#Kaburajadulu: Catalyst Perubahan Struktural atau Hanya Sekadar Letupan Ketidakpuasan Sementara?

#Kaburajadulu: Catalyst Perubahan Struktural atau Hanya Sekadar Letupan Ketidakpuasan Sementara?

Mata Akademisi, Milenianews.com – Gerakan protes mahasiswa yang mengusung slogan “Indonesia Gelap” dan mengangkat tagar #KaburAjaDulu telah menjadi sorotan publik belakangan ini. Aksi ini tidak hanya mencerminkan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga menyingkap lapisan-lapisan pertentangan kelas sosial yang selama ini tersembunyi di balik pembangunan ekonomi Indonesia.

Kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan kelas sosial yang mengakibatkan kekecewaan atas ketidak adilan, dimana teori karl marx tentang pertentangan kelas sosial, Marx melihat sejarah manusia sebagai sejarah perjuangan kelas, ketika kaum borjuis (pemilik modal) mendominasi alat produksi, sementara proletar (kaum pekerja dan rakyat tertindas) dieksploitasi.

Baca juga: Ramai Tagar “Kabur Aja Dulu”, Prof. Rokhmin Dahuri Beri Masukan Solusi Atasi Kelesuan Ekonomi dan Pengangguran

Gerakan “Indonesia Gelap” dan tagar #KaburAjaDulu mencerminkan krisis kapitalisme ala Marx, di mana mahasiswa sebagai generasi teralienasi protes terhadap sistem ekonomi yang timpang. Dimana Mereka menghadapi masa depan suram dengan pengangguran dan upah rendah, sementara oligarki menguasai politik dan ekonomi. Meski media sosial menjadi alat perlawanan, gerakan ini perlu kesadaran kolektif yang lebih kuat untuk mencapai perubahan struktural. Tanpa itu, protes hanya akan jadi letupan sesaat dalam sistem kapitalis yang terus bertahan.

Teori ekonomi Marxis mengungkapkan bahwa pertentangan kelas sosial adalah buah dari sistem kapitalis yang eksploitatif. Di Indonesia, kesenjangan ekonomi antara kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja (proletar) semakin melebar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,32% dari total angkatan kerja sekitar 7,86 juta orang.

Angka ini menunjukkan penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, dimana pandemi COVID-19 sempat mendorong tingkat pengangguran terbuka hingga 7,07% pada Agustus 2020. Faisal Basri, ekonom senior Indonesia, menyuarakan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.

Faisal Basri menilai pertumbuhan ekonomi 5% yang diklaim pemerintah sebagai pertumbuhan semu karena lebih didorong oleh konsumsi rumah tangga dan ekspor komoditas mentah, bukan industrialisasi bernilai tambah. Sektor manufaktur yang stagnan di 18% PDB menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibanding negara lain yang telah beralih ke ekonomi berbasis teknologi.

Protes “Indonesia Gelap” adalah respons terhadap ketidakadilan ini. Mahasiswa, sebagai bagian dari kelompok terdidik, menyuarakan kegelisahan atas kebijakan ekonomi yang dinilai hanya menguntungkan segelintir elit. Pembatasan BBM tidak dibatasi secara langsung pada beberapa jenis Bahan Bakar Minyak (BBM), terutama yang bersubsidi seperti pertalite dan solar.

Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa BBM subsidi tepat sasaran, yaitu untuk masyarakat berpenghasilan rendah, transportasi umum, dan sektor vital seperti perikanan dan pertanian. Tarif listrik dan minimnya lapangan kerja juga menjadi pemicu utama.

Tagar #KaburAjaDulu muncul sebagai sindiran terhadap ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah struktural ini, sekaligus simbol perlawanan terhadap sistem yang dianggap gagal.

Gerakan mahasiswa tidak bisa dipandang sekadar sebagai aksi spontan. Mahasiswa adalah manifestasi dari kesadaran kelas yang tumbuh di kalangan generasi muda. Hal ini terbukti dalam gerakan mahasiswa tahun 1998, yang bukan hanya aksi jalanan, tetapi juga perlawanan terhadap hegemoni Orde Baru.

Dalam kerangka teori Gramsci, hegemoni kelas penguasa dapat digoyahkan melalui perlawanan budaya dan intelektual. Dengan membawa narasi reformasi dan menggugah kesadaran kritis masyarakat, mahasiswa 1998 menjadi aktor penting dalam meruntuhkan dominasi ideologis rezim yang telah mengakar selama puluhan tahun.

Namun, pertanyaannya adalah: apakah gerakan ini akan berhasil menciptakan perubahan sistemik, atau hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah? Jawabannya tergantung pada sejauh mana gerakan ini mampu melibatkan kelompok-kelompok tertindas lainnya, seperti buruh, petani, dan masyarakat miskin perkotaan.

Dalam perspektif Karl Marx, perubahan sosial yang revolusioner hanya akan tercapai melalui solidaritas kolektif dari kelas-kelas yang tertindas. Tanpa persatuan antar kelas dalam melawan struktur penindasan, gerakan mahasiswa akan berisiko terfragmentasi dan kehilangan daya dorongnya. Solidaritas antar-kelas inilah yang dapat menjadi kekuatan material dan historis untuk mendorong transformasi sosial yang sejati.

Protes “Indonesia Gelap” dan tagar #KaburAjaDulu adalah cermin dari kegagalan sistem ekonomi yang timpang. Gerakan ini tidak hanya tentang tuntutan konkret, tetapi juga perlawanan terhadap struktur kelas yang tidak adil. Jika diarahkan dengan strategi yang matang, gerakan mahasiswa dapat menjadi reaksi perubahan menuju Indonesia yang lebih setara.

Namun, tanpa dukungan luas dari seluruh lapisan masyarakat, aksi ini berisiko tenggelam dalam hirukpikuk politik sehari-hari.

Tagar #KaburAjaDulu bisa ditafsirkan sebagai bentuk frustasi terhadap impitan ekonomi yang membuat generasi muda merasa tidak memiliki masa depan (futureless), sebuah fenomena yang sesuai dengan konsep Marx tentang alienasi ketika manusia terpisah dari hasil kerja, hakikat sosial, dan potensi diri akibat sistem kapitalistik.

Pemerintah yang gagal menjamin kesejahteraan rakyat, sementara elite politik dan korporasi terus mengakumulasi kekayaan, memperkuat narasi pertentangan kelas.

Gerakan mahasiswa, baik dalam peristiwa 1998 maupun dalam respons terhadap ketimpangan hari ini seperti tagar #KaburAjaDulu, adalah refleksi dari kesadaran kelas yang terus tumbuh di tengah generasi muda. Namun, agar tidak berhenti sebagai simbol perlawanan sesaat, gerakan ini harus dievaluasi dan diperkuat.

Baca juga: Rebo Wekasan: Ritual Sakral Antara Mitos dan Spiritualitas Perspektif Émile Durkheim

Tantangannya adalah menjangkau masyarakat akar rumput, menawarkan solusi konkret, dan membangun solidaritas lintas kelas. Dalam kerangka teori Gramsci dan Marx, perubahan sejati hanya lahir dari kekuatan kolektif yang mampu mengguncang dominasi ideologis yang mapan.

Oleh karena itu, gerakan mahasiswa hari ini harus melampaui dunia digital dan membumi dalam realitas sosial, agar perjuangan mereka benar-benar menjadi penggerak transformasi menuju Indonesia yang lebih adil dan setara. Tanpa arah yang jelas dan solidaritas yang luas, gerakan mahasiswa hanya akan menjadi gema yang hilang dalam ingatan sejarah, bukan pemicu perubahan yang sejati.

Penulis: Sultan Antus Nasruddin Muhammad, Dosen serta Niswah Nabilah, Nur Syafiqah Masudah, Zalfania Kusuma Salsabila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *