Milenianews.com, Mata Akademisi – Tindakan komunikatif adalah komunikasi yang berfokus pada potensi rasionalitas yang melekat dalam penggunaan bahasa untuk mencapai pemahaman bersama (konsensus). Oleh karena itu, tujuan teorinya adalah mengkritisi penyimpangan komunikasi dan mempertahankan diskursus rasional sebagai fondasi bagi demokrasi yang sah dan masyarakat yanga adil. Tindakan komunikatif adalah cara bicara yang tujuannya adalah agar semua orang bisa saling mengerti dan sepakat (konsensus), dengan menggunakan pikiran logis saat berbicara.
Kasus masjid Ahmadiyah: Ditutup paksa di Indonesia, dibangun megah di Inggris
Sekelompok organisasi minoritas yang terletak di Depok, Jawa barat. Kelompok lain seperti tetangga atau kelompok mayoritas lainnya merasa keberatan terkait isu perizinan, suara atau kekhawatiran sosial atau aktivitas menyimpang agama islam. Kelompok-kelompok garis keras dan ormas sering menekankan pemerintah daerah supaya menutup masjid. Pemerintahan Indonesia bersama 3 mentri 2008 yang melarang penyebaran aktivitas Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari ajaran utama umat islam. Pemerintah menyegel masjid milik Ahmadiyah. Merupakan tindakan yang diawali penyerangan massa terhadap Kampus Mubarak milik Ahmadiyah di Bogor. Penutupan masjid dilakukan dengan dalih menjaga ketertiban spsial atau merespon keluhan masyarakat. Dalam banyak kasus, penutupan dilakukan dengan keterlibatan aparat keamanan dan kadang dengan kekerasan atau intimidasi ketika warga lokal menolak keberadaan Ahmadiyah.
Kasus penutupan masjid milik kelompok minoritas seperti Ahmadiyah di Depok, Jawa Barat, sering kali dipicu oleh keberatan tetangga atau kelompok mayoritas terkait masalah perizinan, kebisingan, atau kekhawatiran sosial dan aktivitas menyimpang. Tekanan dari ormas garis keras membuat pemerintah daerah bertindak dengan menyegel masjid tersebut. Keputusan ini didukung oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah dengan alasan dianggap menyimpang. Dalam beberapa kejadian, tindakan penutupan bahkan diiringi intimidasi atau kekerasan, seperti penyerangan massa di Kampus Mubarak, Bogor. Pendekatan represif ini mencerminkan kegagalan dalam menerapkan teori tindakan komunikatif Jürgen Habermas, karena penyelesaian masalah lebih banyak mengandalkan kekuasaan dan paksaan daripada dialog rasional untuk membentuk norma sosial lewat kesepakatan bersama.
Jurgen Habermas, tindakan komunikatif adalah proses berbicara yang bertujuan mencapai pemahaman dan konsensus melalui argumen yang logis dan jujur, di mana semua pihak dianggap setara dan tidak ada paksaan. Ahmadiyah masjid terdapat dampak yang signifikan karena adanya norma sosial, seperti UUD 1945 Pasal 28E dan Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006, yang mengatur bahwa anggota kelompok mayoritas harus teliti terutama dengan alibi “menyesatkan” instruksi tersebut tanpa melalui proses dialog formal di ruang publik. Idealnya, kedua pihak Ahmadiyah dan warga sekitar harus duduk bersama dalam musyawarah untuk saling mendengarkan undang-undang memahami keberatan masing-masing isu, misalnya terkait kebisingan atau keresahan sosial terutama tentang aktivitas menyimpang, guna membangun integrasi sosial yang harmonis atau kehidupan yang rukun.
Dalam teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas, norma sosial seperti hak beribadah harus diuji dan disepakati secara universal melalui diskursus rasional di ruang publik, di mana semua pihak yang terpengaruh berpartisipasi secara setara tanpa dominasi. Penutupan tempat ibadah Ahmadiyah berdasarkan klaim “menyesatkan” itu adalah norma sepihak kelompok dominan, yang melanggar syarat kesetaraan dan tidak menguji secara logis klaim yang dimaksud, sehingga bertentangan dengan hukum tata negara sebagai norma yang paling universal.
Proses ideal menurut Habermas adalah musyawarah atau perundingan di mana kedua belah pihak kelompok minoritas dan mayoritas saling mendengarkan alasan, kekhawatiran tentang kebisingan, atau keresahan terkait ajaran yang ditolak. Saling mengerti ini terkait erat dengan klaim ketulusan (truthfulness/sincerity), di mana para pihak harus jujur dan tulus mengungkapkan maksud, perasaan, serta kekhawatiran mereka tanpa manipulasi. contoh, pihak Ahmadiyah percaya bahwa merasa tentang kekhawatiran akan kebisingan or dampak negatif potensial yang berasal dari ajaran yang dianggap menyimpang, padahal tetangga percaya bahwa hak beribadah mereka, membuat kesimpulan timbal balik terhadap dunia subjektif masing-masing.
Komunikasi semacam ini berorientasi pada pemahaman bersama yang membangun kembali kepercayaan sebagai fondasi integrasi sosial (lifeworld), menghindari konflik berulang akibat paksaan. Dengan ketulusan, kekhawatiran tentang hal negatif seperti penyebaran ajaran yang berpotensi memecah belah dapat dibahas secara terbuka, menghasilkan konsensus adil seperti batas jam ibadah atau mediasi perizinan. Pendekatan ini memastikan norma baru lahir dari argumen rasional sukarela, bukan dominasi, sehingga hak beribadah seimbang dengan ketertiban umum.
Proses dialog menurut Habermas harus tumpu pada tiga klaim utama. Pertama, klaim ketulusan (sincerity) yang mengharuskan masing-masing pihak mengungkapkan niat dan perasaan secara jujur; kelompok Ahmadiyah harus terbuka tentang niat beribadah, sementara tetangga harus menyampaikan kekhawatiran mereka secara tulus. Yang kedua adalah klaim kebenaran, yang mendorong penggunaan penalaran logis untuk menentukan fakta objektif, seperti aktivitas menyimpang dan batas kebisingan, tanpa mengganggu perasaan emosional. Ketiga, klaim ketepatan normatif (rightness) yang mengarah pada kesepakatan adil mengenai aturan operasional masjid, misalnya pembatasan jam beribadah atau ukuran bangunan, di mana kesepakatan harus lahir dari argumen terbaik dan sukarela tanpa paksaan.
Keadilan sosial modern justru didasarkan pada komunikasi yang terbuka dan adil, bukan ketenangan semu yang lahir dari penyegelan paksa atau dominasi mayoritas. Kesuksesan akan tercapai jika masjid dapat beroperasi dengan penyesuaian yang diterima semua pihak minoritas, mayoritas, dan pemerintah berdasarkan logika dan norma tertulis yang adil seperti toleransi terhadap batas suara. Dalam hal ini, aparat keamanan harus berperan sebagai penjaga netral agar dialog bisa berlangsung bebas dari intimidasi, sehingga hak beribadah dan ketertiban umum dapat seimbang dan konflik serupa di tempat lain seperti Garut atau Sukabumi dapat dihindari.
Kasus penutupan masjid milik kelompok minoritas (Ahmadiyah) di Depok dan Bogor merupakan kegagalan serius dalam perspektif Teori Tindakan Komunikatif (TTK) Jürgen Habermas, karena proses penyelesaian konflik tidak didasarkan pada dialog rasional dan konsensus, melainkan didominasi oleh Tindakan Strategis dan kekuasaan. Pandangan yang mendukung penutupan dengan dalih “ketertiban sosial” atau mencegah “aktivitas menyesatkan” adalah cerminan dari dominasi kekuasaan (Sistem) yang menggantikan nalar komunikasi (Dunia Kehidupan). Dalam proses ini, Klaim Ketepatan Normatif runtuh karena hak konstitusional minoritas (norma yang lebih universal dan adil) diabaikan demi mengakomodasi tekanan mayoritas atau kelompok garis keras (yang menggunakan kekerasan/intimidasi sebagai Tindakan Strategis murni). Selain itu, Klaim Ketulusan pemerintah diragukan ketika mereka memilih menyegel tempat ibadah sebagai respons instrumental untuk menghindari konflik, daripada sebagai penjamin netral yang melindungi hak warga. Oleh karena itu, kasus ini menjadi contoh klasik dari kependudukan Dunia Kehidupan, di mana norma sosial tentang toleransi dan hak asasi dipaksakan oleh instrumen kekuasaan negara, alih-alih dicapai melalui pemahaman bersama yang rasional dan bebas paksaan di antara semua pihak yang setara.
Penulis: Ismatul Amilia, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













