Mata Akademisi, Milenianews.com – Saat ini, kita hidup di zaman yang serba terbuka. Semua orang bebas berpendapat, berekspresi—bahkan mereka bebas memaknai kebenaran dan kebaikan sesuai pendapat masing-masing. Kebenaran bisa dibentuk oleh jumlah like, dan kebaikan bisa dibentuk oleh tren.
Ada yang menganggap hidup bebas sebebas-bebasnya adalah simbol kemajuan, padahal bisa jadi itu hanya kedok untuk tidak bertanggung jawab secara moral. Saat akal ditinggalkan dan emosi dijadikan raja, hal tersebut akan menjadi semakin parah. Inilah yang disebut sebagai krisis moral zaman sekarang.
Menariknya, dalam sejarah pemikiran Islam, ada satu aliran teologi yang sangat menjunjung tinggi peran akal, yaitu Mu’tazilah. Aliran ini sering dikatakan sesat oleh sebagian orang, dicap sebagai liberal. Namun jika kita pelajari lebih dalam, sesungguhnya Mu’tazilah memiliki kerangka berpikir yang kritis, rasional, dan penuh tanggung jawab.
Bukan Ditelan Mentah, Tapi Dicerna Jernih
Dalam hal ini, sebenarnya konsep pemikiran Mu’tazilah dapat dijadikan sebagai penentu arah hidup. Bukan untuk ditelan mentah-mentah, tapi untuk direnungkan secara jernih.
Mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul sekitar abad ke-2 Hijriah, didirikan oleh Washil bin Atha’, yang inti ajarannya mengedepankan rasionalitas dalam memahami agama. Mereka percaya bahwa Tuhan adalah Maha Adil, dan karena itu manusia diberi akal untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Jika tidak, keadilan Tuhan menjadi dipertanyakan. Mu’tazilah juga menolak pemahaman tentang takdir yang meniadakan kebebasan manusia.
Bagi mereka, manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Lima prinsip utama Mu’tazilah adalah:
Tauhid (keesaan Tuhan)
Al-‘Adl (keadilan Tuhan)
Al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan)
Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn (status pelaku dosa besar)
Amr Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Dari kelima prinsip tersebut, dua yang paling relevan dengan krisis moral saat ini adalah keadilan Tuhan dan amar ma’ruf nahi munkar.
Mengapa demikian? Karena dari sinilah muncul gagasan penting bahwa manusia tidak memiliki hak untuk hidup sembarangan, melainkan ada standar moral yang harus dijaga. Manusia diberi akal untuk memahami semua ini.
Krisis moral saat ini muncul ketika segala sesuatu dibenarkan hanya karena sesuatu itu membuat seseorang merasa nyaman.
Jadi, dimanakah sebenarnya letak krisis moralnya? Ini bukan hanya tentang orang-orang yang berbuat dosa atau melanggar norma-norma agama, tetapi lebih kepada era di mana standar moral menjadi kabur. Misalnya:
Banyak orang lebih cenderung mempercayai selebritas daripada seorang alim.
Kejujuran bisa dianggap naif, sementara kelicikan dipuja asalkan “berhasil”.
Ungkapan “asal tidak menyakiti orang lain” dijadikan dalih pembenaran atas tindakan pribadi, meskipun dampaknya terkadang tak terlihat.
Gaya hidup yang hanya mengejar dunia dilegalkan dengan anggapan “ini hidupku, urusanku juga”.
Di media sosial, perdebatan soal benar dan salah sering kali berujung pada:
- Semua orang merasa benar.
- Semua orang merasa bebas.
- Semua orang menolak untuk diingatkan.
Bahkan kebaikan pun sering jadi bahan olokan.
Bagi Mu’tazilah, jika Tuhan itu Maha Adil, maka Dia pasti memberi manusia kemampuan untuk membedakan baik dan buruk melalui akalnya. Di zaman sekarang, pemikiran ini menjadi sangat relevan. Saat banyak orang kehilangan arah moral karena terlalu mengandalkan perasaan atau tren, maka menghidupkan kembali akal sebagai penentu etika adalah hal yang mendesak.
Mesin Tak Bermoral, Tapi Kita Terlalu Tunduk
Contoh realitas hari ini: kita hidup dalam era algoritma. Konten yang kita lihat di media sosial ditentukan oleh mesin. Dan mesin itu tidak punya moral. Ia hanya memberikan apa yang kita klik, bukan apa yang paling baik bagi kita. Inilah mengapa konten yang tidak baik, toxic, atau kontroversial justru lebih viral daripada konten yang mendidik. Masalahnya, manusia terlalu sering “dikasih makan” oleh algoritma, sehingga lama-kelamaan standar moral pun terbentuk dari apa yang dilihat setiap hari.
Jika keburukan terlihat biasa, maka lambat laun akan dianggap normal.
Di sinilah pentingnya kembali ke akal, agar manusia bisa menyaring apa yang ia lihat—bukan menelan mentah-mentah semua yang viral. Mu’tazilah sangat percaya bahwa manusia harus menggunakan akalnya untuk menimbang sesuatu, bukan hanya ikut-ikutan.
Maka, dalam dunia digital hari ini, pesan Mu’tazilah adalah:
Jangan jadikan algoritma sebagai Tuhan barumu. Kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral adalah satu hal yang sangat ditekankan.
Baca juga: Al-Qur’an sebagai Objek Perdebatan Teologi dalam Islam
Mu’tazilah menekankan kebebasan manusia untuk memilih, dan karenanya ia bertanggung jawab atas pilihannya.
Dalam konteks hari ini, kebebasan berekspresi sangat diagungkan. Tapi sayangnya, kebebasan sering tidak dibarengi dengan tanggung jawab moral.
Contohnya:
Orang bebas bicara kasar di media sosial, lalu berlindung di balik “kebebasan berekspresi”.
Konten tidak mendidik dianggap sah karena “kan terserah gue mau buat apa”.
Ujaran kebencian dibungkus sebagai “pendapat pribadi”.
Mu’tazilah mengingatkan: kebebasan itu ada karena manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Jika semua dianggap bebas tanpa tanggung jawab, maka kita sedang membangun masyarakat tanpa etika.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Penulis: Abdul Rosyid, Dosen serta Aisyifi Arsyillah Qonita, Avisya Najla Fradisti, Nia Ramadhani, Tazkiayatun Nafs Azzahra, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.