Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era teknologi komunikasi yang serba cepat dan praktis seperti sekarang, informasi dapat tersebar dengan sangat cepat, bahkan dalam hitungan detik. Apa pun bisa dengan mudah muncul di media sosial, mulai dari berita viral, video pendek, tagar populer, hingga opini publik yang mendadak meledak. Fenomena ini dikenal dengan istilah “trending”, yang menunjukkan bahwa kebenaran pada zaman sekarang tidak lagi hanya ditentukan oleh penelitian ilmiah atau otoritas pengetahuan, tetapi juga oleh apa yang sedang ramai dibicarakan.
Pertanyaannya kemudian muncul: apakah sesuatu dianggap “benar” hanya karena menjadi viral? Apakah popularitas mampu menentukan “realitas”?
Dalam konteks ini, penting untuk memahami makna ontologi dalam ilmu pengetahuan. Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat kebenaran atau realitas dari segala sesuatu, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Kajian ontologi berupaya menjawab pertanyaan tentang apa yang benar-benar ada dan bagaimana sesuatu dapat dikatakan nyata. Oleh karena itu, ontologi menjadi landasan penting dalam menelaah hakikat ilmu, kebenaran, serta realitas yang mendasarinya.
Jika dilihat dari sudut pandang ontologi ilmu pengetahuan, para filsuf klasik seperti Plato, Aristoteles, hingga Kant meyakini bahwa kebenaran memiliki dasar yang relatif tetap. Plato berpendapat bahwa dunia ini bersumber dari kebenaran ideal, Aristoteles menekankan pengamatan empiris sebagai dasar pengetahuan, sementara Kant mencoba menyatukan keduanya dengan menegaskan bahwa pengetahuan muncul dari interaksi antara realitas dan kognisi manusia.
Namun, ketika memasuki era media sosial, konsep-konsep tersebut diuji. Realitas tidak lagi sepenuhnya bersifat independen, melainkan dibentuk oleh arus informasi digital dan persepsi kolektif warganet.
Fenomena ini dapat dilihat dari berbagai topik yang sedang trending, seperti tagar #KaburAjaDulu, berita viral, atau isu yang ramai di TikTok. Masyarakat sering kali tidak menilai kebenaran berdasarkan data atau fakta yang sebenarnya terjadi, melainkan dari seberapa viral topik tersebut dan seberapa besar emosi yang terlibat di dalamnya. Dari perspektif ontologi, kondisi ini dapat disebut sebagai realitas intersubjektif, yaitu realitas yang terbentuk dari kesepakatan bersama di ruang digital. Artinya, sesuatu terasa “nyata” bukan karena kebenarannya, melainkan karena banyak orang membicarakannya.
Jika ditinjau dari epistemologi sosial, informasi yang populer mampu membentuk pengetahuan kolektif, meskipun faktanya belum jelas atau belum memiliki bukti yang kuat. Di sinilah batas antara fakta dan konstruksi sosial menjadi semakin kabur. Hoaks, misinformasi, dan framing media dengan mudah membentuk persepsi publik. Tanpa adanya kemampuan berpikir kritis, fenomena trending dapat dengan cepat diterima sebagai realitas yang dianggap benar oleh banyak orang.
Pemahaman terhadap ontologi ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan viralitas di era digital menjadi sangat penting. Tidak semua hal yang trending mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Kesalahpahaman sering terjadi karena masyarakat langsung menanggapi informasi viral tanpa melakukan verifikasi atau pencarian fakta lebih lanjut. Meskipun demikian, fenomena trending juga memiliki sisi positif, seperti mempercepat penyebaran isu publik, meningkatkan kepedulian sosial, serta mendorong respons cepat terhadap berbagai persoalan.
Di sisi lain, banyak pihak berupaya meraih popularitas secara instan dengan memanfaatkan fenomena yang sedang viral. Tidak jarang pula muncul penyebaran berita hoaks demi menarik perhatian. Informasi semacam ini sering kali langsung diterima oleh masyarakat hanya karena sudah terlanjur viral. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman, bahkan berpotensi memicu konflik antar kelompok.
Pada hakikatnya, apa yang terlihat belum tentu menggambarkan apa yang sebenarnya ada. Tidak semua yang tampak di permukaan sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Hubungan antara manusia dan realitas bukanlah hubungan yang statis, melainkan terus bergerak dan berubah, sehingga menuntut pemahaman yang lebih mendalam tentang makna keberadaan. Tidak semua hal dalam hidup dapat ditentukan secara bebas, tetapi cara menyikapinya masih dapat dipilih. Pemikiran ini memiliki kaitan erat dengan fenomena trending di era modern, ketika persepsi sering kali dibentuk oleh viralitas, bukan oleh kenyataan.
Oleh karena itu, dari perspektif ontologi ilmu pengetahuan, fenomena trending tidak dapat dijadikan tolok ukur kebenaran. Pengetahuan yang sah tetap memerlukan dasar yang dapat diverifikasi serta argumentasi yang logis. Tantangan utama di era digital saat ini adalah menempatkan fenomena trending sebagai representasi realitas secara kritis, bukan menjadikannya penentu kebenaran. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan membiasakan diri berpikir kritis dan berupaya mencari fakta yang sebenarnya.
Penulis: Dini Yatul Istiqomah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













