Milenianews.com, Mata Akademisi- Menurut Syaikh Alamuddin, seperti dikutip Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, kata muharram itu berarti suci. Jadi Muharram adalah bulan yang diharamkan atau disucikan. Hal ini dimaksudkan untuk meneguhkan bangsa Arab pada masa lalu yang yang terkadang mengharamkannya dan di lain waktu menghalalkannya.
Legalitas keharaman Muharram terkuak dalam firman Allah, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus” (QS. al-Taubah/9: 36). Empat bulan haram itu adalah Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
Nabi juga bersabda, “Sesungguhnya zaman ini berputar, sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, di mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharram. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kesucian Muharram dapat diidentifikasi dengan beberapa indikasi. Pertama, seperti ditulis Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya bahwa Allah mengharamkan peperangan pada bulan Muharram dan tiga bulan haram lainnya. Tidak hanya peperangan yang diharamkan, namun juga perkataan dan perbuatan lainnya. Namun keharaman bulan itu sering tak diindahkan.
Kedua, kesucian Muharram terletak pada apa yang Nabi katakan bahwa Muharram adalah bulan Allah karena Allah menyucikannya. Nabi bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, (yakni) bulan Muharram.” (HR. Muslim). Hadits ini juga jadi dalil disunahkannya puasa pada bulan Muharram. Seperti puasa Asyura.
Ketiga, sebagaimana yang ditulis Ibnu Katsir di dalam tafsirnya bahwa perbuatan maksiat pada bulan Muharram seperti berlaku zalim kepada Allah, rasul-Nya, dan diri sendiri dosanya jauh lebih besar di luar bulan haram yang empat itu. Begitu juga amal kebajikan yang dilakukan pada bulan Muharrram akan diperbesar pahalanya. Wajar kalau pada bulan Muharram ibadah ritual dan sosial digencarkan.
Secara kontekstual Muharram harus dimaknai lebih mendalam. Muharram harus jadi momentum berbuat baik dan berbagi. Tradisi lebaran yatim harus dipertahankan dan ditingkatkan pada sebelas bulan lainnya. Diharapkan momentum keagamaan dapat mengurangi kemiskinan dan kebodohan yang masih menjerat banyak negeri muslim di dunia. Penduduk Muslim di satu negara jangan sampai jadi beban pemerintahnya.
Momentum Muharrram juga harus jadi batas diakhirinya berbagai macam kezaliman. Akhiri korupsi sejak saat ini. Sudahi pertikaian yang menguras habis energi anak negeri. Hidup beradab jauh lebih indah. Caranya dengan menebar kebaikan dan perbaikan. Al-Qur’an mengajarkan, “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (QS. Huud/11: 88).
Oleh: Dr. KH. Syamsul Yakin MA., Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok