Banjir dan Longsor 2025 dalam Perspektif Ilmu Sosial

Bencana Perspektif Sosial

Milenianews.com, Mata Akademisi – Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam seperti curah hujan yang tinggi. Peristiwa tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi sosial yang melingkupinya, mulai dari pola hidup masyarakat, lemahnya penegakan hukum, hingga tekanan ekonomi yang dihadapi warga. Oleh karena itu, kerangka berpikir ilmu sosial menjadi penting untuk melihat bencana tidak hanya sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai persoalan sosial yang kompleks.

Kerangka Ilmu Sosial dalam Memahami Bencana

Dalam perspektif ilmu sosial, terdapat tiga komponen utama yang saling berkaitan, yaitu pengetahuan, fakta, dan norma. Pengetahuan merujuk pada teori atau wawasan yang digunakan untuk memahami suatu masalah. Fakta merupakan data nyata yang ditemukan di lapangan. Sementara itu, norma mencakup aturan dan kebijakan yang mengatur perilaku masyarakat maupun pemerintah. Ketiga unsur ini dapat digunakan secara bersamaan untuk memahami bencana secara lebih utuh.

Ilmu sosial juga bersifat lintas disiplin. Bidang seperti geologi, antropologi, sosiologi, hukum, dan ekonomi memiliki kontribusi penting dalam menjelaskan mengapa bencana terjadi dan bagaimana dampaknya dapat diminimalkan.

Geologi dan Risiko yang Diabaikan

Dari sudut pandang geologi, banyak wilayah yang terdampak banjir dan longsor sebenarnya telah lama dikenal sebagai zona rawan atau zona merah. Informasi mengenai kondisi tanah, struktur wilayah, dan potensi bencana telah tersedia. Namun, pengetahuan tersebut kerap diabaikan dalam proses pembangunan.

Akibatnya, rumah dan fasilitas umum tetap dibangun di kawasan berisiko tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengetahuan geologi tidak akan efektif jika tidak diikuti oleh kebijakan yang tegas dan pengawasan yang konsisten.

Antropologi, Sosiologi, dan Pilihan Hidup Masyarakat

Antropologi dan sosiologi membantu menjelaskan mengapa masyarakat masih bertahan di wilayah rawan bencana. Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utama, karena keterbatasan finansial membuat masyarakat tidak memiliki pilihan tempat tinggal yang lebih aman.

Selain itu, faktor budaya dan kebiasaan turun-temurun juga berperan. Tinggal di dekat sungai atau di lereng bukit sering kali berkaitan dengan sumber mata pencaharian dan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam konteks ini, ilmu sosial menunjukkan bahwa risiko bencana semakin besar ketika masyarakat tidak memiliki kapasitas atau kesempatan untuk berpindah ke lingkungan yang lebih aman.

Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi

Hukum dan Lemahnya Penegakan Aturan

Peran hukum menjadi sangat penting dalam pengelolaan lingkungan. Peraturan mengenai penggunaan lahan dan perlindungan hutan telah diatur dalam undang-undang, termasuk larangan penebangan hutan tanpa izin dan ancaman pidana bagi pelanggarnya.

Namun, dalam praktiknya, pelanggaran masih sering terjadi. Penebangan liar, pembukaan lahan tanpa izin, serta pembangunan di bantaran sungai menunjukkan lemahnya penegakan hukum. Ketika aturan tidak dijalankan secara tegas, kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari dan risiko bencana pun meningkat.

Teknologi dan Dimensi Sosial Mitigasi

Teknologi juga memiliki peran penting dalam mitigasi bencana, seperti sistem peringatan dini. Akan tetapi, teknologi tidak dapat bekerja secara optimal tanpa dukungan aspek sosial. Pemahaman masyarakat, komunikasi yang jelas dari pemerintah, serta edukasi yang berkelanjutan menjadi faktor penentu efektivitas teknologi tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus diintegrasikan dengan pendekatan sosial agar benar-benar bermanfaat dalam mengurangi risiko bencana.

Bencana sebagai Masalah Multidimensi

Bencana banjir dan longsor tahun 2025 memperlihatkan bahwa persoalan bencana tidak dapat diselesaikan oleh satu bidang ilmu saja. Pengetahuan geologi yang diabaikan, kondisi ekonomi yang lemah, serta hukum yang tidak ditegakkan secara konsisten saling berkaitan dan memperbesar dampak bencana.

Kerangka berpikir ilmu sosial membantu menghubungkan seluruh faktor tersebut dalam satu pemahaman yang komprehensif. Dengan pendekatan ini, bencana dipahami sebagai hasil interaksi antara manusia, lingkungan, dan kebijakan publik.

Menuju Penanganan Bencana yang Lebih Menyeluruh

Melalui pendekatan ilmu sosial, penanganan bencana seharusnya dilakukan sejak sebelum bencana terjadi, melalui upaya pencegahan, pengawasan lingkungan, dan edukasi masyarakat. Antropologi dan sosiologi menjelaskan kondisi sosial masyarakat, ekonomi menjelaskan kemampuan finansial, sementara hukum mengatur tindakan yang seharusnya dijalankan.

Kerja sama lintas disiplin menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan masyarakat yang lebih siap menghadapi bencana. Bencana banjir dan longsor tahun 2025 menjadi pengingat bahwa ilmu sosial memiliki peran besar dalam mengurangi risiko dan dampak bencana jika dipahami dan diterapkan secara konsisten.

Penulis: Reykhana Zahra, Mahasiswi IIQ Jakarta (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir)

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *