Milenianews.com, Mata Akademisi – Sekularisasi merupakan sebuah cara pandang yang memisahkan persoalan dunia dari otoritas agama. Dalam konsep berpikir sekularisasi, realitas dipahami melalui pemikiran logis, pengalaman empiris, serta prinsip-prinsip duniawi yang dianggap berdiri sendiri tanpa campur tangan ajaran religius. Cara berpikir ini tidak hanya mepengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan modern, tetapi juga memengaruhi pola pikir masyarakat dalam memahami nilai, moral, dan tujuan hidup. Pada awalnya, konsep berpikir sekularisasi lahir dari perubahan besar dalam sejarah Barat, terutama sejak era Renaisans (abad ke-14-16) dan semakin kuat pada era Pencerahan (abad ke-17-18). Yakni, ketika manusia mulai berubah dari yang sebelumnya sangat bergantung pada otoritas agama menuju penekanan pada akal, ilmu pengetahuan, dan kebebasan berfikir.
Pada era sekularisasi, agama tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya sumber kebenaran, manusia mulai meyakini bahwa dunia dapat dipahami melalui hukum-hukum natural. Akibatnya, muncul pemisahan antara yang sakral (religi) dan yang profan (duniawi). Ruang publik seperti negara, pendidikan, dan hukum kemudian berproses menjadi lebih netral secara keagamaan. Dalam pola berpikir sekular, nilai-nilai moral ditentukan oleh kesepakatan sosial, bukan oleh wahyu. Penelitian ilmiah dilakukan berdasarkan metode objektif dan rasional, tanpa menjadikan agama sebagai tolak ukur. Cara berpikir ini berkontribusi pada kemajuan sains dan teknologi karena menekankan kebebasan intelektual. Namun di sisi lain, sekularisasi juga memunculkan kritik, yakni ketika nilai agama dikesampingkan, manusia berpotensi kehilangan orientasi moral dan cenderung memandang dunia secara materialistik.
Baca juga: Analisis Pengaruh Eksploitasi Lingkungan Berdasartkan Ayat Al-Qur’an Dan Ilmu Alam
Meski demikian, perlu dibedakan antara sekularisasi dengan sekularisme. Sekularisasi adalah proses sosial dan intelektual yang memisahkan urusan dunia dari agama, sedangkan sekularisme adalah ideologi yang mengharuskan pemisahan tersebut secara tegas. Konsep berpikir sekularisasi lebih bersifat metodologis: bagaimana cara manusia berpikir, menilai, dan mengambil keputusan berdasarkan rasionalitas duniawi tanpa harus bergantung pada penjelasan agama. Dalam konteks masyarakat beragama, termasuk dunia Islam, konsep berpikir sekularisasi sering menjadi perdebatan. Sebagian memandangnya sebagai ancaman karena berpotensi mempersempit peran agama dalam mengatur kehidupan. Sementara sebagian lain menganggapnya sebagai ruang untuk menyaring mana ajaran agama yang bersifat universal dan mana pemahaman yang dipengaruhi budaya.
Di sinilah letak tantangan utama: bagaimana menjaga keseimbangan antara kemajuan rasional dengan nilai spiritual. Secara keseluruhan, konsep berpikir sekularisasi telah memberi pengaruh besar pada struktur berpikir modern. Ia membuka ruang kebebasan akal, tetapi sekaligus menantang manusia untuk menemukan kembali dasar moral yang kokoh. Tantangan masa kini bukan hanya menolak atau menerima sekularisasi, tetapi memahami bagaimana cara berpikir ini membentuk kehidupan modern dan bagaimana menempatkan agama secara proporsional agar tetap relevan dalam perkembangan zaman.
Sekularisasi sebagai cara berpikir yang memisahkan urusan dunia dari otoritas agama bukan hanya fenomena historis di Barat, tetapi kini juga menjadi bagian dari dinamika pemikiran modern di Indonesia. Dengan masyarakat yang semakin terbuka dan terhubung secara global, pola berpikir yang menekankan rasionalitas dan objektivitas makin sering muncul dalam berbagai aspek kehidupan publik. Arus digitalisasi, pendidikan modern, dan kemajuan teknologi turut memperkuat hadirnya pola pikir sekular ini, di mana banyak persoalan sosial ditafsirkan menggunakan pendekatan empiris dan ilmiah, serta mengesampingkan nilai-nilai agama.
Dalam konteks kehidupan bernegara diindonesia, konsep sekularisasi terlihat jelas dalam berbagai isu kebijakan politik. Misalnya, dalam perumusan undang-undang, pemerintah dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional, hak asasi manusia, dan aturan konstitusi, bukan hanya berlandaskan pandangan keagamaan dari kelompok tertentu. Polemik mengenai RUU Kesehatan, pendidikan seksual di sekolah, hingga kebijakan ekonomi digital menunjukkan adanya Tarik menarik antara dua kelompok besar, yakni pihak yang ingin menjaga nilai moral keagamaan dalam kebijakan negara, dan pihak yang menuntut agar agama tidak terlalu masuk ke ranah keputusan publik. Kondisi ini menandakan bahwa sekularisasi telah menjadi bagian dari diskursus demokrasi Indonesia.
Dalam ranah pendidikan, sekularisasi tampak melalui perdebatan mengenai kurikulum nasional, pendidikan karakter, dan batasan pengaruh agama dalam sekolah umum. Upaya reformasi kurikulum yang menekankan literasi, sains, dan kecakapan hidup menggambarkan kebutuhan untuk mengikuti tuntutan global. Namun pada saat yang sama, masyarakat masih menginginkan nilai religius tetap diajarkan sebagai fondasi moral. Ketegangan antara pendidikan berbasis rasional-empiris dan pendidikan berbasis nilai inilah yang menjadi salah satu isu penting. Indonesia berusaha mencari titik temu di mana sekolah modern dapat membangun kompetensi ilmiah sekaligus mempertahankan kekuatan spiritual bangsa.
Sekularisasi juga tampak dalam budaya anak muda dan ruang digital. Media sosial membawa cara berpikir baru yang lebih bebas, kritis, dan individualis. Banyak isu seperti gaya hidup, kebebasan berekspresi, feminisme, hingga orientasi karier dibahas secara rasional dan personal, sering kali terlepas dari otoritas agama atau budaya tradisional. Akibatnya, muncul ketegangan antara nilai religius yang masih kuat dalam masyarakat dengan pola pikir baru yang lebih pragmatis dan berpusat pada diri (self-centered). Fenomena “privatisasi agama”, di mana keberagamaan dipahami sebagai urusan pribadi, juga menunjukkan dampak sekularisasi pada generasi muda Indonesia.
Selain perdebatan di ruang publik, sekularisasi juga terlihat pada dinamika ekonomi modern Indonesia, terutama dalam sektor industri kreatif, teknologi finansial (fintech), dan dunia kerja profesional. Banyak perusahaan kini menetapkan standar kinerja, etika, dan produktivitas berdasarkan ukuran rasional, efisiensi, data, dan capaian target tanpa mempertimbangkan nilai-nilai budaya atau agama tertentu. Filosofi kerja yang menekankan meritokrasi membuat identitas keagamaan tidak lagi menjadi faktor utama dalam menentukan posisi seseorang. Di satu sisi, hal ini menciptakan sistem yang lebih adil dan kompetitif, namun di sisi lain, ia dapat menimbulkan kekhawatiran karena nilai moral yang bersifat transenden bisa tergeser oleh nilai-nilai utilitarian yang hanya berfokus pada keuntungan dan efektivitas.
Jadi pada akhirnya, proses sekularisasi yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dihindari sebagai bagian dari perubahan peradaban global. Kemajuan teknologi, arus informasi tanpa batas, serta tuntutan kompetensi modern membuat masyarakat secara perlahan bergerak menuju pola pikir yang lebih rasional dan empiris. Namun demikian, pengalaman sejarah bangsa menunjukkan bahwa nilai-nilai agama tetap berperan penting dalam membentuk karakter kolektif, etika sosial, dan kohesi masyarakat. Karena itu, tantangan terbesar bagi Indonesia bukan tentang memilih antara rasionalitas modern atau spiritualitas tradisional, melainkan bagaimana merangkul keduanya dalam satu kerangka yang harmonis. Pendekatan inilah yang membuat Indonesia memiliki keunikan tersendiri di tengah berbagai model sekularisasi dunia.
Di sisi lain, sekularisasi dalam masyarakat Indonesia tidak berjalan tanpa kritik. Sebagian kelompok memandang bahwa cara berpikir yang semakin menjauh dari nilai agama dapat menimbulkan masalah moral, seperti meningkatnya hedonisme, relativisme nilai, dan melemahnya otoritas ulama dalam membimbing umat. Kekhawatiran ini tampak dalam perdebatan mengenai konten media, sistem pendidikan, hingga pola interaksi sosial. Masyarakat religius Indonesia cenderung menginginkan kemajuan modern, tetapi tetap mengharapkan nilai moral keagamaan menjadi fondasi kehidupan sosial. Di sinilah muncul tantangan bagaimana menjaga keseimbangan antara kemajuan rasional dan keteguhan moral.
Baca juga: Relevansi Kerangka Filsafat untuk Penelitian Sosial Modern
Maka, tantangan terbesar Indonesia hari ini bukan sekadar menerima atau menolak sekularisasi, tetapi memahami bagaimana cara berpikir ini harus ditempatkan secara proporsional. Indonesia perlu mengambil sisi positif sekularisasi, yakni rasionalitas, kemajuan ilmu pengetahuan, serta kebebasan intelektual tanpa menghilangkan peran nilai agama dalam membentuk etika publik. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, agama tetap menjadi sumber makna dan identitas yang penting. Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah membangun dialog sehat antara rasionalitas modern dan nilai-nilai religius, agar keduanya dapat berjalan seimbang dan relevan dalam menghadapi perkembangan zaman.
Dengan demikian, masa depan pemikiran Indonesia bergantung pada kemampuan bangsa ini dalam mengelola ruang dialog antara agama dan modernitas secara dewasa, kritis, dan produktif. Sekularisasi tidak perlu dipandang sebagai ancaman apabila ditempatkan dalam batas yang proporsional, yakni sebagai alat untuk memperkuat objektivitas, kemajuan ilmu, dan tata kelola publik yang adil, tanpa meruntuhkan kedalaman spiritual yang menjadi identitas bangsa. Ketika nilai moral dan rasionalitas saling melengkapi, Indonesia berpeluang membangun masyarakat modern yang berakar pada etika, cerdas dalam berpikir, serta matang dalam mengambil keputusan. Inilah arah yang diperlukan agar bangsa tetap relevan, kokoh, dan bermartabat dalam menghadapi kompleksitas zaman yang terus berubah.
Penulis: Athiyah Najwa Maulana, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













