Ulee seunara, hatee meuhom–kepala harus jernih, hati harus teguh.
–Filosofi Aceh
Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam kehidupan yang kian ramai namun terasa sepi, manusia sering terjebak bukan oleh kerasnya dunia, melainkan oleh kabut niat orang lain. Manipulasi kini tak lagi datang dengan wajah bengis; ia menyelinap lewat senyum, perhatian palsu, atau kata-kata manis yang menyentuh hati. Dunia modern mengajarkan banyak hal, namun jarang mengajarkan satu hal penting—yakni bagaimana tetap jernih ketika niat di sekeliling kita menjadi keruh.
Di Aceh, nilai-nilai adat dan agama membentuk manusia yang santun, penuh empati, dan menghargai perasaan. Namun, dalam kenyataannya, kesantunan tanpa kesadaran diri sering berubah menjadi jebakan halus. Banyak orang berkata “ya” agar dianggap baik, tersenyum agar tidak menyinggung, dan mengalah agar tetap diterima. Kebaikan pun berubah menjadi topeng, bukan cermin nurani. Padahal, kebaikan yang lahir dari rasa takut kehilangan penerimaan bukanlah kebaikan, melainkan bentuk keterikatan. Dan keterikatan adalah pintu masuk bagi manipulasi.
Baca juga: Ketika Akal Tak Lagi Jadi Kompas Moral di Tengah Krisis Zaman
Filosofi Aceh lama mengajarkan, “ulee seunara, hatee meuhom” (kepala harus jernih, hati harus teguh). Dua hal ini ibarat dayung dalam hidup: yang satu mengarahkan, yang satu menyeimbangkan. Namun, di tengah derasnya arus citra dan kepentingan, banyak orang kehilangan hatee meuhom-nya. Hati menjadi lembut di luar, tetapi rapuh di dalam—mudah digoyang pujian, mudah tersulut amarah, dan mudah terperangkap oleh drama yang disulut rasa bersalah.
Ketegasan di Aceh sering disalahartikan sebagai keras kepala. Padahal, berkata “tidak” dengan tenang adalah bagian dari adab diri—cara manusia menjaga kehormatan batinnya. Orang yang mampu menolak tanpa marah, dan menerima tanpa tunduk, adalah manusia yang telah merdeka dari pengaruh luar. Ia tahu batas, tahu nilai, dan tahu kapan harus diam dengan bermartabat.
Antara Kejernihan Hati dan Kabut Niat
Dalam pandangan para sufi, kejernihan hati adalah bentuk tertinggi dari keberanian. Ia bukan tentang melawan dunia, tetapi tentang menaklukkan diri. Ketika seseorang tidak lagi mencari pujian, tidak lagi haus validasi, maka ia tidak mudah diperdaya oleh tipu daya niat orang lain. Ia berdiri di tengah kabut dunia dengan mata yang tetap terang—bukan karena dunia menjadi mudah, tetapi karena ia telah menjadi tenang.
Di Aceh hari ini, kita melihat banyak hal yang sejatinya lahir dari kabut niat. Dalam birokrasi, sosial, bahkan ruang spiritual, ada permainan halus yang memanfaatkan rasa bersalah dan loyalitas emosional. Maka, yang kita butuhkan bukan hanya pemimpin yang kuat, tetapi manusia yang jernih. Sebab, kekuasaan tanpa kejernihan hanya akan menambah kabut di langit yang sudah suram.
Baca juga: Meraih Husnul Maut, dari Husnul Hayah hingga Husnul Khatimah
Menjadi hatee meuhom di tengah kabut dunia bukan berarti menutup diri dari manusia. Justru sebaliknya, itu berarti hadir secara utuh—tanpa topeng, tanpa permainan. Tenang bukan berarti tak peduli; diam bukan berarti kalah. Ketenangan adalah bahasa keberanian yang hanya dimengerti oleh mereka yang sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Karena pada akhirnya, kekuatan sejati bukanlah tentang siapa yang paling lantang bersuara, melainkan siapa yang tetap jernih ketika dunia di sekitarnya mulai keruh. Dan di situlah nilai manusia diukur—sebagaimana pesan leluhur Aceh: “meuhom hatee, meuseuraya pikiran” (teguh hati, jernih pikiran). Itulah kemerdekaan sejati yang tak bisa dimanipulasi oleh siapa pun.
Penulis: Hanzirwansyah, Ketua Pandawa Lima Aceh Selatan
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.