Bencana Banjir Di Sumatra: Tinjauan Ilmu Pengetahuan Dan Ilmu Islam Dalam Menyikapi Krisis Lingkungan

Bencana Banjir

Milenianews.com, Mata Akademisi – Bencana banjir yang kerap melanda berbagai wilayah di Sumatra mulai dari Medan, Aceh, hingga Padang menjadi gambaran nyata bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis ekologis yang serius. Hampir setiap tahun, masyarakat di daerah-daerah tersebut merasakan dampak banjir yang menyebabkan kerusakan rumah, lumpuhnya aktivitas sosial, hingga hilangnya mata pencaharian. Fenomena ini tidak dapat lagi dipandang sebagai kejadian musiman, melainkan sebagai tanda bahwa ada masalah besar dalam pengelolaan lingkungan. Untuk memahami persoalan ini secara menyeluruh, diperlukan pendekatan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan sekaligus nilai-nilai yang ditawarkan oleh ilmu pengetahuan Islam.

Banjir di berbagai wilayah Sumatra memiliki penyebab yang kompleks. Dari sudut pandang ilmu alam, curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim global memperbesar risiko banjir. Di Medan, misalnya, banjir sering terjadi karena meluapnya Sungai Deli dan lemahnya sistem drainase kota. Di Aceh, banjir banyak dipengaruhi oleh deforestasi di bagian hulu sungai, sehingga tanah tidak mampu menyerap air. Sementara di Padang, banjir bandang kerap terjadi akibat kombinasi curah hujan tinggi dan kondisi geografis yang berbukit. Semua faktor ini dapat dijelaskan melalui cabang ilmu klimatologi, hidrologi, dan geografi.

Baca juga: Relevansi Filsafat Ilmu Dalam Krisis Kebenaran Era Digital

Namun keadaan banjir tidak hanya bergantung pada faktor alam, tetapi juga pada ilmu sosial. Urbanisasi yang tidak terkendali, pemukiman di bantaran sungai, pembangunan tanpa analisis dampak lingkungan, serta kebiasaan membuang sampah sembarangan menjadi penyebab tambahan. Ilmu sosiologi, antropologi, dan geografi manusia membantu menjelaskan bagaimana perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah dapat memperburuk atau memperbaiki keadaan. Dengan memahami klasifikasi ilmu modern ini, kita dapat melihat bahwa banjir adalah masalah multidisiplin, bukan hanya urusan cuaca.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan Islam memberikan dimensi moral dan spiritual yang tidak kalah penting. Dalam tradisi Islam, pengetahuan dibagi menjadi ilmu aqliyah (berbasis akal) dan ilmu naqliyah (berbasis wahyu). Ilmu aqliyah mendorong manusia untuk mempelajari alam dan mencari solusi rasional terhadap bencana. Upaya seperti membangun sabo dam, mengembalikan daerah resapan air, serta melakukan reboisasi adalah bentuk penerapan ilmu ini. Islam tidak menolak sains; justru mendorong umatnya menggunakan akal untuk memahami sunnatullah dalam fenomena alam.

Sementara itu, ilmu naqliyah mengajarkan prinsip-prinsip moral yang seharusnya menjadi landasan dalam menjaga lingkungan. Al-Qur’an berulang kali menegaskan larangan merusak bumi dan mengingatkan bahwa kerusakan yang terjadi adalah akibat perbuatan tangan manusia. Dalam konteks banjir di Sumatra, ayat ini sangat relevan. Deforestasi, eksploitasi alam yang berlebihan, dan perubahan tata ruang tanpa etika adalah pelanggaran langsung terhadap amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Islam menekankan keseimbangan (mizan) dan keharmonisan antara manusia dan alam. Ketika prinsip ini diabaikan, bencana menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.

Jika pendekatan ilmu pengetahuan modern digabungkan dengan nilai-nilai ilmu Islam, maka pemahaman tentang banjir di Sumatra akan menjadi lebih komprehensif. Sains memberikan penjelasan teknis serta solusi praktis, sementara islam memberikan panduan moral untuk memastikan manusia tidak mengulangi kesalahan yang menyebabkan kerusakan. Integrasi dua perspektif ini akan menghasilkan langkah penanggulangan yang lebih berkelanjutan, seperti pembangunan yang ramah lingkungan, tata ruang berbasis ekologi, pengelolaan sungai yang baik, serta perilaku masyarakat yang lebih peduli terhadap kebersihan dan kelestarian alam.

Pada akhirnya, banjir di Medan, Aceh, Padang, dan wilayah Sumatra lainnya bukan hanya permasalahan alam semata, tetapi juga cerminan bagaimana manusia memperlakukan lingkungannya. Dalam dunia yang sedang mengalami krisis ekologi, menggabungkan kekuatan ilmu pengetahuan dan ajaran Islam menjadi langkah penting untuk mewujudkan solusi yang tidak hanya teknis, tetapi juga berlandaskan etika. Bencana ini menjadi pengingat bahwa ilmu dan agama harus berjalan berdampingan agar manusia bisa menjaga bumi dengan bijaksana.

Selain menjadi peringatan ekologis, banjir yang melanda Medan, Aceh, Padang, dan wilayah lain di Sumatra juga memperlihatkan bagaimana manusia belum sepenuhnya memahami pentingnya hubungan antara ilmu, etika, dan lingkungan. Banyak masyarakat yang menganggap banjir hanya sebagai “bencana alam”, padahal sains dan nilai-nilai Islam menunjukkan bahwa sebagian besar bencana adalah akibat dari tindakan manusia sendiri. Dengan demikian, pembahasan banjir tidak cukup hanya dijelaskan melalui satu jenis ilmu; diperlukan pemahaman yang lebih menyeluruh.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, klasifikasi ilmu dibuat agar manusia dapat menyelesaikan masalah secara lebih terarah. Misalnya, ilmu geografi dan hidrologi dapat memetakan daerah rawan banjir di Sumatra, sementara klimatologi dapat menjelaskan mengapa curah hujan semakin ekstrem dalam 10 tahun terakhir. Di Aceh, analisis geospasial menunjukkan bahwa pembukaan hutan untuk kepentingan ekonomi memperbesar risiko banjir bandang. Di Medan, pengurangan daerah resapan air dan pembangunan yang tidak teratur menyebabkan sungai tidak mampu menampung air hujan. Sedangkan di Padang, kombinasi antara hujan intens dan kondisi topografi yang bergunung menciptakan potensi banjir besar ketika hutan di lereng bukit tidak lagi mampu menahan air. Semua contoh ini menggambarkan pentingnya peran ilmu alam dalam membaca pola dan penyebab banjir.

Namun tanpa ilmu sosial, solusi terhadap banjir akan terasa timpang. Banyak banjir di Sumatra terjadi bukan hanya karena curah hujan tinggi, tetapi juga karena pola hidup masyarakat. Kebiasaan membuang sampah ke sungai, urbanisasi cepat tanpa perencanaan, serta lemahnya kesadaran lingkungan adalah bagian dari masalah sosial yang harus dipahami. Sosiologi membantu menjelaskan mengapa masyarakat tetap tinggal di daerah rawan banjir, sementara ilmu ekonomi menjelaskan motif deforestasi yang sering dilakukan demi keuntungan sesaat. Bahkan ilmu politik pun berperan, karena kebijakan pemerintah, anggaran daerah, dan pengawasan terhadap lingkungan sangat menentukan kondisi sungai dan hutan. Di sinilah terlihat bahwa masalah banjir adalah masalah yang menyangkut banyak sisi kehidupan manusia, sehingga klasifikasi ilmu membantu kita melihat gambaran besarnya.

Dalam Islam, integrasi ilmu tidak pernah dipisahkan dari akhlak. Ilmu pengetahuan Islam mengajarkan bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi tanpa batas. Prinsip ini terlihat dari banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Islam membagi ilmu tidak hanya berdasarkan objeknya, tetapi juga tujuannya. Ilmu naqliyah seperti tafsir dan hadis mengajarkan dasar moral dan spiritual bahwa manusia adalah pengelola bumi (khalifah). Sedangkan ilmu aqliyah seperti matematika, geografi, meteorologi, dan teknologi diperlukan untuk mengurai fenomena alam secara rasional. Dua jenis ilmu ini tidak bertentangan; justru saling melengkapi dalam menghadapi realitas kontemporer seperti banjir di Sumatra.

Ketika banjir terjadi, sebagian orang menganggapnya sebagai takdir semata. Padahal dalam Islam, takdir tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Peristiwa banjir bisa menjadi cermin bahwa manusia telah mengabaikan perintah menjaga keseimbangan alam. Ketika hutan ditebang tanpa reboisasi, sungai dipersempit untuk pembangunan, dan sungai dijadikan tempat sampah, maka manusia sendiri yang membuka pintu bencana. Islam mengajarkan bahwa akibat buruk dari perbuatan manusia akan kembali kepada mereka. Dengan demikian, banjir bukan hanya masalah fisik, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Di sinilah peran ilmu pengetahuan Islam menjadi penting sebagai pengontrol sikap manusia agar tidak semena-mena terhadap alam.

Baca juga: Peran Kerangka Berpikir Dalam Pembentukan Ilmu Pengetahuan

Integrasi antara klasifikasi ilmu modern dan ilmu pengetahuan Islam dapat melahirkan solusi yang lebih utuh. Misalnya, pembangunan infrastruktur berbasis kajian ilmiah harus dipadukan dengan pendidikan lingkungan berbasis nilai-nilai Islam. Pemerintah dapat membuat kebijakan yang ramah lingkungan, tetapi masyarakat juga harus membangun kesadaran bahwa menjaga sungai dan hutan adalah bagian dari ibadah. Jika ilmu alam memberikan data dan analisis, dan ilmu sosial memberikan pemahaman mengenai perilaku manusia, maka ajaran Islam memberikan landasan etis sehingga tindakan manusia tidak lagi merusak keseimbangan bumi.

Melihat semua ini, banjir di Sumatra sebenarnya adalah peringatan dan kesempatan. Peringatan bahwa kerusakan alam tidak dapat lagi diabaikan, dan kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri melalui ilmu dan nilai. Ketika ilmu pengetahuan dan ajaran Islam disatukan, manusia dapat lebih bijak dalam memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Dengan pendekatan yang holistik, bukan mustahil bencana banjir yang selama ini meresahkan masyarakat dapat diatasi secara bertahap.

Penulis: Syifa Aulia, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *