Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era digital yang bergerak cepat, kesuksesan tidak lagi terikat mutlak pada gelar akademik maupun institusi pendidikan formal. Nama-nama besar seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, hingga sosok kreator digital modern menunjukkan bahwa inovasi, kreativitas, dan ketekunan mampu menembus batas tanpa perlu dibingkai ijazah. Di Indonesia, kisah Bob Sadino, Susi Pudjiastuti, dan Eka Tjipta Widjaja menguatkan fakta bahwa kompetensi tidak selalu dilahirkan oleh gedung kuliah. Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius: apakah gelar akademik masih relevan sebagai indikator intelektualitas dan keahlian? Lebih jauh lagi, apakah universitas masih menjadi pusat ilmu, atau telah bergeser menjadi institusi ekonomi yang berorientasi profit?
Universitas: Lembaga Ilmu atau Mesin Ekonomi?
Dalam sejarahnya, universitas adalah ruang sakral pencarian ilmu dan dialog intelektual. Namun, realitas modern menunjukkan pergeseran fungsi yang signifikan: banyak universitas kini dikelola layaknya korporasi.
Kenaikan UKT di berbagai kampus negeri menjadi contoh nyata bagaimana biaya pendidikan semakin membelit. UKT Universitas Indonesia mencapai Rp20 juta per semester, sementara fakultas kedokteran di ITB dan UB bisa menembus Rp30 juta lebih. Orientasi pasar makin terlihat dari strategi branding, promosi jaminan kerja, hingga perekrutan mahasiswa besar-besaran.
Pendidikan tinggi yang seharusnya membentuk pola pikir kritis justru berisiko menjadi komoditas bagi mereka yang mampu membayar. Akses terhadap ilmu lebih bergantung pada modal finansial dibandingkan kegigihan mencari pengetahuan.
Gelar Tidak Selalu Sejalan Dengan Kompetensi
Gelar akademik kerap diasumsikan sebagai cermin kemampuan, namun kenyataan tidak sesederhana itu. Laporan BPS tahun 2019 menunjukkan tingkat pengangguran lulusan diploma dan universitas mencapai 6–7 persen, lebih tinggi dari lulusan SMA.
Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara teori akademik dan kemampuan praktis di dunia kerja. Banyak lulusan menguasai teori, tetapi kurang terlatih menghadapi problem nyata. Sementara itu, individu tanpa gelar formal justru mampu berkembang melalui pengalaman, relasi, dan kepemimpinan diri.
Di sisi lain, meningkatnya biaya pendidikan memperlihatkan bahwa gelar akademik dalam beberapa kasus diperlakukan seperti produk pasaran. Institusi berlomba mencetak lulusan, tetapi tidak selalu membekali mereka keterampilan profesional yang relevan.
Pendidikan Mandiri: Alternatif yang Makin Diakui
Model pembelajaran daring seperti Coursera, edX, Khan Academy, atau YouTube telah membuka akses ilmu secara luas dan gratis. Masyarakat kini dapat mempelajari ilmu pemrograman, desain, bisnis, bahkan filsafat tanpa harus duduk di kelas fisik. Industri pun mulai mengakui sertifikat non-kampus sebagai kompetensi kerja.
Dalam sistem ini, tanggung jawab belajar berada di tangan individu. Motivasi intrinsik, disiplin, dan inisiatif jauh lebih diuji dibandingkan pendidikan konvensional. Inilah fondasi pendidikan bermakna—pengetahuan yang lahir dari kesadaran, bukan sekadar kebutuhan administratif.
Tentu aspek ini tidak lantas menggugurkan peran universitas formal dalam bidang-bidang tertentu seperti kedokteran, hukum, atau teknik, di mana standar keselamatan publik mengharuskan pendidikan terstruktur. Namun, untuk banyak bidang lain, pendekatan hybrid—menggabungkan pendidikan mandiri dan formal—menjadi lebih relevan dengan kebutuhan zaman.
Mantiq Islam dan Kritik Terhadap “Label Gelar”
Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu tidak diukur berdasarkan gelar, tetapi melalui sanad, pemahaman, dan pembuktian argumentasi. Konsep mantiq memandang gelar sebagai tashawwur (nama atau bentuk luar), bukan sebagai bukti qiyas (logika atau kedalaman nalar).
Fenomena akademik kini menunjukkan banyak sarjana kesulitan melakukan analisis kritis karena sistem menekankan angka kredit, bukan substansi. Gelar menjadi simbol status sosial; bukan lagi ukuran kualitas ilmu.
Ketika institusi pendidikan terjebak dalam logika pasar—mengejar pemasukan, mengejar mahasiswa, dan menambah program studi tanpa kontrol kualitas—maka gelar menjadi komoditas, bukan capaian ilmiah.
Menuju Paradigma Pendidikan Yang Lebih Substansial
Di tengah tantangan ini, pendidikan tinggi harus direformasi menuju orientasi yang lebih substansial:
fokus pada riset,
inovasi,
soft skill,
literasi digital,
dan integritas ilmiah.
Mahasiswa perlu didorong untuk mengembangkan kemampuan riset, analisis, dan berpikir kritis dibandingkan sekadar mengejar indeks prestasi. Evaluasi akademik pun perlu mengukur kedalaman pemahaman, bukan hanya hasil ujian tertulis.
Gelar akan tetap relevan jika dibangun di atas pengetahuan yang kokoh, etos kerja, dan integritas ilmiah yang teruji. Namun, tanpa esensi itu, gelar hanya menjadi simbol kosong yang tidak memiliki daya guna.
Pengetahuan Lebih Tinggi Dari Gelar
Pada akhirnya, gelar akademik tidak selalu identik dengan pengetahuan, dan universitas bukan satu-satunya jalan menuju kebijaksanaan.
Ketika pendidikan terlalu mahal, kaku, dan terjebak dalam logika bisnis, maka pendidikan mandiri hadir sebagai pilihan yang sah. Tidak ada yang salah dengan belajar di universitas, tetapi yang salah adalah ketika institusi melupakan esensi ilmu dan hanya melayani pasar.
Pengetahuan sejati adalah yang membebaskan manusia, bukan yang mengurungnya dalam gelar. Maka, reformasi pendidikan tinggi menjadi urgensi moral jika universitas ingin kembali menjalankan peran utamanya: melahirkan manusia berilmu, bukan hanya manusia bergelar.
Penulis: Yola Anjani, Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







