Etika yang Luruh di Mulut Kekuasaan

etika pemimpin

Milenianews.com, Mata Akademisi – Dalam dunia kepemimpinan, baik di organisasi maupun negara, tidak ada yang benar-benar netral. Terutama soal kata-kata. Apa yang diucapkan seorang pemimpin bukan sekadar pantulan pikiran, tapi juga cerminan hati dan nilai-nilai yang ia anut.

Ketika seorang pemimpin dengan enteng berkata, “Kau kampungan” atau “Kau tak layak tinggal di Indonesia,” yang kita saksikan bukanlah keberanian, melainkan kegagalan mengendalikan diri. Ini bukan hanya soal etika komunikasi, tetapi tentang karakter kepemimpinan yang rapuh dalam menghadapi perbedaan.

Baca juga: Strategi Membentuk Pemimpin yang Memiliki Jiwa Peradaban Berkualitas

Dari perspektif psikologi kepemimpinan, perilaku seperti ini sering dikaitkan dengan konsep Dark Triad Personality, yaitu gabungan dari narsisme (kebutuhan akan pengagungan diri), Machiavellianisme (manipulasi demi keuntungan pribadi), dan psikopati (minimnya empati). Paulhus dan Williams (2002) menyebut bahwa pemimpin dengan karakteristik seperti ini cenderung memperlakukan orang lain sebagai alat, bukan sebagai sesama manusia. Di organisasi, mereka menumbuhkan budaya saling curiga. Di negara, mereka menciptakan kebijakan yang didorong oleh emosi, bukan kebijaksanaan.

Riset Boddy (2015) menunjukkan bahwa karakter kepemimpinan semacam ini merupakan salah satu penyebab utama runtuhnya etika dalam organisasi. Mereka menciptakan atmosfer penuh tekanan, membunuh kreativitas, dan membuat tim kehilangan semangat.

Saat ini, kepemimpinan tidak lagi cukup jika hanya bersandar pada otoritas atau kharisma. Dunia sudah berubah. Organisasi dan bangsa hanya akan tumbuh melalui pemimpin yang mampu mengelola emosi, menghargai martabat, dan tetap berpikir jernih di tengah tekanan.

David Rock, pencetus konsep neuroleadership, menjelaskan bahwa kata-kata pemimpin bisa memicu dua respons: rasa ancaman atau rasa aman. Ucapan merendahkan seperti “kampungan” akan langsung mengaktifkan sistem pertahanan dalam otak. Tim merasa tidak aman. Potensi individu mengerut. Bahkan kemampuan berpikir jernih bisa terblokir.

Sebaliknya, pemimpin yang mampu menciptakan ruang psikologis yang aman melalui kata-kata yang menghargai, bukan menghakimi, akan mengaktifkan bagian otak yang bertanggung jawab atas kreativitas, empati, dan pengambilan keputusan yang sehat. Di titik itulah performa tim tumbuh. Di sanalah kebijakan yang adil lahir. Dan di situlah perdamaian dibangun.

Dalam organisasi, kata-kata bisa membangkitkan semangat atau justru membunuhnya. Dalam negara, kata-kata bisa merekatkan perbedaan atau malah meretakkannya. Karena itu, pemimpin sejati bukanlah yang paling lantang suaranya, melainkan yang paling sadar akan makna dari setiap ucapannya.

Baca juga: 4 Tanda Bahwa Kamu Seorang Calon Pemimpin

Daniel Goleman pernah menulis, “Pemimpin yang gagal mengelola dirinya, akan gagal mengelola orang lain.” Jika kita sungguh ingin membangun organisasi yang kuat dan bangsa yang damai, kita harus memulainya dari kepemimpinan yang berakar pada akal sehat, integritas hati, dan kepekaan etika.

Sudah waktunya kita berhenti menyamakan arogansi dengan gaya kepemimpinan. Dan sudah saatnya kita mulai menghormati kerendahan hati sebagai kekuatan sejati. Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang paling nyaring, melainkan yang paling bijak.

Penulis: Dr. Sufrin Hannan, Dosen Strategic Human Resources Management (HRM) di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan

Email: sufrinhannan@unpak.ac.id

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *