Filsafat Modern dan Kesadaran Zaman: Subjektivitas, Kritik, dan Kemajuan dalam Sejarah Pemikiran Barat

filsafat modern

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di abad ke-12, manusia belum sepenuhnya meninggalkan pengandaian kuno bahwa pengetahuan berada di luar sejarah. Dalam pengertian ini, filsafat sering dibicarakan seolah-olah terlepas dari perjuangan hidup dan mati manusia dalam arus sejarah. Filsafat dipahami sebagai pengetahuan murni yang bebas dari keterlibatan praktis para pemikirnya.

Pandangan tersebut kemudian dipersoalkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan dilanjutkan oleh Karl Marx. Keduanya menegaskan bahwa filsafat tidak pernah berdiri di ruang hampa, melainkan selalu terlibat dalam kebisingan semangat zaman (Zeitgeist). Filsafat dipahami sebagai bentuk pengetahuan yang lahir dari, dan berkaitan erat dengan, bentuk-bentuk kehidupan manusia.

Seiring perubahan zaman, bentuk-bentuk filsafat pun ikut berubah. Perubahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari transformasi praktik sosial, politik, dan budaya dalam masyarakat. Oleh karena itu, filsafat modern tidak dapat dipahami secara ahistoris, karena ia dihasilkan oleh para pemikir yang hidup dan bergulat dengan tantangan zamannya.

Zaman Modern sebagai Periode Sejarah

Pertanyaan mendasar kemudian muncul: kapankah sebuah periode yang disebut “zaman modern” dimulai? Istilah modern berasal dari kata Latin moderna yang berarti “sekarang”, “baru”, atau “kini”. Secara etimologis, manusia pada dasarnya selalu hidup di masa kini.

Namun, para sejarawan sepakat bahwa sekitar tahun 1500 M merupakan tonggak kelahiran zaman modern di Eropa. Pada periode inilah muncul kesadaran baru bahwa manusia mampu melakukan perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif dan revolusioner. Dengan demikian, modernitas tidak hanya menunjuk pada suatu periode sejarah, tetapi juga pada bentuk kesadaran akan kebaruan (newness).

Kesadaran modern ditandai oleh munculnya istilah-istilah kunci seperti perubahan, kemajuan, revolusi, dan pertumbuhan. Berbeda dengan pendekatan sosiologis atau ekonomis yang menekankan perkembangan sains, teknologi, dan kapitalisme, pembahasan ini bersifat epistemologis, yakni berfokus pada perubahan cara berpikir dan kesadaran manusia.

Tiga Pilar Kesadaran Modern

Sebagai bentuk kesadaran, modernitas didirikan di atas tiga elemen utama: subjektivitas, kritik, dan kemajuan.

Subjektivitas sebagai Pusat Realitas

Subjektivitas dipahami sebagai kesadaran manusia akan dirinya sebagai subjectum, yakni pusat realitas dan ukuran segala sesuatu. Sejarawan Swiss Jacob Burckhardt dalam karyanya Die Cultur der Renaissance in Italien (1859) menjelaskan bahwa manusia abad pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai bagian dari kolektif—ras, keluarga, atau kelompok sosial.

Memasuki era Renaisans, terutama di Italia, manusia mulai menyadari dirinya sebagai individu. Kesadaran ini diperkuat oleh kemajuan ekonomi dan seni. Dalam filsafat, gagasan ini dirumuskan secara padat oleh René Descartes melalui pernyataan terkenal cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).

Pada abad ke-19, Marx—dengan inspirasi dari Hegel—mengembangkan gagasan ini lebih jauh dengan menegaskan manusia sebagai subjek sejarah (Subjekt der Geschichte). Manusia tidak lagi dipandang sebagai objek yang hanyut oleh waktu, melainkan sebagai perancang sejarahnya sendiri.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Kritik sebagai Pembebasan Rasional

Elemen kedua dari kesadaran modern adalah kritik. Kritik melekat dalam subjektivitas, terutama ketika rasio dihadapkan pada otoritas tradisi. Kritik dipahami sebagai kemampuan rasio untuk membebaskan manusia dari prasangka dan kekuasaan yang tidak rasional.

Dalam era Pencerahan, Immanuel Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir sendiri tanpa tuntunan otoritas eksternal. Ia menyebut proses ini sebagai “terbangun dari tidur dogmatis”, yaitu kondisi ketika rasio mampu menilai dan mengoreksi pemikiran tradisional secara mandiri.

Kemajuan sebagai Kesadaran Historis

Subjektivitas dan kritik kemudian mengandaikan keyakinan akan kemajuan (progress). Kemajuan dipahami sebagai kesadaran bahwa waktu bersifat linear, tidak terulang, dan bergerak menuju tujuan tertentu. Waktu tidak lagi dipandang sebagai siklus, melainkan sebagai rangkaian peristiwa historis yang dapat diarahkan oleh tindakan manusia.

Periodisasi dan Lahirnya Filsafat Modern

Sebagai suatu periode sejarah, ketiga bentuk kesadaran tersebut mulai berkembang sejak abad ke-16 dan mencapai puncaknya pada abad ke-18. Perbedaan cara berpikir antara abad modern dan abad sebelumnya menjadi semakin jelas melalui perdebatan panjang tentang periodisasi sejarah.

Istilah medium aevum atau “zaman pertengahan” pertama kali diperkenalkan oleh Flavio Biondo (1392–1463). Gerakan Renaisans, Reformasi, penemuan benua baru, serta inovasi seperti mesin cetak menjadi tonggak awal modernitas.

Pemikiran filsafat yang lahir sejak abad ke-16 kemudian disebut sebagai filsafat modern karena berpusat pada manusia sebagai subjek, rasio sebagai alat kritik, dan sejarah sebagai kemajuan. Ketika tema-tema ini mulai ditinggalkan oleh para pemikir seperti Heidegger, Foucault, Derrida, Lyotard, Bataille, dan Deleuze, muncul wacana tentang lahirnya zaman baru yang dikenal sebagai postmodernitas.

Heidegger bahkan menyatakan bahwa filsafat Nietzsche menandai kesudahan filsafat modern.

Penulis: HATIMA KELIATA, MAHASISWA INSTITUT ILMU AL QUR’AN (IIQ) JAKARTA

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *