Mata Akademisi, Milenianews.com – Belakangan ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan munculnya komunitas “Fantasi Berdarah”, sebuah ruang diskusi daring yang membahas dan mempopulerkan narasi-narasi menyimpang seputar hubungan sedarah (incest). Meskipun sebagian pelaku berkilah bahwa komunitas ini sekadar bentuk “berfantasi”, isu ini memicu kecaman luas karena menyentuh ranah etika, hukum, dan agama.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa isu yang secara moral dan agama sudah jelas ditolak ini bisa ramai dibicarakan masyarakat, bahkan sempat viral di media sosial?
Isu ini viral bukan karena masyarakat tiba-tiba tertarik pada penyimpangan moral, tetapi karena media sosial memberikan panggung begitu saja terhadap diskusi negatif tersebut. Begitu satu atau dua akun membicarakannya, media lain ikut mengangkat, lalu pengguna internet ikut menyebar, mengkritisi, atau bahkan menormalkannya dalam wacana populer. Dengan kata lain, media—baik secara sadar maupun tidak—telah menetapkan isu ini sebagai bagian dari perhatian publik. Di sinilah kekuatan media terbukti: bukan mengarahkan opini secara langsung, melainkan mengatur topik apa yang patut diperhatikan dan dibicarakan.
Baca juga: Tantangan Islam di Era Modren
Perlu diketahui, dalam persoalan tersebut, agama Islam jelas telah menetapkan bahwa hubungan sedarah adalah perbuatan yang diharamkan secara mutlak. Islam secara tegas melarang pernikahan dan hubungan seksual dengan mahram, sebagaimana termaktub dalam QS. An-Nisa ayat 23 yang menyebut daftar orang yang haram dinikahi. Lebih dari itu, hubungan sedarah juga termasuk bentuk zina, bahkan lebih berat karena dilakukan dengan orang yang seharusnya dijaga kehormatannya.
Islam bukan hanya mengatur hukum lahiriah, tetapi juga mendidik kesadaran moral dan menjaga fitrah manusia. Fantasi seksual menyimpang seperti ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan kebebasan berimajinasi, karena membiasakan pikiran terhadap hal yang diharamkan bisa menumpulkan nurani, lalu merusak tatanan sosial. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan lebih dibenci Allah dibanding yang disembunyikan (HR. Bukhari).
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan secara terperinci ayat QS. An-Nisa [4]: 23 mengenai larangan pernikahan antara kerabat dekat (mahram), termasuk ibu, anak perempuan, saudara kandung, saudara seayah/seibu, ibu susu, dan mertua. Larangan-larangan ini menunjukkan betapa Islam menaruh perhatian besar terhadap tatanan keluarga yang bersih, aman, dan terjaga dari konflik kepentingan serta potensi penyimpangan.
Ketika ayat ini dikaitkan dengan fenomena kontemporer seperti munculnya fantasi sedarah yang berkembang di sejumlah media hiburan dan ruang digital, menjadi penting untuk menegaskan bahwa ajaran Islam telah sejak awal menutup semua celah yang dapat merusak kemuliaan relasi dalam keluarga. Islam tidak hanya mengatur hubungan lahiriah seperti pernikahan, tetapi juga mengarahkan umatnya untuk menjaga kebersihan hati dan pikiran.
Kenapa Kasus Ini Jadi Viral?
Dalam teori nilai berita menurut Johan Galtung dan Mari Holmboe Ruge, sebuah peristiwa dianggap layak diberitakan jika memenuhi unsur seperti proximity (kedekatan), impact (dampak), conflict, novelty, hingga human interest. Kasus “Fantasi Berdarah” memenuhi hampir semua unsur ini. Kejadian yang terjadi di wilayah Indonesia (kedekatan), melibatkan korban dan pelaku dari kalangan masyarakat biasa (human interest), serta mengandung unsur kekerasan dan penyimpangan (conflict & novelty), membuatnya memiliki nilai berita tinggi. Tidak heran jika media berlomba-lomba mengangkat berita ini sebagai headline.
Kasus “Fantasi Berdarah” tidak serta-merta menjadi viral di media arus utama; penyebarannya justru bermula dari unggahan di grup-grup diskusi tertutup di Facebook, seperti komunitas true crime, psikologi kriminal, atau forum investigatif publik. Di sana, informasi awal muncul—baik berupa potongan dokumen, spekulasi, maupun narasi korban—dibagikan oleh anggota grup, lalu memicu reaksi emosional yang tinggi. Jika dilihat dari teori nilai berita, sejak awal kasus ini sudah memiliki unsur keunikan (novelty), karena menyangkut penyimpangan yang tidak biasa. Selain itu, cerita korban dan pelaku yang menyentuh sisi emosional pembaca juga menimbulkan daya tarik human interest.
Setelah itu, konten dari Facebook mulai disebarkan ke platform lain, terutama di platform X. Di sinilah teori nilai berita semakin terlihat nyata. Ketika informasi tersebut masuk ke ruang publik platform X, terjadi ledakan interaksi, di mana banyak orang membuat thread, menambahkan data tambahan, atau mengaitkan dengan kasus serupa. Hal ini menguatkan nilai conflict dan impact, karena diskusi mulai meluas dan memicu perdebatan soal kondisi mental pelaku, peran media, hingga sistem hukum.
Fitur viralitas di platform X seperti retweet, quote, dan trending topic mampu membawa kasus ini ke level nasional, bahkan ke media massa yang lebih luas. Dalam konteks ini, teori nilai berita tidak hanya berlaku dalam ruang redaksi, tapi juga dalam algoritma dan logika media sosial—kasus yang emosional, unik, dan mengundang konflik akan lebih mudah menyebar.
UU Perkawinan dan KUHP Baru
Di Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bukan hanya melarang hubungan sedarah dalam bentuk pernikahan formal, tetapi juga menjadi dasar legal dan moral untuk menolak setiap narasi atau budaya yang mencoba menormalisasi hubungan sedarah, termasuk melalui media digital. Kasus “Fantasi Berdarah” menunjukkan bahwa penyimpangan bisa tumbuh dalam ruang maya, namun implikasinya sangat nyata terhadap nilai, hukum, dan tatanan sosial yang dijaga negara dan agama.
Baca juga: Islamofobia dan Radikalisme: Dua Wajah yang Sama-Sama Gagal Paham
Dengan berlakunya KUHP baru (Pasal 411), negara secara eksplisit memperkuat perlindungan hukum terhadap penyimpangan seksual yang terjadi di luar perkawinan, termasuk di antaranya praktik incest jika dilakukan secara nyata. Dalam konteks kasus “Fantasi Berdarah”, pasal ini dapat menjadi dasar hukum jika aktivitas tersebut melibatkan hubungan seksual nyata, disebarkan secara digital, atau menimbulkan korban—karena bertentangan dengan tatanan hukum dan norma sosial yang dijaga dalam sistem hukum Indonesia.
Kasus “Fantasi Berdarah” mencerminkan wajah buram kemanusiaan yang tercabut dari nilai-nilai moral dan spiritual, terutama dalam konteks ajaran Islam. Tindakan keji yang dilakukan pelaku bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk dzulm terhadap sesama manusia. Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk mulia yang dijaga kehormatannya.
Fenomena ini menjadi cermin bahwa degradasi iman dan hilangnya pendidikan akhlak dapat melahirkan generasi yang terjebak dalam gelapnya nafsu dan fantasi menyimpang. Sehingga, jika dilihat dari kasus “Fantasi Berdarah”, rumah bukan lagi tempat aman untuk pulang, berceloteh, dan beristirahat, melainkan menjadi tempat gelap yang menggerogoti trauma.
Penulis: Al Mukaromah, Dosen serta Putri Alifah, Siti Patimah, Yasmin Mumtaz, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.