Mata Akademisi, Milenianews.com – Di tengah derasnya modernisasi, ketika sains dan teknologi mendesak ruang-ruang kontemplasi, pertanyaan klasik tentang takdir dan kebebasan manusia kembali menyeruak ke permukaan: Apakah setiap penderitaan yang menimpa manusia adalah kehendak Tuhan? Ataukah buah dari pilihan bebas manusia sendiri?
Pertanyaan tersebut bukan sekadar retoris. Ia adalah panggilan untuk menelisik kembali fondasi teologis yang selama berabad-abad menjadi pusat pergulatan para pemikir Islam. Dalam lanskap teologi Islam, Mu’tazilah hadir sebagai suara rasional yang menempatkan keadilan Tuhan (al-‘adl) dan kebebasan manusia (al-hurriyyah) sebagai dua tiang utama.
Keadilan Tuhan dan Kebebasan Manusia: Warisan Rasional Mu’tazilah
Mu’tazilah memandang bahwa Tuhan, dalam kesempurnaan-Nya, tidak mungkin menciptakan kezaliman, termasuk menciptakan perbuatan jahat pada manusia. Manusia memiliki qudrah (kemampuan) untuk memilih dan bertindak, dan karena itulah ia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Bagi Mu’tazilah, menisbatkan semua perbuatan kepada Tuhan akan meniadakan keadilan Ilahi itu sendiri.
Pandangan ini menjadi sangat relevan ketika kita memikirkan tragedi kemanusiaan modern—perang, kemiskinan, dan bencana. Dalam perspektif Mu’tazilah, banyak penderitaan adalah akibat langsung dari pilihan dan tindakan manusia, bukan dari campur tangan langsung Tuhan. Perang terjadi karena keserakahan, kemiskinan karena ketimpangan kebijakan, dan krisis iklim karena eksploitasi alam.
Namun bagaimana dengan bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami? Bukankah itu di luar kendali manusia?
Bencana Alam dan Determinisme Alamiah: Posisi Akal dalam Teologi
Di sinilah perdebatan menjadi lebih tajam. Bagi Mu’tazilah, bencana alam bukanlah “hukuman Tuhan” seperti yang sering dikatakan, melainkan bagian dari hukum alam yang telah ditetapkan-Nya sejak awal penciptaan. Tuhan menciptakan hukum sebab-akibat, dan manusia diberi akal untuk mengenali, mengantisipasi, bahkan memitigasi risiko dari hukum alam tersebut.
Dengan demikian, ketika manusia lalai dalam menjaga lingkungan, membangun pemukiman di zona rawan bencana, atau gagal merespons perubahan iklim, maka kerusakan dan penderitaan yang terjadi adalah akibat dari kelalaian manusia sendiri, bukan karena takdir yang mutlak.
Antara Ujian dan Hikmah: Ketika Akal Tak Mampu Menjawab Semua
Namun, pertanyaan yang lebih dalam sering kali muncul dari mereka yang mengalami duka: Mengapa anak-anak tak berdosa juga menjadi korban? Mengapa Tuhan tidak mencegah penderitaan mereka?
Mu’tazilah menjawab dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah berbuat zalim, dan bahwa setiap musibah bisa mengandung hikmah, meski tak selalu mampu dipahami akal manusia. Dalam Al-Qur’an, musibah disebut sebagai ujian, bukan hukuman. Kesabaran dan solidaritas yang tumbuh dalam musibah sering kali menjadi pantulan nilai-nilai kemanusiaan terdalam.
Kontribusi Mu’tazilah untuk Isu Kontemporer
Pemikiran Mu’tazilah membuka ruang refleksi bahwa Tuhan memberi manusia kebebasan agar ia bisa bertanggung jawab atas dunia ini. Dalam konteks kontemporer, gagasan ini menantang umat manusia untuk tidak fatalistis, tetapi aktif mencegah kerusakan dan penderitaan.
Misalnya, kebebasan manusia menuntutnya untuk:
Mengelola alam dengan bijak
Membentuk sistem sosial yang adil
Menumbuhkan solidaritas kemanusiaan
Dengan kata lain, Mu’tazilah bukan hanya menawarkan jawaban teologis, tetapi juga mendorong tanggung jawab etis dan ekologis bagi manusia modern.
Menjaga Iman, Merawat Kemanusiaan
Di tengah derita, mudah bagi manusia untuk bertanya “di mana Tuhan?” Namun pemikiran Mu’tazilah mengajak kita membalikkan pertanyaan itu: Di mana manusia saat Tuhan memberikan amanah kebebasan kepadanya?
Ketimbang menyalahkan langit, pemikiran rasional ini mendorong kita menunduk ke bumi, melihat luka-luka sesama, dan bertanya: apa yang bisa kita lakukan?
Menyambungkan Teologi dan Aksi Nyata
Pemikiran Mu’tazilah memang tak menjawab semua misteri. Namun ia memberi kerangka untuk memahami penderitaan bukan sebagai takdir mutlak, melainkan sebagai panggilan bagi manusia untuk bertindak lebih baik. Dalam kebebasan, ada tanggung jawab. Dalam tanggung jawab, ada makna keberadaan.
Seperti lentera di tengah malam, rasionalitas Mu’tazilah menuntun manusia agar tidak terjebak dalam keputusasaan. Bahwa dalam setiap tragedi, selalu ada ruang untuk harapan, perbaikan, dan keadilan yang harus diupayakan—oleh manusia itu sendiri.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.