Milenianews.com, Mata Akademisi – Esai ini berangkat dari kesadaran bahwa perempuan dalam tradisi keilmuan Islam sering kali lebih banyak menjadi objek pembacaan ketimbang subjek penafsir. Di tengah tradisi tafsir yang didominasi laki-laki, kemunculan Bintu Syathi’ (Aisyah Abd al-Rahman) sebagai mufassir perempuan modern menghadirkan perubahan penting. Teks suci tidak lagi dibaca hanya dari sudut pandang pengalaman laki-laki, tetapi juga melalui perspektif perempuan. Dari sini dapat dirumuskan bahwa kontribusi Bintu Syathi’ dalam feminisme Islam modern terletak pada kemampuannya membuka ruang tafsir bagi perempuan tanpa memutus hubungan dengan otoritas tradisi dan komitmen keagamaan.
Perjuangan Intelektual dalam Dua Ruang Wacana
Sebagai intelektual perempuan, Bintu Syathi’ menghadapi dua medan perjuangan sekaligus. Ia harus bernegosiasi dengan struktur sosial dan akademik yang cenderung memarginalkan perempuan. Pada saat yang sama, ia membuktikan bahwa kompetensi perempuan dalam memahami Al-Qur’an tidak kalah dari laki-laki. Fakta bahwa ia menulis karya tafsir yang diakui luas menjadi pesan simbolik yang kuat: perempuan bukan lagi objek kajian terkait aurat, keluarga, dan hukum, tetapi juga subjek otoritatif yang mampu menafsirkan makna wahyu.
Sikap Ambivalen terhadap Feminisme Barat
Dalam membaca kontribusinya terhadap feminisme Islam modern, tidak bijak langsung melabeli Bintu Syathi’ sebagai feminis Barat. Ia berkarya dalam konteks sosial yang berbeda, sementara feminisme Barat mengusung kesetaraan mutlak. Sikapnya terhadap istilah feminisme bersifat ambivalen. Di satu sisi ia kritis terhadap pola pikir yang dianggap mengancam nilai keluarga dan tatanan agama. Di sisi lain, pemikirannya membela hak perempuan untuk berpendidikan, bekerja, dan hadir di ruang publik. Pembaruan peran perempuan darinya justru berangkat dari nilai Islam, bukan paradigma luar.
Konsep Komplementaritas dalam Pemikiran Gender
Cara pandang Bintu Syathi’ terhadap peran perempuan diringkas dalam konsep komplementaritas. Laki-laki dan perempuan setara dalam martabat dan tanggung jawab di hadapan Tuhan, tetapi memiliki fungsi saling melengkapi dalam keluarga dan masyarakat. Konsep ini menolak dua ekstrem: tuntutan kesetaraan peran total dan pandangan hierarkis yang menempatkan perempuan sebagai kelas dua. Di sini terlihat upaya menyeimbangkan penghargaan perbedaan dengan keadilan gender.
Pendekatan Tafsir yang Berbasis Bahasa dan Narasi
Dalam penafsiran Al-Qur’an, pendekatan Bintu Syathi’ menonjol karena kepekaannya terhadap bahasa, sastra, dan kisah Qur’ani. Ia tidak hanya mengulang pandangan mufassir terdahulu, tetapi menggali pesan moral yang tersimpan di balik struktur kalimat. Ketika membahas tokoh perempuan Qur’ani, ia menyoroti keberanian, kecerdasan, dan pilihan etis, bukan sekadar peran domestik atau fisik. Dengan cara ini, perempuan Qur’ani tampil sebagai subjek sejarah yang aktif.
Implikasi bagi Feminisme Islam Modern
Penekanan terhadap agensi tokoh perempuan Qur’ani memiliki implikasi luas. Saat perempuan Muslim mencari rujukan dalam kitab suci, pendekatan Bintu Syathi’ menunjukkan bahwa Al-Qur’an memuat figur perempuan cerdas dan berani mengambil keputusan. Hal ini menantang anggapan bahwa kesalehan identik dengan kepasifan. Kesalehan dipahami sebagai perpaduan iman, akal, dan keberanian moral yang sepenuhnya mungkin dimiliki perempuan.
Ruang Keluarga sebagai Bagian dari Pemberdayaan
Kontribusi lain Bintu Syathi’ terletak pada posisinya terhadap pengalaman perempuan. Ia tidak mendorong perempuan memutus peran keluarga, tetapi mengajak menata relasi keluarga agar lebih adil dan dialogis. Peran istri dan ibu tidak dipahami sebagai penjara domestik, tetapi sebagai amanah yang dapat selaras dengan peran sosial jika keluarga diorganisasi secara saling menghargai. Baginya, kebebasan perempuan harus diiringi tanggung jawab bersama.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Jalan Tengah antara Tradisi dan Modernitas
Dalam kerangka feminisme Islam, pendekatannya dibaca sebagai pencarian titik tengah. Ia mengkritik budaya patriarki yang membatasi akses perempuan terhadap ilmu dan ruang publik, namun berhati-hati terhadap kesetaraan gender yang tidak berakar pada agama. Kekuatan gagasannya justru terletak pada upaya memajukan perempuan tanpa benturan dengan agama yang diyakini sebagai sumber nilai.
Relevansi Pemikiran dalam Konteks Masa Kini
Pemikiran Bintu Syathi’ masih relevan bagi perempuan Muslim modern yang menghadapi tekanan sosial: tuntutan kesalehan, karier, dan perdebatan tentang peran ideal perempuan. Konsep saling melengkapi dapat menjadi solusi. Perempuan dapat hadir di ruang publik, berkontribusi di masyarakat, dan tetap menjaga komitmen spiritual serta hubungan keluarga.
Aktivisme Ilmiah Perempuan dalam Tafsir
Kehadiran Bintu Syathi’ sebagai mufassir perempuan menunjukkan bahwa perempuan mampu menguasai tradisi tafsir dan bahasa Arab lalu menggunakannya sebagai argumen keagamaan yang sah. Hal ini penting bagi feminisme Islam masa kini, yang menuntut perjuangan berbasis ilmu, bukan sekadar opini emosional.
Kritik terhadap Pendekatannya
Pemikiran Bintu Syathi’ juga tidak lepas dari kritik. Fokusnya pada keterpaduan peran dianggap kurang tajam dalam mengkritik struktur hukum dan sosial yang merugikan perempuan. Namun kritik ini justru memperkaya diskusi feminisme Islam modern sebagai medan pemikiran yang luas dan dinamis.
Kontribusi Besar bagi Feminisme Islam Modern
Nilai utama pemikirannya terletak pada keberhasilannya menggeser fokus pembahasan perempuan dari “aturan terhadap perempuan” menjadi “bagaimana perempuan menjadi subjek sadar dalam memahami wahyu”. Ia membuka jalur pembaruan pandangan gender dalam Islam dari dalam tradisi teks.
Dengan demikian, kontribusi Bintu Syathi’ dapat disimpulkan sebagai jembatan antara tafsir klasik dan tuntutan keadilan gender modern. Ia menghubungkan pengalaman perempuan dengan otoritas keilmuan, sambil menegaskan bahwa perempuan tidak harus memilih antara menjadi taat atau bebas, tetapi menjadi hamba Tuhan yang merdeka melalui ilmu dan refleksi. Pemikirannya menjadi bagian penting dalam perjalanan feminisme Islam yang berakar pada Al-Qur’an dan realitas perempuan Muslim.
Penulis: Salwa Salsabila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.








