Milenianews.com, Mata Akademisi – Pondok Pesantren Darul Huffadh didirikan KH. Lanre Said pada 7 Agustus 1975 di Desa Tuju-Tuju, Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dimulai dengan 7 santri dari keluarganya sendiri. Inspirasi ini lahir dari mimpi tahun 1962 tentang lampu petromaks di Gunung Bilala yang menyinari kegelapan, melambangkan pesantren sebagai pusat cahaya dakwah, dengan prinsip “bi-la-la” (tanpa upah duniawi) berdasarkan QS. Hud:51 dan Al-Insan:9. Fokus utama mencakup tahfidz Quran minimal 2x hatam sebelum alumni, muhadarah rutin, serta kesyukuran tahunan, semuanya dikelola gratis melalui manajemen ilahiah, disesuaikan untuk dakwah masyarakat Bugis menggunakan bahasa lontara.
Dalam tesis Abd. Rahman, Sayyid Qutb dikutip mendefinisikan dakwah sebagai upaya mengajak manusia ke jalan Allah yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan diajarkan Rasulullah via hadis, menekankan akar autentik Islam dengan perencanaan matang. Pemikiran ini menjadi landasan manajemen dakwah KH. Lanre Said di Darul Huffadh, di mana Al-Qur’an dan Sunnah jadi acuan utama semua kegiatan. Pendekatan ini menghubungkan fondasi spiritual pesantren dengan kerangka teoretis Qutb, memastikan dakwah bukan sekadar rutinitas tapi gerakan sadar
Baca juga: Strategi Komunikasi Dan Difusi Inovasi Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Indonesia
Program tahfidz Al-Qur’an di Darul Huffadh wajib bagi seluruh santri sebagai internalisasi nilai Islam, sejalan dengan visi Qutb bahwa dakwah bukan hanya lisan tapi praktik kehidupan nyata. Pesantren juga tegas tolak bid’ah, khurafat, dan takhayul, seperti dalam buku KH. Lanre Said Adz-Dzikra, mencerminkan semangat pemurnian akidah Qutb. Kaitan ini memperkuat paragraf sebelumnya, di mana fondasi ilahiah pesantren diwujudkan melalui disiplin hafalan harian, menjadikan santri sebagai agen dakwah hidup.
Manajemen dakwah dijalankan melalui tiga tahap: perencanaan (visi jelas untuk tahfidz, muhadarah, kesyukuran), pelaksanaan (sistematis dengan sasaran terukur), dan evaluasi (feedback berkala). Ini merefleksikan tuntutan Qutb agar dakwah strategis, bukan spontan, sehingga pesantren berfungsi sebagai pusat tarbiyah generasi taat Al-Qur’an-Sunnah. Struktur ini melanjutkan penerapan tahfidz, mengubah praktik individu menjadi gerakan terorganisir yang berkelanjutan.
Strategi kaderisasi Darul Huffadh berlandaskan aqidah tauhid murni, selaras Qutb yang tekankan dakwah mulai dari keyakinan membebaskan manusia dari penghambaan selain Allah. Tarbiyah integral (agama-umum) tanamkan Hakimiyyah, siapkan lulusan aplikasikan tauhid di sosial-ekonomi-politik, seperti dijelaskan Qutb dalam Ma’alim fi al-Tariq (Bab “Hakikat Tauhid”). Ini menghubungkan manajemen struktural dengan dimensi ideologis, memastikan kader bukan hanya hafidz tapi pejuang syariat.
Visi transformasi Darul Huffadh diagnosis jahiliyah modern seperti Qutb: masyarakat abaikan hukum Allah di pendidikan-ekonomi-politik. Kurikulum dan lingkungan pesantren ciptakan “miniatur masyarakat Islami” melalui mufashalah syu’uriyyah (pemisahan kultural) untuk lindungi kader dari pengaruh sekuler, sebelum infiltrasi masyarakat (Ma’alim fi al-Tariq, Bab “Masyarakat Jahiliyah”). Pendekatan ini lanjutkan penguatan aqidah, membangun kesiapan konfrontasi ideologis secara bertahap.
Manajemen Darul Huffadh terapkan harakah Qutb via perencanaan strategis dan struktur kepemimpinan: kaderisasi berjenjang (mu’allif, muntaz, muntaz hakiki), liqo’ mentoring, muhasabah kontrol. Ini mirip usrah gerakan dakwah, pastikan dakwah hadapi jahiliyah solid (Fi Zilal al-Qur’an, Ali Imran:104). Kaitan dengan diagnosis jahiliyah tunjukkan organisasi sebagai senjata utama transformasi, bukan aksi acak.
Tujuan akhir Darul Huffadh adalah transformasi sosial Islam ala Qutb: bangun mujtama’ Islami di bawah Hakimiyyah, via alumni infiltrasi sektor strategis (birokrasi, pendidikan, media, ekonomi) untuk tamkin (penguasaan kepemimpinan). Ini ganti sistem jahiliyah dengan wahyu (Ma’alim fi al-Tariq, Bab “Langkah Gerakan”), lanjutkan harakah menjadi perubahan struktural komprehensif.
Meski pakai kerangka Qutb, Darul Huffadh adaptasi kontekstual: pendekatan kultural-institusional damai Ahlussunnah, pemberdayaan ekonomi, jaringan alumni profesional, hindari konfrontasi frontal menuju revolusi kekerasan. Seperti Olivier Roy dalam The Failure of Political Islam (1994), ini “Islamisasi dari bawah” via excellence, pertahankan visi sistemik Qutb tapi evolutif. Adaptasi ini hubungkan transformasi akhir dengan realitas Indonesia, pastikan keberlanjutan.
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an dan Ma’alim fi al-Tariq tekankan harakah lawan jahiliyah: visi jama’ah mu’min, kader tahfidz disiplin, muhadarah non-kompromis, evaluasi hatam 30 juz. Di Darul Huffadh, realisasikan via tahfidz (target subuh), muhadarah Kamis (3 bahasa), kesyukuran publik; adaptasi lontara cegah asimilasi, bangun umat pionir syariat. Sintesis ini rangkai seluruh paragraf: dari pendirian ilahiah hingga transformasi kontekstual, jadi model dakwah pesantren Indonesia kontemporer.
Pondok Pesantren Darul Huffadh di bawah KH. Lanre Said mewujudkan manajemen dakwah terstruktur yang selaras dengan pemikiran Sayyid Qutb, mulai dari fondasi spiritual ilahiah (mimpi 1962, prinsip “bi-la-la”) hingga program inti tahfidz, muhadarah, dan kesyukuran. Kaitan teori Qutb terlihat jelas dalam definisi dakwah autentik berbasis Al-Qur’an-Sunnah, internalisasi bil-hal via hafalan harian, struktur manajemen tiga tahap (perencanaan-pelaksanaan-evaluasi), penguatan aqidah tauhid-Hakimiyyah, diagnosis jahiliyah modern, serta harakah organisasi berjenjang untuk transformasi sosial komprehensif. Pendekatan ini ubah santri menjadi kader pejuang syariat, lindungi dari sekularisme melalui mufashalah kultural, dan infiltrasi sektor strategis guna tamkin kepemimpinan Islami.
Adaptasi kontekstual Darul Huffadh terhadap Qutb kultural damai Ahlussunnah, lontara Bugis, pemberdayaan ekonomi alumni—jadikan model evolutif “Islamisasi dari bawah” ala Olivier Roy, hindari konfrontasi frontal demi keberlanjutan di Indonesia. Sintesis ini bukti relevansi harakah Qutb kontemporer: pesantren bukan sekadar pendidikan, tapi vanguard mujtama’ Islami lawan jahiliyah, dengan alumni sebagai agen perubahan sistemik. Implikasi praktis: replikasi model ini di pesantren lain tingkatkan efektivitas dakwah hadapi digitalisasi sekuler.
Penulis: Ratu Ayesha Zelda, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













