Logika Mistika dan Epistemologi Islam: Mengurai Batas Antara Takhyul dan Wahyu

Logika Mistika Islam

Milenianews.com, Mata Akademisi – Perbincangan mengenai arah suatu bangsa seringkali bermuara pada cara berpikir masyarakatnya. Belakangan ini, pemikiran Tan Malaka tentang “Logika Mistika” kembali ramai diperbincangkan di ruang digital. Intinya, menurut Tan Malaka, kemunduran bangsa Indonesia tidak terlepas dari pola pikir mistik, yakni paradigma yang mengaitkan segala peristiwa—nasib, keberuntungan, bencana, hingga penyakit—dengan kekuatan gaib yang tidak dapat dibuktikan.

Mengenal Logika Mistika ala Tan Malaka

Dalam karya monumental Madilog (1943), Tan Malaka memperkenalkan konsep Logika Mistika sebagai cara berpikir yang didasarkan pada dogma supranatural. Ia berargumen bahwa logika mistika adalah sisa peradaban lama, serupa kepercayaan Mesir Kuno pada Dewa Rah yang diyakini sebagai pencipta dan penguasa alam. Menurutnya, paradigma semacam ini menjadi penghalang kemajuan ilmu pengetahuan dan rasionalitas ilmiah.

Dengan pendekatan materialisme, dialektika, dan logika, Tan Malaka menegaskan bahwa untuk mencapai kemajuan, masyarakat harus meninggalkan cara berpikir mistik menuju rasionalitas empiris: berpikir dengan data, bukan keyakinan. Dalam pandangan ini, bahkan keyakinan bahwa ibadah tertentu dapat mendatangkan rezeki dapat dianggap mistik apabila tidak dapat diuji oleh sains empiris.

Antara Mitos, Takhayul, dan Kepercayaan Agama

Bila Logika Mistika dipahami sebatas praktik klenik, mitos lokal, atau perdukunan, maka kritik Tan Malaka sah adanya. Islam pun menolak kepercayaan terhadap ramalan, jimat, dan dukun. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa seseorang yang mendatangi peramal dan mempercayainya tidak diterima salatnya selama empat puluh hari (HR. Muslim).

Namun, masalah muncul ketika konsep Logika Mistika disamaratakan dengan ajaran agama yang sahih, terutama Islam. Sebab Islam tidak menempatkan kepercayaan gaib sebagai mitos, tetapi sebagai bagian dari epistemologi wahyu yang terverifikasi.

Epistemologi Islam: Bukti di Balik Gaib

Syekh Said Ramadhan Buthi dalam karya Manil Mas’uul ‘an Takhallufil Muslimin menjelaskan bahwa Islam memiliki kerangka epistemologi yang jauh lebih ketat daripada sekadar mistik. Kebenaran agama didasarkan pada dua fondasi:

  1. Kredibilitas Sumber (Tsiqah): Wahyu berasal dari Allah SWT, sumber kebenaran absolut.

  2. Sanad yang Sahih: Informasi agama ditransmisikan melalui periwayatan yang terpercaya, tersambung, dan mutawatir.

Karena itu, kepercayaan Muslim terhadap hal-hal gaib bukanlah logika mistika, melainkan penerimaan terhadap kabar yang terjamin kebenarannya. Al-Qur’an bahkan menegaskan bahwa hanya Allah yang mengetahui perkara gaib (QS. An-Naml: 65).

Dalam analogi sederhana: jika kita mempercayai prediksi BMKG tanpa penelitian sendiri karena kredibilitasnya, mengapa kabar dari Pemilik alam semesta mesti dianggap tidak rasional?

Baca juga: Revitalisasi Prinsip Al-Qur’an: Mengatasi Matinya Kepakaran di Tengah Transformasi Dakwah Virtual

Rasionalitas Wahyu dan Ilmu Pengetahuan

Islam bukan hanya menuntut keimanan spiritual, melainkan juga kerja ilmiah. Rasulullah SAW ketika berperang tidak hanya berdoa, tetapi menyusun strategi militer, memerintahkan analisis medan, serta mempersiapkan langkah taktis.

Inilah keseimbangan epistemologi Islam:

  • Ikhtiar lahiriah: ilmu, riset, teknologi, strategi, dan kerja keras.

  • Ikhtiar batiniah: doa, tawakal, dan ibadah.

Kedua sisi ini bukan saling meniadakan, tetapi saling melengkapi.

Menjembatani Dua Dunia

Kemunduran bangsa bukan terjadi karena agama, melainkan karena mentalitas fatalistik yang hanya mengandalkan amalan spiritual tanpa usaha nyata, atau sebaliknya, mengandalkan rasionalitas tanpa pondasi spiritual yang menjaga konsistensi dan moralitas.

Islam menegaskan bahwa perubahan hanya terjadi melalui usaha manusia sendiri, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d ayat 11.

Karena itu, masyarakat Muslim tidak perlu memilih antara iman dan ilmu. Keduanya dapat berjalan seiring. Wahyu menjaga moral dan arah hidup, sementara ilmu menjaga sistem berpikir agar objektif dan efektif.

Menuju Peradaban Berkeadaban

Jalan menuju kemajuan bangsa adalah dengan menyatukan epistemologi Islam dan ilmu pengetahuan modern, bukan menempatkannya sebagai musuh. Kebenaran wahyu menguatkan nilai batin, sedangkan ilmu pengetahuan memperkuat tindakan.

Ketika pola pikir ini berjalan beriringan, umat akan menemukan arah rasionalitas yang tetap religius—memadukan wahyu, logika, dan realitas.

Dengan demikian, masyarakat tidak perlu meninggalkan ajaran agama untuk menjadi maju, tetapi memperkuat keduanya sebagai fondasi kemajuan intelektual dan spiritual umat Islam di era modern ini.

Penulis: Aisya Humaira, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *