Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan ilmu pengetahuan modern saat ini banyak dibangun di atas paradigma Barat yang cenderung sekuler. Paradigma ini memisahkan ilmu dari nilai-nilai moral, spiritual, dan tujuan hidup manusia yang hakiki. Akibatnya, kemajuan ilmu dan teknologi tidak selalu berjalan seiring dengan peningkatan kualitas akhlak manusia.
Ilmu berkembang dengan sangat cepat, tetapi penggunaannya kerap kehilangan orientasi kemaslahatan. Sebagian bahkan memicu krisis sosial, kerusakan ekologi, hingga krisis identitas manusia modern. Kondisi inilah yang melatarbelakangi munculnya gagasan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai upaya mengembalikan ilmu kepada visi ilahiyah dan tujuan penciptaannya.
Islamisasi ilmu tidak dimaksudkan sebagai penambahan ayat Al-Qur’an atau label “Islam” pada teori yang telah ada. Ia merupakan sebuah proses menyeluruh untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan dengan nilai, etika, dan pandangan hidup Islam.
Islamisasi Ilmu sebagai Rekonstruksi Epistemologi
Secara konseptual, islamisasi ilmu pengetahuan dipahami sebagai proses penataan ulang epistemologi—cara memperoleh, memahami, dan mengembangkan ilmu—berdasarkan worldview Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa islamisasi berarti membersihkan ilmu dari unsur-unsur yang bertentangan dengan tauhid, seperti sekularisme, dualisme, dan humanisme ekstrem.
Menurut al-Attas, islamisasi merupakan ikhtiar menyelamatkan umat Islam dari dua pengaruh besar. Pertama, dari warisan pra-Islam berupa tradisi magis, animisme, dan mitos. Kedua, dari kendali sekuler atas nalar dan bahasa yang membentuk cara berpikir modern.
Dalam konteks pendidikan, al-Attas juga mengkritik penggunaan istilah ta’lim dan tarbiyah yang dinilai belum sepenuhnya merepresentasikan worldview pendidikan Islam. Ia mengajukan konsep ta’dib—yang bermakna pemberian adab—sebagai inti pendidikan. Adab dipahami sebagai disiplin tubuh, jiwa, dan ruh, yakni pembentukan kemampuan membedakan yang benar dan yang salah, yang adil dan yang keliru, agar manusia terhindar dari kehinaan moral.
Sementara itu, Ismail Raji al-Faruqi memaknai islamisasi ilmu sebagai upaya mengislamkan ilmu pengetahuan modern melalui penyusunan ulang sains sosial, humaniora, dan sains alam. Proses ini dilakukan dengan memberikan dasar dan tujuan yang selaras dengan Islam. Al-Faruqi menekankan pentingnya tauhid sebagai prinsip utama dalam membangun struktur ilmu dan kurikulum pendidikan.
Dengan demikian, islamisasi ilmu bukanlah penolakan terhadap ilmu modern, melainkan integrasi antara wahyu dan akal agar ilmu tidak kehilangan arah spiritual dan tujuan etiknya.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Krisis Epistemologi dan Pendidikan Modern
Urgensi islamisasi ilmu muncul dari realitas krisis epistemologi di dunia Islam. Banyak disiplin ilmu dipelajari tanpa penyaringan nilai, sehingga membentuk cara pandang yang tidak sepenuhnya selaras dengan ajaran Islam. Pendidikan modern kerap terjebak pada aspek teknis dan keterampilan akademik, sementara dimensi adab dan etika justru terpinggirkan.
Peserta didik diajarkan teori, rumus, dan hafalan, tetapi tidak selalu diajak memahami makna dan tanggung jawab moral dari ilmu tersebut. Padahal dalam Islam, ilmu tidak pernah terlepas dari dimensi ibadah dan akhlak.
Al-Qur’an secara berulang memerintahkan manusia untuk berpikir, merenung, dan meneliti alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Namun perintah tersebut selalu berada dalam bingkai tauhid. Ilmu seharusnya mendekatkan manusia kepada Sang Pencipta, bukan justru melahirkan kerusakan dan kesombongan intelektual.
Langkah-Langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Proses islamisasi ilmu dapat dilakukan melalui beberapa langkah strategis. Pertama, dilakukan kritik selektif terhadap konsep, teori, dan nilai yang berasal dari peradaban Barat. Kritik ini tidak bertujuan menolak ilmu secara total, melainkan mengidentifikasi unsur yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
Kedua, dilakukan rekonstruksi ilmu dengan menyesuaikan konsep dasar, metodologi, dan tujuan agar sejalan dengan nilai keadilan, keseimbangan, kasih sayang, dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.
Ketiga, nilai-nilai Islam diintegrasikan secara nyata dalam pendidikan, penelitian, dan praktik keilmuan. Dalam sains, misalnya, islamisasi mendorong etika lingkungan dan kesadaran bahwa alam merupakan amanah. Dalam ilmu sosial, ia menegaskan keadilan sosial dan kemaslahatan publik. Bahkan dalam psikologi dan konseling, islamisasi mengakui peran spiritualitas, doa, dan konsep fitrah manusia.
Menuju Ilmu yang Bermartabat
Tujuan akhir islamisasi ilmu adalah membangun ilmu yang tidak hanya kuat secara rasional dan empiris, tetapi juga kokoh secara moral dan spiritual. Ilmu yang islami bukan semata-mata ilmu yang dipelajari oleh umat Islam, melainkan ilmu yang membawa kemaslahatan universal, menghindarkan kerusakan, dan memperkuat relasi manusia dengan Tuhan.
Ketika nilai-nilai Islam terintegrasi dalam ilmu pengetahuan, maka lahirlah peradaban yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga seimbang, beretika, dan berorientasi pada kebaikan manusia dan alam semesta.
Sebagai penutup, islamisasi ilmu pengetahuan merupakan langkah strategis untuk menyelaraskan perkembangan ilmu dengan nilai-nilai tauhid. Proses ini bukan dimaksudkan untuk menolak modernitas, melainkan meluruskan kembali tujuan ilmu agar tetap berpijak pada visi ilahiyah. Integrasi wahyu dan akal akan melahirkan ilmu yang mencerahkan, membimbing, dan menghadirkan kemaslahatan bagi peradaban manusia.
Penulis: Nafilah Yusmita, Mahasiswa Semester 1 IAT/IIQ Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.













