Milenianews.com, Mata Akademisi – Bulan haram, yang terdiri dari empat bulan dalam kalender Hijriyah—Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab—sering kali terabaikan dalam kesibukan dunia modern. Meskipun disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an dan hadis sebagai waktu yang diberkahi dan dihormati oleh Allah SWT, esensi bulan-bulan ini sering terlupakan oleh umat Islam masa kini.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36). Ayat ini menegaskan pentingnya bulan-bulan haram, namun apakah umat Islam saat ini benar-benar menghayati maknanya?
Baca juga: Kesucian Muharram
Bulan haram lebih dari sekadar bulan biasa; di dalamnya terkandung kesempatan untuk meningkatkan ketaqwaan dan menghindari dosa. Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa dosa yang dilakukan pada bulan haram mendapat konsekuensi yang lebih berat. Ini menunjukkan bahwa bulan haram adalah waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki diri.
Tetapi, apakah umat Islam sudah memanfaatkan bulan haram dengan sebaik-baiknya untuk refleksi dan perbaikan diri?
Bulan Muharram, misalnya, mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW, yang penuh dengan nilai perjuangan dan pengorbanan. Namun, seringkali kita hanya mengenang peristiwa itu tanpa menginternalisasi hikmahnya dalam kehidupan sehari-hari.
Hijrah yang diajarkan pada bulan ini seharusnya tidak hanya berarti perpindahan fisik, tetapi juga transformasi batin—migrasi dari kebiasaan buruk menuju kebiasaan baik, dari sikap apatis menjadi peduli, dan dari keegoisan menuju ketulusan dalam beramal.
Selain itu, bulan haram mengajarkan umat untuk hidup damai dan harmonis. Pada masa Arab pra-Islam, peperangan dilarang dalam bulan-bulan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu yang suci. Meski konteksnya kini berbeda, pesan tersebut tetap relevan. Di dunia yang sering dilanda konflik, bulan haram mengingatkan kita untuk menjauhi permusuhan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah, yang kini sering terabaikan dalam perbedaan kecil antar sesama umat.
Bulan haram juga memberi kesempatan bagi umat Islam untuk memperbanyak amal kebajikan. Puasa sunnah pada bulan Muharram, terutama pada Hari Asyura, adalah contoh nyata dari amalan yang dianjurkan. Namun, puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga; puasa adalah latihan pengendalian diri yang mengingatkan kita akan empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Begitu juga dengan amal lainnya, seperti sedekah dan menyantuni anak yatim, yang menjadi cara untuk memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Bulan haram memberikan ruang bagi kita untuk melawan arus kehidupan yang serba cepat dan materialistis. Dalam kesibukan yang sering menguasai, bulan-bulan ini mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengevaluasi hidup. Apakah kita masih memprioritaskan hubungan dengan Allah di atas segalanya? Apakah kita sudah berusaha menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain?
Baca juga: Jika Aku Jadi Gubernur Lampung, Aku Akan ….
Kesimpulannya, bulan haram bukan sekadar entitas waktu dalam kalender Hijriyah, tetapi sebuah panggilan untuk hidup dengan kehormatan, ketakwaan, dan kedamaian. Bulan haram mengingatkan kita bahwa hidup ini lebih dari sekadar pencapaian duniawi; yang lebih penting adalah bagaimana kita memperkuat ikatan dengan Sang Pencipta dan memperbaiki hubungan dengan sesama.
Sebagai umat Islam, seharusnya kita menjadikan bulan-bulan ini sebagai momentum untuk memperbaiki diri, meningkatkan amal kebajikan, dan menebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Dengan demikian, kita tidak hanya menghormati bulan haram sebagai ajaran agama, tetapi juga menghidupkan semangat spiritual yang terkandung di dalamnya.
Penulis: Nengsih Agustin, Mahasiswa STEI SEBI.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.