Bolehkah Kita Menimbun Barang atau Ihtikar

Siti Fahma Azahra, Mahasiswa STEI SEBI. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Praktik ihtikar merupakan penimbunan barang yang dapat menciptakan banyaknya krisis barang dan memicu melonjaknya harga barang yang mana ini bisa merugikan masyarakat dengan tindakan yang cenderung tidak adil dan manipulatif. Ihtikar berasal dari kata Hakara yang artinya az-zulm (aniaya) dan isa al-mu’asyarah (merusak pergaulan). Secara istilah berarti menyimpan barang dagangan untuk menunggu berputarnya harga.

Menurut Imam Asy Syaukani (wafat 1834) ahli hadis dan ushul fiqh, ihtikar adalah penimbunan barang dangan dari peredarannya. Imam Al Ghazali mengartikan sebagai penjual makanan yang menyimpan barang dagangannya dan menjualnya setelah harga melonjak tinggi. Adapun Menurut ulama Madzhab Maliki, ihtikar adalah menyimpan barang oleh produsen baik berupa makanan, pakaian, dan segala barang yang dapat merusak pasar. Sedangkan, Imam Syafi’i dan Hanbali mendefinisikan ihtikar sebagai menimbun barang yang telah dibeli pada harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya.

Semua pendapat tersebut secara esensi mempunyai pengertian yang sama, yaitu menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak, namun dari jenis barang yang disimpan atau disimpan terjadi perbedaan. Secara operasional, ihtikar atau monopoli (rekayasa pasar dalam supply) adalah penjual atau produsen mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya itu naik. Biasanya hal itu dilakukan secara entri barriers yakni menghambat penjual atau produsen lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli).

Di riwayatkan dari Hadits Abi Umamah, ia berkata “Rasulullah SAW melarang monopoli makanan”.

Diriwayatkan dari Said bin Al Musayyib, ia berkata Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa melakukan monopoli, maka ia berdosa”.

Kedua hadits di  atas menegaskan bahwa praktik monopoli itu dilarang dan diharamkan menurut Islam. Dalam hadits pertama Rasulullah SAW melarang monopoli dalam makanan. Hadits ini tidak bermakna monopoli yang dilarang itu terbatas pada makanan saja, karna siyaq (redaksi) hadits ini sedang memberikan contoh monopoli karena makanan menyangkut kebutuhan primer dan hajat orang banyak.

Begitu pula dalam hadits kedua, Rasulullah SAW melarang monopoli dengan menjelaskan pelaku monopoli adalah khoti. Istilah khoti dalam hadits ini adalah berdosa, maka praktik monopoli tergolong dosa dan maksiat yang dilarang juga diharamkan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Abu Yusuf dan Asy Syaukani, bahwa setiap praktik monopoli itu terlarang, baik untuk kebutuhan primer masyarakat maupun sekunder. Hadits-hadits tersebut tidak membedakan objek monopoli, sedangkan hadits yang menyebutkan makanan sebagai objek monopoli merupakan penjelasan salah satu bentuk monopili yang dilarang dalam Islam.

Karena ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya penjual membeli produk dari pasar sehingga harga melonjak naik, kemudian dijualnya dengan harga tinggi.  Ini adalah praktik yang tidak sehat dan merugikan konsumen juga produsen. Praktik ini bertentangan dengan transaksi bisnis yang harus mengikuti kaidah supply dan demand (permintaan dan penawaran), secara alami sebagaimana yang diungkapkan dalam Al Qur’an Surah Al Hasyr ayat 7 yang artinya: “supaya harta itu jangan beredar di antara orang orang kaya saja di antara kamu”. Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa, salah satu tujuan harta adalah harta itu bisa beredar (rawaj) dan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Jika produk tertentu di monopoli dan hanya dinikmati oleh beberapa orang, sehingga masyarakat tidak bisa menikmatinya atau hanya bisa mendapatkan dengan harga tinggi itu adalah mafsadah (merusak) dan bertentangan dengan tujuan atau maqshad harta ini. Monopoli menyebabkan harga barang  menjadi mahal atau naik, karena jumlah barang ditarik dari pasar dan banyak dikuasai oleh pelaku monopoli. Dari sinilah pelaku monopoli  mengurangi produksi, juga mengurangi produktivitas pekerja karena para pelaku monopoli tidak memperhatikan kualitas produk dan menutup pintu persaingan sehat di  pasar. Oleh karena itu, praktik monopoli berakibat terhadap masyarakat umum maka itu praktik monopoli diharamkan.

Ketentuan ini juga yang melandasi kebijakan sahabat Umar ra. yang melarang dengan tegas setiap praktik monopoli. Beliau menegaskan:  “Tidak boleh ada monopoli dipasar kita”. Ibnu Qayyim menjelaskan bahaya monopoli ini menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya untuk investasi agar monopoli itu tidak terjadi. Bahkan seharusnya pemerintah memaksa para pelaku monopoli untuk menjual barangnya, agar harga bisa stabil.

Jadi dalam perspektif ekonomi, menyimpan barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam (monopoli sah-sah saja). Demikian juga menaruh persediaan, namun yang dilarang itu ihtikar yakni mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya monopoly’s rent-seeking. Jadi dalam Islam, monopoli itu boleh. Sedangkan, monopoly’s rent-seeking tidak boleh.

Ihtikar diharamkan apabila syarat-syarat ini terpenuhi :

  1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stok atau entri barriers.
  2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga sebelum munculnya kelangkaan.
  3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen satu dan dua dilakukan.

Penulis: Siti Fahma Azahra, Mahasiswa STEI SEBI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *