Menautkan Ilmu Dunia dan Akhirat dalam Kehidupan

Ilmu Dunia

Milenianews.com, Mata Akademisi – Dalam kehidupan saat ini, kita sering keliru dalam menafsirkan makna antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Ilmu dunia dianggap berkaitan dengan karir, teknologi, dan urusan materi, sementara ilmu akhirat dimaknai hanya pada ritual ibadah semata. Padahal, Islam menawarkan perspektif yang jauh lebih menyeluruh. Klasifikasi ilmu dalam Islam justru menunjukkan bahwa keduanya saling berkaitan layaknya pohon yang memiliki akar. Pemahaman ini bukan hanya teori, melainkan panduan praktis untuk menciptakan keseimbangan hidup yang sesungguhnya.

Pijakan pertama dalam ilmu Islam adalah Ilmu Fardhu ‘Ain, yang menjadi fondasi setiap muslim. Ilmu ini mencakup tauhid, fiqih ibadah, dan akhlak, yang wajib dipelajari setiap individu. Dalam hal menautkan dunia dan akhirat, Ilmu Fardhu ‘Ini berfungsi sebagai panduan moral dalam segala aktivitas keduniaan. Ketika seorang pengusaha jujur dalam transaksi, atau seorang programmer menolak membuat program penipuan, disitulah ilmu akhirat mengarahkan penggunaan ilmu dunia. Mereka tidak sekadar mencari keuntungan materi, tetapi juga menjaga nilai-nilai spiritual dalam pekerjaannya.

Baca juga: Analisis Filsafat Ilmu Terhadap Fenomena Banjir di Sumatra Utara: Telaah Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

Di sisi lain, Ilmu Fardhu Kifayah merupakan bukti nyata bagaimana ilmu duniawi dapat bernilai ibadah. Khususnya dalam kedokteran, teknik, pertanian, dan berbagai bidang keahlian lainnya adalah bentuk partisipasi dalam memakmurkan bumi Allah. Seorang arsitek yang merancang bangunan tahan gempa, atau seorang dokter yang menyelamatkan nyawa, keduanya sedang menjalankan peran kemasyarakatan yang sangat mulia. Kontribusi mereka tidak hanya dinilai secara duniawi, tetapi juga sebagai wujud dari menjalankan perintah agama untuk menebar manfaat sesama.

Keterkaitan antara kedua ilmu ini terlihat jelas dalam praktik sehari-hari. Seorang guru yang menguasai ilmu duniawi (Fardhu Kifayah) akan lebih efektif jika diiringi dengan kesabaran dan ketulusan (Fardhu ‘Ain). Sebaliknya, semangat beribadah haji membutuhkan ahli logistik dan transportasi untuk mewujudkannya. Simbiosis mutualisme ini menunjukkan bahwa ilmu dunia dan akhirat bukanlah dua hal yang berbeda, melainkan partner yang saling melengkapi. Keduanya bersinergi menciptakan kehidupan yang tidak hanya maju secara material, tetapi juga bermartabat secara spiritual.

Menautkan ilmu dunia dan akhirat adalah tentang menyatukan niat dan tindakan. Setiap bidang ilmu yang dikuasai, apapun spesialisasinya, dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari ridha Allah dan memberi manfaat sesama. Dengan paradigma ini, tidak ada lagi perbedaan antara masjid dan laboratorium, antara ibadah dan aktivitas sosial. Semua menjadi satu kesatuan yang utuh dalam mengabdi kepada Sang Pencipta, membuktikan bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mempersiapkan manusia untuk akhirat yang baik, tetapi juga untuk dunia yang lebih baik.

Sebagaimana pendapat Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin. hukum mempelajari ilmu itu ada dua. Pertama, Ilmu yang Fardhu’ain (wajib dipelajari oleh setiap orang) seperti syarat rukun shalat, puasa, dan sebatas bekal biasa ibadah lainnya, tidak harus seperti pakar agama. Kedua, ilmu yang Fardu Kifayah (cukup diwakili oleh sebagian orang untuk mempelajarinya).

Ustadz Boris Tanesia mengatakan, “Silakan kuliah sampai S2, S3, ambil spesialis ini dan itu, ikuti passionmu selama tidak bertentangan dengan syariat dan dapat bermanfaat untuk umat. Umat Islam juga butuh engineer bertakwa yang professional dalam bekerja, dokter bertakwa yang tidak menganggap pasien sebagai lumbung uangnya, akuntan bertakwa yang tidak memanipulasi laporan keuangan, karyawan bertakwa yang ga curang lagi enggan ngeghibah rekannya, aparat bertakwa yang takut menzholimi rakyat, tukang, supir dan para pekerja lain yang bertakwa, agar kita dapat bersama-sama bekerja untuk kebaikan masyarakat namun dengan tetap tidak melanggar koridor yang telah Allah tentukan.”

Penguasaan ilmu menjadi syarat mutlak bagi umat Islam dalam rangka menaklukkan dunia serta menggapai kesuksesan akhirat secara bersamaan. Sebagaimana yang pernah dikatakan Imam Asy-Syafi’I “مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ”  “Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, hendaklah ia menguasai ilmu”. Maksud dari perkataan Imam Syafi’I diatas Adalah ilmu itu sangat dibutuhkan untuk memperoleh kesuksesan dunia dan akhirat. Ia juga kunci untuk meraih kebahagiaan dalam dua kehidupan tersebut.

Baca juga: Epistimologi Gen Z

Itulah kenapa wahyu pembuka dalam al-Qur’an menggunakan kata “ اِقْرَأْ ” yaitu ‘baca’. Karena baca itu gerbang pertama pengetahuan. Orang yang banyak pengetahuan berpotensi tinggi mendapatkan peningkatan-peningkatan status kedudukan di dunia. Dan belajarlah sampai paham sehingga menjadi pakar dibidangnya. Seperti ilmu sains, tanpa ilmu tersebut kita akan kehilangan kemudahan dan kenyamanan yang telah kita nikmati, serta mungkin terpaksa kembali ke cara hidup yang lebih kuno. Dengan mempertimbangkan semua dampak ini, jelas bahwa keberadaan ilmu sains itu sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kemajuan manusia. Oleh karena itu, kita harus menghargai dan mendukung upaya-upaya ilmiah, serta terus mendorong penelitian dan pendidikan di bidang ilmu pengetahuan. Hanya dengan memelihara dan memperluas pengetahuan ilmiah kita dapat memastikan masa depan yang cerah bagi umat manusia dan kehidupan kita.

Terkadang, ceramah atau nasihat keagamaan yang terlalu menekankan keutamaan ilmu agama dapat disalahartikan seolah-olah ilmu dunia tidak memiliki nilai sama sekali. Ada juga pandangan bahwa orang-orang yang terlalu fokus pada ilmu dunia sering kali menjadi sombong atau menyalahgunakan ilmu mereka untuk kepentingan pribadi, yang semakin memperkuat keyakinan bahwa ilmu dunia kurang bernilai dibandingkan dengan adab dan ilmu agama. Jadi jangan salah paham lagi kalo denger para ustadz berulang-ulang memotivasi kita untuk terus belajar agama. Ilmu dunia itu tetap penting justru bahkan berpahala, selama ilmu tersebut dapat memudahkan kita, terlebih khusus lagi dapat bermanfaat bagi umat Islam dalam menggapai tujuan akhirat.

Penulis: Waziratul Aufa Siregar, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *