Milenianews.com, Mata Akademisi – Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam bukan hanya sumber spiritual, tetapi juga memuat pengetahuan yang mendahului ilmu pengetahuan modern. Salah satu ayat yang menunjukkan kedalaman ilmu Al-Qur’an adalah QS. An-Nisa 56, yang menjelaskan azab bagi orang-orang kafir melalui fenomena pergantian kulit. Ayat ini berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Fenomena yang digambarkan dalam ayat ini sejalan dengan temuan biologi modern mengenai regenerasi sel kulit. Luka bakar derajat tiga (combustio grade III), yang menembus hingga lapisan subkutis, dapat merusak ujung saraf sehingga sensasi nyeri hilang. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis: bagaimana Al-Qur’an dapat mendeskripsikan proses biologis sedemikian akurat jauh sebelum ilmu modern menemukannya? Analisis QS. An-Nisa 56 menunjukkan bahwa wahyu dan sains dapat “berdialog” secara harmonis dalam epistemologi Islam tanpa menempatkan keduanya sebagai pihak yang saling bertentangan.
Deskripsi Biologis dalam QS. An-Nisa 56
Secara harfiah, ayat ini mendeskripsikan penggantian kulit sebagai bentuk siksa di neraka. Menurut Ibnu Katsir, pergantian kulit dilakukan agar kulit yang terbakar—yang telah kehilangan sensitivitas rasa—diganti dengan kulit baru sehingga rasa sakit terus berlanjut.
Prof. Dr. Tejasen, seorang ahli anatomi dan dermatologi dari Thailand, terkesan dengan kesesuaian antara QS. An-Nisa 56 dan pengetahuan medis modern mengenai struktur kulit manusia. Ujung saraf perasa terletak di lapisan terdalam kulit (subkutis). Saat lapisan ini rusak akibat luka bakar derajat tiga, sensasi nyeri memang hilang. Fakta ini membuat Tejasen meyakini bahwa deskripsi Al-Qur’an tidak mungkin diketahui manusia 14 abad lalu tanpa wahyu ilahi. Dalam sebuah konferensi medis di Riyadh tahun 1983, ia kemudian memeluk Islam, menegaskan bahwa ilmu dan wahyu tidak saling bertentangan, tetapi saling menguatkan.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Keselarasan Wahyu dan Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an dalam ayat ini menyampaikan kebenaran spiritual tentang azab sambil menggunakan deskripsi biologis yang selaras dengan pengetahuan modern tentang regenerasi kulit dan fungsi kulit sebagai organ sensoris. Hal ini menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara dalam bahasa yang dapat dikaji dengan akal dan pengalaman manusia. Temuan biologi modern tentang regenerasi kulit tidak membantah Al-Qur’an, melainkan menguatkan akurasi deskripsi Qur’ani. Wahyu dan sains bukanlah rival, tetapi dua cara berbeda memahami realitas yang sama.
Epistemologi Islam: Wahyu, Akal, dan Pengalaman
Menurut Al-Attas, epistemologi membahas sumber, metode, dan validitas pengetahuan. Dalam pandangan Islam, Al-Ghazali menjelaskan melalui Ihya’ ‘Ulum al-Din bahwa sumber pengetahuan manusia meliputi wahyu, akal, dan pengalaman inderawi. Wahyu adalah sumber tertinggi karena berasal langsung dari Allah. Akal membantu memahami dan mengembangkan ilmu dari wahyu, sementara indera menjadi dasar pengetahuan tentang dunia empiris.
Pendekatan ini disebut epistemologi burhani (rational epistemology), yaitu penggunaan akal dan bukti empiris untuk memahami informasi yang diterima melalui wahyu. QS. An-Nisa 56 menjadi contoh bagaimana wahyu dan sains saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Penulis: Ferita Safitri, Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







