Islam Wiwitan Dedi Mulyadi: Sebuah Tafsir Antropologis atas Keislaman yang Berbasis Budaya Sunda

islam wiwitan dedi mulyadi alias kdm

Mata Akademisi, Milenianews.com – Dedi Mulyadi, saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, dikenal dengan sapaan akrab “KDM”. Masyarakat Jawa Barat memanggilnya Bapak Aing, karena sering banget bantu warganya. Peta keagamaan KDM, menjadikannya sosok yang unik. KDM sebagai seorang muslim, sangat menjunjung tinggi agamanya. Ia pun bukan sekadar seorang politisi dan birokrat, namun juga, sekaligus pejuang untuk menjaga eksistensi dan melestarikan budaya Sunda.

KDM sendiri adalah sosok yang terkadang dituduh sebagai aliran baru dalam konteks relasi Islam dan Budaya Sunda. Pandangan KDM mengenai relasi Islam dan budaya Sunda, menjadikan penulis memberikan istilah “Islam Wiwitan”. Istilah ini diberikan, merujuk kepada pada cara berislam KDM yang sangat menghargai dan memadukan ajaran Islam dengan akar kebudayaan Sunda tanpa menghilangkan substansi ajaran Islam.

Baca juga: Pendidikan Barak Militer untuk Siswa: Terobosan atau Pelanggaran HAM?

Pandangan KDM mengenai relasi Islam dan budaya Sunda, tanpa bermaksud mengkontradiksikan, dapat dikaji melalui sudut pandang antropologi budaya Geertz, melalui teori interpretive anthropology yang memahami budaya sebagai jaringan makna (web of significance), yang perlu ditafsirkan secara mendalam (thick description).

“Islam Wiwitan” yang dimaksud dalam artikel ini, bukan sebagai aliran baru dalam Islam, akan tetapi sebagai konstruksi untuk menggambarkan KDM dalam mempraktikan dan memahami Islam. KDM, adalah seorang Muslim yang patuh kepada ketentuan-ketentuan agama dan kritis terhadap “Arabisasi” yang mengatasnamakan Islam dalam beragama.

Bagi KDM, berpijak pada ajaran agama dan menjadi seorang muslim yang baik, bukan membuat identitas sebagai seorang Sunda otomatis terhapus. Sebaliknya, ia memandang tradisi Sunda seperti penghormatan terhadap alam, nilai-nilai silih asih, dan kebijaksanaan lokal lainnya, sebagai harmoni dengan semangat Islam. Pandangan ini telah membuat sosok kontroversial tetapi menarik dari perspektif antropologi.

Clifford Geertz, dalam The Interpretation of Cultures (1973), memahami agama sebagai sistem simbol yang memberikan kerangka kepada penganutnya. Dalam konteks ini, apa yang penulis sebut sebagai Islam Wiwitan pada diri KDM adalah usaha untuk menciptakan sintesis antara Islam dengan budaya Sunda, di mana keduanya saling memperkaya tanpa harus saling menegasikan.

Beberapa ciri Islam Wiwitan versi KDM yang dapat diidentifikasi: pertama, Penolakan terhadap Arabisasi Kaku. Dedi kerap mengkritik keagamaan yang mimetik dengan budaya Arab. Ia lebih memilih mengenakan pakaian adat Sunda daripada berpakaian timur tengah pada acara resmi.

Kedua, Pemuliaan Nilai-Nilai Sunda Wiwitan. Ia aktif menghidupkan tradisi Sunda seperti mapag Sri (ritual syukur atas hasil bumi) dan nyacar (tradisi membersihkan ladang secara gotong royong untuk persiapan menanam padi) yang dianggap tidak bertentangan dengan Islam.

Ketiga, Spiritualisme yang Terhubung dengan Alam. KDM, sebagai tokoh yang dekat dengan masyarakat agraris, sangat yakin bahwa Islam adalah agama yang sangat mencintai alam, yang mana pemeliharaan ekologi merupakan nilai dominan dalam Sunda Wiwitan.

Geertz melihat bahwa agama tidak hanya merupakan sistem kepercayaan, tetapi juga medan pertempuran makna. Dalam hal ini, Islam Wiwitan dapat dilihat sebagai usaha dari KDM untuk merekonsiliasi identitas keislaman dan kesundaan yang harmonis.

Pernyataan yang diamplifikasi adalah “Orang Sunda yang baik pasti Muslim yang baik, dan Muslim yang baik tidak akan meninggalkan adat Sunda yang luhur”, menunjukkan upaya untuk menciptakan pemahaman keislaman yang kontekstual. Dalam hal ini, KDM mencoba mengikuti alur Geertz yang mengatakan bahwa agama sebagai sistem budaya yang dinamis berinteraksi dengan hidup itu sendiri.

KDM tidak jarang dikritik pula. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa perlakukan terhadap lokalitas atas budaya setempat dengan Islam, dapat menjadi salah satu bentuk pengaburan antara akidah Islam dan adat sehingga cendrung menimbulkan syirik. Akan tetapi, KDM berargumen bahwa dirinya hanya mengusung misi kebudayaan yang sejalan dengan tauhid.

Dari sisi ini, bisa dikatakan sebagian besar masyarakat Sunda, merasa terwakili oleh pendapat ini, khususnya bagi meraka yang tetap beragama Islam, dan tidak terputus dengan budaya. Seperti inilah kompleksitas, baik agama maupun budaya satu sama lain tidak dapat dipisahkan, sebagaimana pemikiran Geertz.

Dengan menggunakan pandangan antropolog Geertz, Islam Wiwitan dengan jeli diterapkan oleh KDM. Bentuk keislaman yang ditawarkan dengan tetap melakukan usaha menjaga budaya yang teramat tinggi tanpa melanggar hukum agama.

Baca juga: KDM dan Julukan “Bapak Aing”: Jenius atau Hanya Kebetulan?

Istilah Islam Wiwitan, bukanlah label resmi, melainkan kerangka untuk memahami bagaimana KDM, sebagai seorang Muslim dan sekaligus sebagai pencinta budaya, mempraktikkan keislamannya dalam konteks budaya Sunda.

Fenomena ini menambah kekayaan budaya Islam di Indonesia dengan menunjukkan bahwa agama dan budaya dapat terlibat dalam dialog secara produktif. Sebagaimana Geertz berpendapat, memahami agama berarti memahami bagaimana orang membuat makna dari hidup mereka; dan bagi KDM, makna itu terletak pada sintesis antara keislaman dan kesundaan.

 

Oleh: Saepullah, Dosen Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *