Dampak Toxic Parenting terhadap Kesehatan Mental Anak dalam Perspektif Psikologi dan Agama

Toxic Parenting Anak

Milenianews.com, Mata Akademisi – Lingkungan keluarga merupakan ruang pertama tempat anak belajar memahami dunia dan membentuk pondasi kesehatan mentalnya. Keluarga juga berperan besar dalam perkembangan psikologis anak. Namun, tidak semua pola asuh memberi dampak positif. Ketika orang tua terlalu mengontrol, sering menyalahkan, atau melakukan kekerasan verbal maupun emosional, kondisi ini dapat menimbulkan luka batin yang mendalam. Pola asuh toxic menjadi salah satu faktor risiko utama terbentuknya gangguan mental pada anak di masa depan.

Pola Toxic Parenting dan Dasar Teori Kelekatan Bowlby

Menurut teori kelekatan yang dikemukakan oleh Bowlby, ikatan emosional yang aman dengan pengasuh sangat penting untuk membangun rasa percaya diri dan keamanan pada anak. Sebaliknya, keluarga toxic sering memiliki aturan tidak tertulis yang membatasi perkembangan anak, seperti larangan untuk berkembang lebih baik dari orang tua atau larangan untuk terlihat lebih bahagia. Situasi ini membuat anak hidup dalam tekanan psikologis dan kehilangan ruang perkembangan diri secara sehat.

Dampak Psikologis dari Keluarga Toxic

Anak yang tumbuh dalam lingkungan toxic rentan mengalami kecemasan berlebih, harga diri rendah, serta kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat di masa mendatang. Dampak ini tidak hanya terasa selama masa kanak-kanak, tetapi juga berlanjut hingga dewasa dan berpotensi membentuk kepribadian individu. Luka psikologis yang dihasilkan dari perlakuan toxic dapat memengaruhi kemampuan anak dalam mengekspresikan emosi, membangun prinsip hidup, dan menentukan arah tujuan dirinya.

Karakteristik Toxic Parents dalam Kehidupan Sehari-hari

Toxic parents merujuk pada orang tua yang memperlakukan anak tanpa penghormatan pada martabat dan kebutuhan emosionalnya. Perilaku ini sering terjadi tanpa disadari, ditunjukkan dengan tidak adanya pujian terhadap pencapaian anak, meremehkan usaha, atau gemar membandingkan dengan saudara kandung dan anak lain. Ciri lain meliputi kekerasan verbal maupun fisik, serta pengabaian terhadap kebutuhan kasih sayang.

Orang tua dengan pola asuh seperti ini umumnya sulit berkompromi, menolak bertanggung jawab, dan jarang meminta maaf. Menurut Sri Juwita Kusumawardhani, mereka gagal memenuhi kebutuhan emosional anak, termasuk kedekatan dan komunikasi yang hangat. Kondisi ini menciptakan lingkungan keluarga yang tidak aman secara psikologis.

Bentuk Respons Anak terhadap Toxic Parenting

Dampak toxic parenting terhadap anak bersifat luas dan berlangsung jangka panjang. Secara umum, respons anak terbagi menjadi dua pola besar. Pertama, anak yang penurut cenderung menekan keinginannya demi membahagiakan orang tua, meski harus mengorbankan identitas diri. Kedua, anak pemberontak akan menolak aturan, menjadi pembangkang, atau menolak kedekatan emosional dengan keluarga.

Jika situasi ini berlanjut, anak berisiko mengalami kecemasan tinggi, rasa tidak aman, dan kesepian ekstrem. Dalam kondisi berat, efek tersebut dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan klinis, depresi, bahkan gangguan fisik akibat stres kronis.

Baca juga: Menjadikan Al-Qur’an sebagai Sumber Mata Pencaharian: Nasaruddin Umar (Menag), “Guru itu tujuannya mulia, bukan cari uang”

Perspektif Keagamaan tentang Tanggung Jawab Orang Tua

Kesehatan mental anak yang terganggu akan memengaruhi perilaku dan kemampuan penyesuaiannya dalam kehidupan sosial. Dalam perspektif agama Islam, surah At-Tahrim ayat 6 menegaskan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab untuk melindungi keluarga dari bahaya fisik, emosional, dan spiritual. Jika toxic parenting menyebabkan tekanan psikologis pada anak, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap amanah agama.

Siklus Pola Asuh dan Tantangan Generasi

Tantangan terbesar dari toxic parenting adalah potensi menjadi siklus yang berulang. Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan toxic memiliki peluang besar untuk mengulangi pola tersebut saat menjadi orang tua. Karena itu, pemutusan rantai toxic parenting membutuhkan kesadaran, pembelajaran, dan intervensi yang tepat. Tanpa upaya tersebut, dampak psikologis berpotensi diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.

Peran Edukasi dan Pencegahan

Untuk memutus pola toxic parenting, pendekatan tidak dapat dilakukan secara parsial atau sesaat. Upaya harus bersifat komprehensif dan berkelanjutan. Langkah awal yang krusial adalah edukasi dan sosialisasi luas mengenai pola asuh sehat berbasis penghargaan terhadap hak anak dan perkembangan psikologisnya.

Program edukasi ini tidak hanya menyasar orang tua atau calon orang tua muda, tetapi juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dengan demikian, pemahaman mengenai pengasuhan positif dapat tertanam sejak usia dini.

Keluarga merupakan fondasi utama bagi kesehatan mental anak. Namun, pola asuh toxic dapat menyebabkan kerusakan psikologis yang dalam dan berkepanjangan. Toxic parents ditandai oleh kekerasan verbal–emosional, pengabaian kebutuhan afektif, serta perilaku tidak menghormati anak sebagai individu.

Dalam perspektif agama, orang tua berkewajiban menjaga anak dari bahaya emosional sebagaimana ditegaskan dalam surah At-Tahrim ayat 6. Dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, diharapkan tercipta lingkungan keluarga yang mendukung kesehatan mental anak serta menghentikan siklus disfungsional antargenerasi.

Penulis: Nafilah Salsabila Kurniawati, Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *