Mata Akademisi, Milenianews.com – Kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang tengah marak terjadi di Indonesia menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi warga negara. Bahkan, beberapa kasus dilakukan oleh orang-orang terpandang. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2025 tercatat 6.767 kasus kekerasan, dengan mayoritas korban adalah perempuan, yaitu sebanyak 5.832 orang, sedangkan laki-laki berjumlah 1.390 orang.
Bahkan lingkungan pendidikan agama pun tidak luput dari kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Salah satu contoh kasus yang terjadi adalah “Pencabulan di Pondok Pesantren di Tulungagung.” Kasus ini melibatkan seorang penanggung jawab kamar atau kepala kamar yang menjadi pelaku pencabulan terhadap tujuh orang anak laki-laki berusia antara 7–14 tahun. Korban diduga diancam akan dihukum apabila tidak menuruti keinginan pelaku, sehingga terpaksa melakukannya.
Baca juga: Rasionalisme Asy`ariyah: Tanggapan atas Tafsir dengan Pendekatan Hermeneutika
Terkait kasus kekerasan dan pelanggaran moral yang terjadi di lingkungan keagamaan, kasus tersebut menyoroti bagaimana individu yang dianggap sebagai tokoh agama—yang seharusnya membimbing moral dan iman santrinya—justru melakukan tindakan tercela berupa kekerasan seksual. Dalam konteks ini, banyak hal yang dipertanyakan: Apakah pelaku dosa besar seperti itu masih dapat dianggap sebagai orang yang beriman? Ataukah mereka telah mengkhianati iman mereka melalui perbuatan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam?
Pandangan Teologi Asy‘ariyah terhadap Dosa Besar
Dalam teologi Islam, pandangan terhadap pelaku dosa besar menjadi salah satu isu penting yang membedakan antara aliran-aliran dalam ilmu kalam. Aliran Asy‘ariyah, yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari, memiliki posisi yang khas dan moderat dalam menyikapi masalah ini. Menurut Asy‘ariyah, iman bukan sekadar amal perbuatan, tetapi merupakan pengakuan dalam hati (tasdiq bi al-qalb) yang berisi ma‘rifah (pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah). Oleh karena itu, seseorang yang melakukan dosa besar tidak serta-merta dianggap kafir, namun juga tidak sepenuhnya disebut mukmin dalam arti sempurna. Mereka berada dalam posisi sebagai seorang fasik, yaitu orang yang tetap mengakui Allah, tetapi melanggar perintah-Nya melalui dosa besar.
Imam Al-Asy‘ari menyatakan bahwa keputusan akhir terhadap nasib pelaku dosa besar di akhirat sepenuhnya berada di tangan Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuni dan memasukkannya ke dalam surga. Namun, jika Allah menghendaki pula, Dia dapat menghukumnya sesuai kadar dosa yang dilakukan. Pandangan ini mencerminkan keseimbangan antara keadilan dan rahmat Tuhan, sekaligus menolak pandangan ekstrem dari aliran Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir, maupun pandangan Murji’ah yang menganggap dosa tidak berpengaruh terhadap iman.
Dengan demikian, pandangan Asy‘ariyah menempatkan iman sebagai urusan batin yang tidak bisa digugurkan hanya karena perbuatan lahiriah, meskipun dosa besar tetap dianggap sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap syariat.
Saat ini, banyak kita dapati kasus pencabulan yang dilakukan oleh orang-orang berpura-pura berotoritas, seperti kiai, dokter, atau guru. Menurut Mu‘tazilah, hal semacam ini termasuk dalam kategori fasik. Fasik ialah orang yang mengetahui hukum perbuatan tersebut namun tetap melakukannya. Ia tidak disebut mukmin maupun kafir, tetapi fasik. Menurut Mu‘tazilah, dosa besar adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala bentuk ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nash.
Mu‘tazilah adalah salah satu aliran teologi Islam yang berkembang pada abad ke-8 Masehi. Aliran ini dikenal karena pendekatannya yang rasional dalam memahami ajaran Islam. Menurut Mu‘tazilah, perbuatan manusia dapat dinilai berdasarkan akal dan wahyu. Dalam konteks pelanggaran dan dosa, Mu‘tazilah memiliki pandangan yang unik dan berbeda dari aliran lainnya.
Menurut Mu‘tazilah, fasik adalah status bagi seseorang yang mengetahui hukum perbuatan tersebut namun tetap melakukannya. Fasik bukanlah kategori di antara mukmin dan kafir, tetapi status yang menunjukkan pelanggaran serius terhadap hukum Allah. Dalam kasus pencabulan yang dilakukan oleh orang yang berpura-pura memiliki otoritas atau kepercayaan, seperti kiai, dokter, atau guru, Mu‘tazilah akan menganggap mereka sebagai fasik, karena mereka mengetahui bahwa perbuatan tersebut haram namun tetap melakukannya.
Dosa Besar vs. Dosa Kecil Menurut Mu‘tazilah
Mu‘tazilah membedakan antara dosa besar dan dosa kecil berdasarkan ada atau tidaknya ancaman yang tegas dalam nash (Al-Qur’an dan hadis). Dosa besar adalah perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas, seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Sementara itu, dosa kecil adalah bentuk ketidakpatuhan yang ancamannya tidak dinyatakan secara eksplisit, seperti berbicara kasar atau memandang dengan syahwat.
Dengan demikian, Mu‘tazilah menekankan pentingnya memahami hukum Allah dan konsekuensi dari pelanggaran tersebut. Mereka juga menggarisbawahi bahwa setiap Muslim harus berusaha menghindari dosa besar dan kecil serta memperbaiki diri melalui taubat dan amal saleh.
Pandangan Mu‘tazilah tentang fasik, dosa besar, dan dosa kecil memiliki implikasi signifikan dalam memahami perilaku Muslim dan tanggung jawab individu. Beberapa implikasi tersebut antara lain:
Tanggung jawab individu: Mu‘tazilah menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan harus mempertanggungjawabkan tindakan fasik-nya di hadapan Allah.
Pentingnya taubat: Mu‘tazilah juga menekankan pentingnya taubat dan perbaikan diri. Seseorang yang melakukan dosa besar maupun kecil harus segera bertaubat dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
Keadilan dan akuntabilitas: Pandangan Mu‘tazilah menekankan pentingnya keadilan dan akuntabilitas dalam menilai perbuatan manusia.
Dengan demikian, pandangan Mu‘tazilah tentang pelanggaran dan dosa memberikan perspektif yang mendalam mengenai tanggung jawab individu serta pentingnya memperbaiki diri dalam Islam.
Penulis: Upi Zahra, Dosen serta Nuzulul Dava, Puja Dewi Pebriani, Yani Sukri Yani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.