Ketika Syiah Dijadikan Kambing Hitam: Stigma dan Realita di Indonesia

Aisyah Ditta
Ketika Syiah Dijadikan Kambing Hitam: Stigma dan Realita di Indonesia

Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah keberagaman mazhab dalam tubuh umat Islam, Syiah kerap menjadi sasaran stigmatisasi di Indonesia. Mazhab ini, sebagaimana dijelaskan Harun Nasution dalam Teologi Islam (1986), memiliki fondasi teologis dan historis yang kuat, serta menjadi bagian dari dinamika pemikiran Islam sejak masa-masa awal. Namun dalam praktiknya, keberadaan Syiah sering kali dipersepsikan negatif dan dikaitkan dengan berbagai tuduhan yang tidak selalu berdasar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana stigma terhadap Syiah terbentuk, dan apa dampaknya terhadap kerukunan sosial-keagamaan di Indonesia?

Baca juga: Jejak Sejarah dan Realita Sekarang: Khawarij Vs OPM di Papua

Mayoritas Sunni di Indonesia memandah Syiah dengan kecurigaan

Pandangan masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut Sunni, turut membentuk persepsi kolektif yang menempatkan aliran agama tersebut sebagai kelompok yang “berbeda” dan bahkan “menyimpang”. Survei PPIM UIN Jakarta pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 62% responden Sunni menganggap Syiah menyimpang dari Islam. Hal ini diperkuat dengan fatwa MUI Jawa Timur tahun 2012 yang menyatakan ketidaksesuaian ajaran aliran tersebut dengan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Pandangan ini, dalam perspektif Harun Nasution (Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973), seharusnya diletakkan dalam semangat keilmuan dan toleransi, bukan dalam bingkai penghakiman sepihak.

Beberapa praktik dan doktrin khas Syiah seringkali menjadi titik gesekan yang memperkuat stereotip. Konsep taqiyyah—yakni menyembunyikan keyakinan saat terancam—acap disalahartikan sebagai bentuk kepalsuan. Demikian pula dengan praktik nikah mut’ah, ritual tatbir saat peringatan Asyura, serta keyakinan akan kemaksuman dua belas Imam, yang kerap dianggap bertentangan dengan ajaran Sunni. Padahal, sebagaimana dijelaskan Nasution, perbedaan tersebut merupakan bagian dari evolusi pemikiran Islam yang dipengaruhi oleh konteks politik dan sosial pada masa awal sejarah Islam.

Stigma terhadap Syiah menjadi alasan terjadinya kekerasan

Stigmatisasi terhadap Syiah di Indonesia bukan hanya muncul dalam wacana teologis, tetapi juga tercermin dalam tindakan diskriminatif dan kekerasan. Salah satu peristiwa paling mencolok adalah tragedi Sampang, Madura, pada tahun 2012, di mana ratusan penganut Syiah menjadi korban pengusiran dan harus hidup dalam pengungsian selama bertahun-tahun. Kasus serupa terjadi di Bogor tahun 2018, saat pengajian Syiah dibubarkan secara paksa oleh kelompok radikal. Data Komnas HAM menunjukkan bahwa pelanggaran kebebasan beragama terhadap komunitas Syiah terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Ketegangan ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika geopolitik di Timur Tengah, khususnya antara Arab Saudi (Sunni) dan Iran (Syiah). Konflik dua negara ini berdampak pada cara masyarakat Indonesia memandang Syiah secara domestik. Laporan SETARA Institute tahun 2021 mencatat meningkatnya ujaran kebencian anti-Syiah seiring memanasnya konflik regional. Banyak yang secara tidak sadar mengaitkan komunitas Syiah di Indonesia dengan kepentingan politik Iran, meskipun secara faktual tidak semua penganut Syiah memiliki keterkaitan dengan negara tersebut. Harun Nasution menegaskan bahwa sejarah relasi Syiah dengan Iran tidak serta-merta menjadikan seluruh Syiah sebagai alat politik Iran.

Media massa berperan dalam menciptakan framing negatif terhadap aliran tersebut 

Media massa turut memperkuat narasi stigmatisasi melalui framing yang cenderung negatif. Analisis Pusat Studi Agama dan Demokrasi (2022) menunjukkan bahwa 73% pemberitaan tentang Syiah di media online menyoroti isu-isu kontroversial tanpa menyertakan konteks yang utuh. Framing semacam ini menciptakan citra yang bias dan memperkuat sentimen negatif di masyarakat. Padahal, dalam pandangan Harun Nasution, setiap mazhab dalam Islam memiliki kekayaan intelektual yang layak dihargai.

Dampak dari stigma yang terus menguat ini sangat nyata. Banyak penganut Syiah merasa tidak aman mengungkapkan identitas keagamaannya. Sebagian bahkan terpaksa berpindah tempat tinggal demi menghindari tekanan sosial. Ini jelas bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai toleransi yang dijunjung tinggi di Indonesia. Keragaman mazhab seharusnya dipahami sebagai bentuk khazanah pemikiran Islam yang memperkaya, bukan memecah belah.

Upaya untuk membangun pemahaman yang lebih inklusif terhadap Syiah mulai dilakukan melalui jalur akademik dan dialog antarumat. Beberapa kampus Islam telah memasukkan kajian mazhab-mazhab Islam ke dalam kurikulum, termasuk pemahaman terhadap Syiah. Forum-forum lintas mazhab juga mulai tumbuh, berperan sebagai ruang pertukaran pandangan yang sehat dan produktif. Dalam hal ini, pendekatan ilmiah dan dialogis seperti yang dianjurkan Harun Nasution, menjadi kunci penting untuk meredam prasangka dan memperkuat solidaritas antarumat Islam.

Penyelesaian masalah stigmatisasi memerlukan pendekatan komprehensif

Fenomena stigmatisasi terhadap Syiah di Indonesia mencerminkan kompleksitas hubungan antara teologi, politik, dan budaya dalam masyarakat. Jika tidak dikelola dengan baik, potensi konflik horizontal akan terus membayangi. Maka dari itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk menghargai perbedaan dan menjadikan keragaman sebagai kekuatan bersama. Melalui pendidikan, penegakan hukum, dan dialog yang terbuka, masyarakat Indonesia dapat membangun kohesi sosial yang lebih kuat, di mana semua kelompok, termasuk Syiah, merasa aman dan dihargai sebagai bagian dari bangsa yang majemuk.

Baca juga: Ilmu Kalam: Fondasi Rasional Dalam Teologi Islam

Seperti air yang mengalir, membawa nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, semangat inklusivitas harus terus ditanamkan dari generasi ke generasi. Dalam setiap perbedaan, terdapat ruang untuk saling memahami, dan dalam setiap keyakinan, terdapat harapan akan persatuan. Indonesia akan tetap utuh jika masyarakatnya bersedia saling merangkul, bukan saling menyingkirkan.

Penulis: Mabda’ Dzikara, Nasya Ardhana, Lathifah Sirri, Sovia Nur Hidayah Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *