Lebih dari Sekadar Penutup: Menyelami Makna “Wallahu A’lam”

wallahu alam

Mata Akademisi, Milenianews.com –Kata “Wallahu a’lam” selalu mendapat tempat pada baris terakhir sebuah tulisan, bagian akhir ceramah, kata penutup majelis, atau bahkan sebagai jawaban ketika kita tidak tahu. Secara harfiah, kalimat ini adalah sebuah pengakuan yang bersifat ganda: satu manusiawi dan satu ilahi. Dengan kata tersebut, setiap orang akan kembali pada kesadarannya bahwa posisinya adalah sebagai hamba Tuhan. Lewat kata ini, kedaulatan Tuhan sebagai Zat Tertinggi dan Mahatahu, dengan kerendahan hati, diakui oleh para hamba-Nya, bahkan yang paling pintar sekalipun.

Kata “Wallahu a’lam” (dan Allah-lah yang lebih mengetahui) berfungsi sebagai penutup dari komunikasi dan pengetahuan dalam masyarakat. Meskipun tampak sederhana, kata ini mengandung implikasi teologis yang mendalam dan relevan dengan ilmu kalam, khususnya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. “Wallahu a’lam” merupakan ekspresi tawadhu’ ilmiah dalam perspektif Ahlussunnah. Dalam tradisi intelektual Islam, “Wallahu a’lam” bukan sekadar kalimat penutup tanpa makna. Ia adalah manifestasi dari kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan keluasan ilmu Allah SWT. Kata ini mencerminkan sikap tawadhu’ (rendah hati) dalam bidang ilmu, sebuah nilai fundamental dalam Islam yang sangat ditekankan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah.

Baca juga: Halal Bihalal dan Saling Memaafkan

Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagai arus utama dalam teologi Islam, sangat menekankan pentingnya mengakui keagungan dan kesempurnaan Allah SWT, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan. Mereka meyakini bahwa ilmu manusia, seluas apa pun, tetaplah terbatas dan tidak mampu menjangkau hakikat segala sesuatu secara sempurna. Oleh karena itu, mengakhiri suatu pernyataan dengan “Wallahu a’lam” adalah bentuk pengakuan akan keterbatasan ini dan penyerahan ilmu yang hakiki kepada Allah SWT.

Penggunaan “Wallahu a’lam” juga sejalan dengan prinsip kehati-hatian (ihtiyat) yang ditekankan oleh Ahlussunnah dalam berpendapat dan berbicara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama. Ahlussunnah sangat menghindari spekulasi yang berlebihan (takalluf) atau klaim kebenaran mutlak yang tidak didasarkan pada dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Bukan hanya itu, penggunaan kalimat ini pada dasarnya digunakan sebagai jawaban ketika kita ditanya suatu permasalahan ilmu yang tidak kita ketahui jawabannya. Dengan mengucapkan “Wallahu a’lam”, seseorang tidak hanya mengakui keterbatasannya, tetapi juga menghindari potensi kesesatan akibat berpendapat tanpa ilmu yang memadai.

Sikap Tawadhu’ di Ranah Sosial Budaya

Dalam konteks sosial budaya, kebiasaan mengucapkan “Wallahu a’lam” menjadi semacam penanda kerendahan hati dan pengakuan akan otoritas ilmu yang lebih tinggi. Ini secara tidak langsung mendidik masyarakat untuk tidak mudah terpukau oleh klaim-klaim pengetahuan yang dangkal atau tidak berdasar. Kata ini mengingatkan bahwa di atas setiap ilmu yang dimiliki manusia, ada ilmu Allah SWT yang jauh lebih sempurna dan meliputi segala sesuatu.

Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagai mayoritas umat Islam yang teguh berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, menempatkan keagungan dan kesempurnaan Allah SWT sebagai fondasi utama dalam teologi mereka. Keyakinan ini mencakup pengakuan akan ke-Maha-luasan ilmu Allah SWT, yang meliputi segala yang tampak dan tersembunyi, yang terjadi dan yang akan datang. Sebaliknya, ilmu yang diberikan kepada manusia bersifat terbatas oleh kapasitas inderawi, akal, serta pengalaman.

Para ulama juga memakai kalimat “Wallahu a’lam” sebagai kode etik dalam menutup fatwa mereka. Selain itu, mereka juga menggunakan kalimat seperti “Wallahul muwafiq” (hanya Allah yang memberikan petunjuk) dan sejenisnya sebagai penutup penjelasan mengenai permasalahan yang disepakati oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

Para ulama mengucapkan “Wallahu a’lam” sebagai bentuk pengakuan bahwa fatwa yang mereka utarakan bersifat terbatas dan dapat ditinjau ulang di kemudian hari. Mereka juga tidak segan mengubah fatwanya ketika ditemukan sudut pandang ataupun dalil hukum lain yang dapat mengubah pendapatnya. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa fatwa mereka bersumber dari ilmu yang mereka peroleh—dan seluruh ilmu itu bersumber dari Allah SWT. Oleh karena itu, ucapan “Wallahu a’lam” adalah bentuk tawadhu’ mereka di hadapan Allah SWT, yang telah memberikan mereka petunjuk dalam memahami ilmu.

Sedangkan menurut kalangan ulama mazhab Hanafi, penggunaan kalimat “Wallahu a’lam” yang hanya dimaksudkan sebagai penanda penutupan majelis pengajian adalah makruh. Sebab, menjadikan kalimat ini sebatas alat pemberitahuan untuk mengakhiri majelis dinilai merendahkan maknanya. Namun, bila diniatkan sebagai dzikir, maka dihukumi sunnah. Karena dalam kalimat tersebut terdapat unsur dzikir dan kepasrahan kepada Allah SWT. Apabila diniatkan keduanya sekaligus (penutup pengajian dan dzikir), maka menurut mazhab Hanafi, dihukumi sesuai dengan niat yang paling dominan. Jika lebih dominan sebagai penutup, maka makruh; sebaliknya, jika lebih dominan sebagai dzikir, maka sunnah.

Baca juga: Hermeneutika Hasan Hanafi Bukan Sekadar Tafsir Teks

Kaidah Ushul Fiqh: Menghukum yang Zhahir, Menyerahkan yang Batin

Alhasil, pada dasarnya para ulama menghukumi suatu permasalahan sesuai dengan bentuk lahiriah. Di balik itu, hanya Allah SWT yang mengetahui hakikatnya, sebagaimana ungkapan dalam kaidah Ushul Fiqh:

“Kami menghukumi berdasarkan yang zhahir, dan Allah SWT yang menangani hal-hal yang tersembunyi (asrar).”

Karena itulah, para ulama berhati-hati dalam berfatwa ataupun menjelaskan ilmu. Dan hal ini diwujudkan dalam bentuk kalimat “Wallahu a’lam”.

Sebagai penutup, “Wallahu a’lam” bagi Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah sekadar linguistik, melainkan sebuah pernyataan teologis yang sarat makna. Ia adalah cerminan dari tawadhu’ ilmiah, kehati-hatian dalam berpendapat, dan pengakuan akan ke-Maha-luasan ilmu Allah SWT. Kebiasaan ini, meskipun tampak sederhana, memiliki akar yang kuat dalam pandangan dunia Islam yang dianut oleh Ahlussunnah wal Jama’ah—yang senantiasa menempatkan Allah SWT sebagai sumber utama segala ilmu dan kebenaran.

Penulis: Hana Natasya, Dosen serta Rizka Nur Oktavia, Intan Patrisiya, Siti Fatimatuzzahra, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *