Ilmu Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai dalam Fenomena Masa Kini

Masa Kini

Milenianews.com, Mata Akademisi – Sejak awal perkembangan filsafat ilmu, muncul perdebatan mengenai apakah ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai (value free) atau tidak bebas nilai (value-laden). Perdebatan ini bukan sekadar akademis, melainkan menyangkut bagaimana ilmu diposisikan dalam kehidupan manusia. Di satu sisi, ilmu dianggap sebagai usaha objektif untuk memahami realitas melalui metode ilmiah yang ketat. Di sisi lain, ilmu tidak pernah benar-benar steril dari nilai-nilai sosial, etika, dan politik yang melingkupinya.

Tulisan ini akan membahas kedua pandangan tersebut, sekaligus menekankan bahwa fenomena masa kini, seperti perubahan iklim dan perkembangan kecerdasan buatan seperti Artifical Intelligence (AI) menunjukkan bahwa ilmu selalu bersinggungan dengan nilai. Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami keterbatasan objektivitas ilmu sekaligus peran nilai dalam mengarahkan penggunaannya.

Baca juga: Hakikat Keberadaan Lavender Marriage: Adanya Pernikahan Karna Status Sosial

Konsep ilmu bebas nilai berakar pada positivisme yang berkembang pada abad ke-19. Positivisme menekankan bahwa ilmu harus berlandaskan pada fakta yang dapat disetujui kebenarannya, tanpa dipengaruhi oleh pendapat atau argumen sendiri. Ilmu bebas nilai dianggap objektif, netral, dan hanya berfokus pada fakta saja. Sederhananya, pandangan ini menekankan bahwa ilmu itu layaknya seperti “cermin” yang hanya memantulkan kenyataan apa adanya, tanpa ditambah atau dikurangi oleh perasaan, kepentingan, dan lain-lain.

Fenomena masa kini yang berhubungan dengan ilmu bebas nilai adalah riset-riset murni seperti fisika kuantum, astronomi, matematika murni, dan eksperimen laboratorium dasar. Penelitian ini berusaha menjaga objektivitas dan netralis. Namun, begitu hasilnya diterapkan dalam kehidupan nyata, ia sering bergeser menjadi tidak bebas nilai, karena bersinggungan dengan kepentingan sosial, politik, dan etika. Contoh ini  menunjukkan bahwa ilmu memang bisa berdiri sebagai pencarian kebenaran objektif, namun akan berubah menjadi ilmu tidak bebas nilai apabila diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Sebaliknya, ilmu tidak bebas nilai menekankan bahwa penelitian dan penerapan ilmu selalu dipengaruhi oleh nilai sosial, etika, dan politik. Dalam praktiknya, ilmu tidak pernah sepenuhnya lepas dari nilai. Beberapa alasan utamanya adalah: pemilihan topik penelitian. Peneliti tidak meneliti semua hal secara acak. Topik dipilih berdasarkan kebutuhan masyarakat, tren global, atau kepentingan tertentu.

Kemudian, alasan pendanaan dan kepentingan. Penelitian sering bergantung pada dana dari pemerintah, industri, atau lembaga tertentu yang memiliki kepentingan. Sumber dana ini biasanya memiliki tujuan tertentu, sehingga arah penelitian tidak sepenuhnya netral. Misalnya, riset farmasi bisa diarahkan untuk obat yang lebih menguntungkan secara komersial.

Alasan selanjutnya adalah interpretasi hasil. Meskipun data penelitian diperoleh dengan cara objektif (misalnya angka, hasil pengukuran, atau fakta yang bisa diuji), cara kita menafsirkan dan menggunakan data itu sering kali dipengaruhi oleh nilai, pandangan, atau kepentingan masyarakat. Sebagai contoh, sebuah sistem AI menganalisis ribuan lamaran kerja dan menemukan pola bahwa kandidat dengan pengalaman tertentu lebih sering diterima. Perusahaan bisa menafsirkan data itu sebagai alasan untuk hanya merekrut orang dengan latar belakang tertentu. Namun, masyarakat bisa menilai bahwa sistem ini tidak adil, karena mengabaikan kandidat dari kelompok lain. Ringkasnya, data penelitian itu netral, tetapi cara kita menafsirkan dan menggunakannya selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai masyarakat, seperti keadilan, etika, dan kepentingan politik.

Fenomena perubahan iklim adalah contoh nyata bahwa ilmu tidak bisa dilepaskan dari nilai. Para peneliti iklim bekerja dengan cara yang sangat ilmiah. Mereka mengukur suhu bumi, menghitung jumlah gas karbon di udara, dan membuat model komputer untuk memprediksi kondisi iklim di masa depan. Semua ini dilakukan dengan metode yang ketat agar hasilnya benar-benar bisa dipercaya. Hasil penelitian itu tidak berhenti di angka atau grafik saja, Begitu dipublikasikan, data iklim langsung bersinggungan dengan hal-hal yang punya nilai sosial dan politik. Misalnya, pemerintah harus membuat kebijakan energi, industri harus menyesuaikan cara produksi, dan masyarakat harus memikirkan dampak bagi generasi mendatang.

Penelitian iklim memang berusaha objektif dengan data dan metode ilmiah. Tetapi, hasilnya tidak bisa dipisahkan dari nilai sosial, politik, dan etika. Jadi, ilmu tentang iklim bukan hanya untuk memahami alam, melainkan juga menjadi dasar dalam mengambil keputusan penting yang menyangkut masa depan manusia.

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) juga memperlihatkan keterikatan erat antara ilmu dan nilai. AI bekerja dengan algoritma (aturan logika) dan data. Dari sisi teknis, AI tampak netral dan objektif karena dirancang untuk memproses informasi secara cepat dan efisien sesuai aturan yang dibuat. Misalnya, AI bisa membaca ribuan lamaran kerja dan memilih kandidat yang paling sesuai berdasarkan data pengalaman kerja.

Walaupun terlihat netral, dalam praktiknya AI sering membawa masalah sosial, yaitu bias algoritmik. Jika data yang dipakai tidak seimbang, AI bisa memihak kelompok tertentu. Misalnya, sistem rekrutmen yang lebih sering memilih kandidat dari latar belakang tertentu. Lalu privasi, AI sering menggunakan data pribadi, sehingga ada risiko kebocoran atau penyalahgunaan informasi. Data yang dikumpulkan juga bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi, otomatisasi dengan AI bisa menggantikan pekerjaan manusia, dan hal itu bisa menimbulkan masalah ekonomi dan sosial.

Baca juga: Pengetahuan Diri dalam Kehidupan Sehari-hari

AI bukan hanya soal teknologi canggih, Ia juga menyangkut keadilan sosial, etika, dan politik. Keputusan tentang bagaimana AI digunakan tidak bisa dianggap netral, melainkan selalu sarat dengan nilai. Dengan kata lain, AI berusaha objektif secara teknis, tetapi penerapannya tidak pernah bebas dari nilai.

Perdebatan mengenai ilmu bebas nilai dan tidak bebas nilai menunjukkan bahwa ilmu tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial. Meskipun metode ilmiah berusaha menjaga objektivitas, fenomena masa kini seperti perubahan iklim dan perkembangan AI, menegaskan bahwa ilmu selalu bersinggungan dengan nilai sosial, etika, dan politik. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa ilmu bukan hanya soal fakta, tetapi juga soal nilai. Kesadaran ini akan membantu kita menggunakan ilmu secara lebih bijak, sehingga pengetahuan yang dihasilkan tidak hanya bermanfaat secara teknis, tetapi juga relevan secara moral dan sosial. Dengan demikian, ilmu dapat menjadi kekuatan yang tidak bisa menjelaskan dunia, tetapi juga memperbaiki kehidupan manusia.

Penulis: Haniyah Husna Al Habsyi, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *