Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan ilmu pengetahuan modern telah melahirkan kemajuan pesat dalam sains, teknologi, dan metodologi penelitian. Namun, kemajuan itu tidak terbentuk dalam ruang hampa; ia tumbuh dari fondasi epistemologis yang kuat dipengaruhi oleh pandangan dunia Barat yang bersifat rasional, materialis, dan sekuler. Sekularisasi ilmu menempatkan akal dan empirisme sebagai otoritas tunggal dalam menentukan kebenaran, sekaligus mengesampingkan dimensi spiritual dan wahyu dalam kehidupan manusia.
Di sisi lain, dunia Islam menghadapi tantangan besar ketika ilmu pengetahuan yang berkembang tidak lagi memuat nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam. Kondisi ini melahirkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan-sebuah upaya menyelaraskan ilmu modern dengan nilai, etika, dan tujuan spiritual Islam. Tokoh seperti Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi menggarisbawahi urgensi rekonstruksi ilmu agar tidak menjauhkan manusia dari fitrahnya.
Baca juga: Pentingnya Mempelajari Filsafat
Essay ini berupaya membaca ulang arah perkembangan ilmu modern, menelaah dampak sekularisasi, serta mengkaji bagaimana proyek Islamisasi ilmu dapat menjadi alternatif epistemologis yang menawarkan keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas.
Sekularisasi dalam ilmu pengetahuan bukan hanya pemisahan urusan dunia dan agama, melainkan sebuah proses yang mengarahkan ilmu agar bebas dari nilai transcendental. Dalam makalah disebutkan bahwa sekularisasi berdampak pada lahirnya tatanan sosial yang kapitalistik, hedonistik, individualistik, dan materialistik.
Di Barat, sekularisasi menjadi fondasi perkembangan ilmu modern. Rasionalitas dijadikan satu-satunya tolok ukur kebenaran, sementara nilai agama dianggap tidak relevan dalam ranah publik. Akibatnya, ilmu berkembang pesat namun kehilangan arah spiritual. Seperti diuraikan al-Attas, ilmu modern hari ini telah kehilangan tujuan aslinya, dan berjalan dalam kebingungan epistemologis.
Meski mampu membawa kemajuan ekonomi dan teknologi, sekularisasi tetap menyisakan kekosongan. la meminggirkan agama, mengikis moralitas, dan mengancam identitas masyarakat, termasuk umat Islam.
Gagasan Islamisasi ilmu muncul sebagai respons atas dominasi paradigma sekuler. Dua tokoh penting yang mengusungnya adalah Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Naquib al-Attas. Kedua pemikir ini sepakat bahwa ilmu modern tidak netral, ia membawa nilai, dan nilai itu mayoritas berasal dari Barat. Islamisasi ilmu bukan berarti menolak sains modern, tetapi membersihkan ilmu dari unsur-unsur yang bertentangan dengan islam, menanamkan nilai tauhid, etika dan visi keislaman dan mengintegrasikan antara akal dan wahyu.
Menurut Al-Attas proses islamisasi meliputi dua tahap yaitu verifikasi atau mengidentifikasi unsur-unsur barat yang tidak sesuai dengan islam dan injeksi konsep-konsep kunci islam ke dalam metodologo dan struktur ilmu modern. Sementara Al-Faruqi menekankan penyusunan kurikulum, penguasaaan Khazanah islam, serta Pembangunan epistemologi islam yang intregatif.
Baca juga: Teknologi Halal Sebagai Bentuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Bidang Teknologi
Makalah menyoroti bahwa salah satu tantangan terbesar Islamisasi adalah dominasi positivisme, dualisme pendidikan, serta minimnya lembaga pendidikan Islam yang mampu mengembangkan metodologi keilmuan integratif. Globalisasi, krisis identitas, melemahnya tradisi keilmuan Islam, dan arus modernisasi yang cepat semakin memperberat tantangan Islamisasi ilmu. Namun peluangnya tetap besar: munculnya universitas Islam, literatur keilmuan integratif, dan perkembangan digital memberikan ruang luas bagi perluasan gagasan Islamisasi.
Baik sekularisasi maupun Islamisasi adalah respon epistemologis terhadap perkembangan ilmu modern. Keduanya memiliki arah yang sangat berbeda. Sekularisasi berusaha memisahkan agama dari ilmu, sedangkan Islamisasi bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai wahyu ke dalam dunia pengetahuan. Melalui gagasan Islamisasi ilmu, umat Islam diajak untuk membangun kembali peradaban ilmu yang tidak hanya rasional dan modern, tetapi juga berakar pada nilai-nilai spiritual, etika, dan tauhid. Dunia modern membutuhkan ilmu yang tidak hanya pintar secara intelektual, tetapi juga bijak secara moral.
Penulis: Fathia Quratul Aini, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







