. Nahwu ibarat ayah ilmu bahasa, sharaf ibarat ibunya.
Dua disiplin ini membentuk kemampuan membaca teks Arab klasik tanpa harakat.
Menguasai keduanya memungkinkan santri membaca berbagai kitab kuno, menganalisa struktur bahasa, memahami makna teks, dan menghubungkan hasil kajian dengan realitas kontemporer.
Perbedaan perspektif pemaknaan teks akan melahirkan keberagaman interpretasi—sebuah tanda hidupnya ilmu pengetahuan Islam.
Membantah Pandangan Meremehkan Kitab Kuning
Sebagian orang menganggap kitab kuning tidak relevan di era modern. Namun bagaimana mungkin umat menjawab tantangan zaman tanpa merujuk pada warisan intelektual Islam?
Kitab kuning justru melatih cara berpikir kritis dan mendalam. Teknologi hari ini pun hadir sebagai fasilitas yang memudahkan Gen-Z meneruskan perjuangan ulama dalam menyebarkan ilmu.
Maka di tengah dunia digital, Gen-Z harus mampu memanfaatkan teknologi secara produktif demi kemajuan agama dan bangsa.
Kemajuan bangsa, peradaban, dan agama berada di tangan generasi muda. Maka Gen-Z harus cerdas menggunakan teknologi untuk memperluas akses ilmu turats—bukan untuk meninggalkannya.
Dengan menyelami kitab kuning, Gen-Z sedang menautkan masa lalu yang penuh hikmah dengan masa depan penuh kemungkinan. Turats menjadi akar, teknologi menjadi sayap. Dan keduanya menegakkan pohon keilmuan Islam sepanjang zaman.
Penulis: Afifah Luthfiatul Ulya, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







