Melawan Ketidakadilan

Milenianews.com, Mata Akademisi– Akhir-akhir ini Indonesia mengalami kebobrokan integrasi nasional yang disebabkan oleh pemberontakan-pemberontakan dan perusakan moral yang muncul dari negeri sendiri. Ironi memang, ketika kita coba melihat lagi kebelakang, bagaimana perjuangan para tokoh nasional dan pahlawan revolusioner yang memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya dengan begitu susah payah hingga harus mengorbankan nyawanya sendiri. Mereka (tokoh nasional dan pahlawan), mencoba menegakkan bangsa Indonesia dengan mengintegrasikan/ mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu kedaulatan yang kokoh dan kuat. Untuk siapa? Ya jelas, untuk bangsa Indonesia dan penerus generasi bangsa selanjutnya yang diharapkan dapat membuat bangsa ini menjadi lebih baik ke  depannya dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam menghadapi perubahan/ globalisasi yang terjadi.

Nyatanya, pemberontakan yang terjadi dalam rangka menghancurkan integrasi nasional tidak hanya terjadi dalam era-era sekarang. Pada zaman dahulu, pemberontakan dengan tujuan menghancurkan integrasi nasional ataupun dengan tujuan mengganti dasar Negara bangsa Indonesia yaitu Pancasila, sudah kerap tejadi. Ini terjadi pada masa Orde Lama (1945-1950 dan 1950-1959),  Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1966-1998), bahkan pada masa Reformasi.  Sebut saja seperti; Pemberontakan DI/TII yang dipimpin  oleh Kartosuwiryo, APRA oleh Raymond Westerling, Pemberontakan Andi Azis oleh Andi Azis, dan yang sangat terkenal yaitu pemberontakan PKI di Madiun dan Jakarta  dipimpin oleh D.N. Aidit dan Muso.

Bahkan, pemberontakan seperti Republik Maluku Selatan (RMS), kemudian Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan yang terakhir adalah Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang mempunyai tujuan agar dapat melepaskan diri dari naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), juga dapat memicu disintegrasi bangsa Indonesia pada masa itu. Bahkan, pada masa Orde Lama (1950-1959) Pancasila diarahkan lebih kepada ideologi liberal yang tentunya ini juga dapat mengancam stabilitas keamanan nasional.

Lalu, ada juga masa di  mana Presiden Soekarno menjadi otoriter, yang kemudian juga menggabungkan Nasakom yang tidak cocok diterapkan di NKRI. Terbukti dengan kemerosotan moral yang terjadi di Indonesia yang sudah tidak lagi hidup dengan bersendikan nilai-nilai Pancasila, serta berusaha untuk dapat menggantikan Pancasila dengan paham ideologi lain.

Lalu, bagaimana sikap kita untuk menghadapi ancaman-ancaman seperti yang sudah  penulis  sebutkan sebelumnya. Apakah kita akan diam saja? Apakah kita hanya akan melihat dengan mata tertutup? Tentu tidak!  Kita tidak boleh membiarkan Indonesia semakin terpuruk. Dampak yang ditimbulkan pun juga tidak kecil. Yaitu, perpecahan dalam masyarakat, kehancuran harta benda dan korban manusia, kehancuran nilai-nilai dan norma sosial yang ada, perubahan kepribadian masyarakat Indonesia, munculnya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat, menurunkan kesejahteraan dan menghambat pembangunan, serta dapat menimbulkan konflik-konflik yang baru lagi.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak harus ikut berperang, kita tidak harus menjadi anggota polisi untuk menangkap pelaku kejahatan, kita tidak harus menjadi TNI agar menunjukkan bahwa kita orang Indonesia. Tidak! Kita hanya cukup mencari solusi dan melakukannya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Nah, seperti apa solusi tersebut? Selain seperti apa yang telah diatur dalam UU NO.7 Th/2012 tentang penanganan konflik sosial, ada beberapa solusi juga yang dapat dijadikan untuk mencegah terjadinya disintegrasi.

Penulis: Fira Aliani, Mahasiswi STEI SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *