Jejak Sejarah dan Realita Sekarang: Khawarij Vs OPM di Papua

Jejak Sejarah dan Realita Sekarang: Khawarij Vs OPM di Papua

Mata Akademis, Milenianews.com – Khawarij dikenal dalam sejarah Islam sebagai kelompok yang menentang kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib, khususnya pada peristiwa Perang Shiffin. Secara etimologis, istilah “Khawarij” berasal dari kata bahasa Arab kharaja–yakhruju yang berarti “keluar” atau “meninggalkan”. Hal ini merujuk pada tindakan mereka yang keluar dari barisan pasukan Sayyidina Ali karena tidak sepakat dengan penerimaan tahkim atau arbitrase yang disepakati antara Ali dan Muawiyyah.

Baca juga: Sakral dan Sosial pada Ritual Ngaben dalam Budaya Bali

Pada awalnya, Khawarij merupakan pendukung Ali, namun sikap Ali yang menerima tahkim dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan, sehingga mereka berubah menjadi kelompok yang memusuhinya. Bahkan mereka bersedia kembali ke barisan Ali hanya jika ia bersedia bertaubat. Jika tidak, Khawarij menganggap perlu menyatakan perang terhadap Ali maupun Muawiyyah karena keduanya dianggap telah menyimpang dari hukum Allah.

Kelompok ini juga dikenal dengan sebutan Haruriyah, merujuk pada tempat bernama Harura di dekat Sungai Furat, serta disebut juga sebagai Muhakkimah, karena slogan mereka yang terkenal yaitu lā ḥukma illā lillāh (tidak ada hukum selain hukum Allah). Mereka menolak segala bentuk hukum dan keputusan selain yang bersumber dari syariat. Bahkan dalam pidato-pidato para pemimpin seperti Ali dan Muawiyyah, mereka kerap menginterupsi dengan meneriakkan slogan tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap otoritas manusia.

Asy-Syahrastani mendefinisikan Khawarij sebagai siapa pun yang memberontak terhadap pemimpin sah yang telah disepakati oleh jamaah umat Islam, baik di masa sahabat maupun generasi setelahnya. Karakteristik Khawarij didominasi oleh latar belakang Arab badui yang jauh dari tradisi keilmuan. Mereka hanya memahami Islam melalui teks Al-Qur’an tanpa pendekatan kontekstual, bersifat fanatik, berpikir sempit, dan cenderung ekstrem dalam menyikapi perbedaan pendapat. Meski awalnya bersifat politis, gerakan mereka berkembang menjadi gerakan bercorak keagamaan yang radikal.

Sementara itu, OPM (Organisasi Papua Merdeka) merupakan gerakan separatis yang bertujuan memisahkan wilayah Papua dari Republik Indonesia. Gerakan ini lahir sebagai bentuk ekspresi atas ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang dinilai lalai dalam menjamin keadilan dan kesejahteraan masyarakat Papua. OPM pertama kali dideklarasikan di Manokwari pada Februari 1960-an dalam pertemuan di rumah keluarga Watofa. Pertemuan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh penting lokal seperti kepala suku Arfak, Lodwik Mandacan, Barent Mandacan, serta aparat keamanan dan militer lokal.

OPM memandang bahwa integrasi Papua ke dalam Indonesia tidak membawa dampak signifikan terhadap pembangunan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, maupun perlindungan hak asasi manusia (HAM). Sama seperti Khawarij, OPM memiliki karakteristik gerakan yang radikal dan ekstrem dalam memperjuangkan tujuannya, meskipun berbeda dalam konteks: Khawarij berbasis agama, sementara OPM lebih bersifat etnonasionalis.

Jika ditinjau dari aspek karakter gerakan, baik Khawarij maupun OPM menunjukkan kesamaan dalam metode perjuangan yang menggunakan kekerasan sebagai bentuk penolakan terhadap kepemimpinan yang dianggap tidak adil. Khawarij menolak Ali dan Muawiyyah, sedangkan OPM menolak kekuasaan negara Indonesia atas Papua. Keduanya mengklaim memperjuangkan keadilan dan merasa menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak.

Narasi ketidakadilan menjadi alasan gerakan perlawanan

Khawarij muncul pada abad ke-7 Masehi, sedangkan OPM berkembang pada pertengahan abad ke-20. Kedua gerakan ini juga berbagi narasi terkait ketidakadilan: Khawarij merasa nilai-nilai keadilan Islam telah diselewengkan, sementara OPM menilai bahwa pembangunan dan kebijakan negara gagal menyentuh kesejahteraan rakyat Papua. Kesamaan lainnya adalah penggunaan kekuatan senjata dan pendekatan ekstrem sebagai sarana perlawanan.

Solusi terhadap kedua fenomena ini tentu harus disesuaikan dengan konteks zaman dan akar permasalahannya. Dalam kasus Khawarij, dibutuhkan pelurusan pemahaman agama yang lebih inklusif dan moderat, disertai pendekatan dialogis sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dalam Perjanjian Hudaibiyah. Sementara dalam konteks OPM, diperlukan kebijakan pembangunan yang lebih adil dan merata, dialog damai yang melibatkan tokoh-tokoh moderat Papua, serta penghormatan terhadap HAM sebagai syarat dasar bagi terciptanya perdamaian yang bermartabat.

Baca juga: Pemikiran Teologi Khawarij dan Relevansinya terhadap Fenomena Ekstremisme di Era Modern

Khawarij dan OPM adalah dua entitas yang berbeda dalam ruang dan waktu, tetapi keduanya lahir dari ketidakpuasan terhadap sistem yang mereka anggap menindas. Pelajaran penting dari kedua peristiwa tersebut adalah bahwa kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan baru, sedangkan keadilan dan dialog menjadi kunci utama untuk mencapai perdamaian yang sejati.

Penulis: Iffaty Zamimah, Aura Abrar Nakhqia, Rey Nazwa, Felgia Riani – Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *