Antara Ibadah dan Wisata: Ziarah dalam Perspektif Sakral dan Profan Menurut Mircea Eliade

ziarah kubur

Mata Akademisi, Milenianews.com – Ziarah ke makam para wali merupakan tradisi keagamaan yang tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Praktik ini tidak hanya menjadi sarana ibadah, melainkan juga telah berkembang menjadi fenomena sosial yang kompleks.

Di satu sisi, ziarah dilakukan untuk mendoakan tokoh-tokoh suci seperti Wali Songo sebagai bentuk penghormatan dan spiritualitas. Namun di sisi lain, ziarah juga kini dilengkapi dengan aktivitas seperti wisata, belanja oleh-oleh, swafoto, hingga rekreasi keluarga. Realitas ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah ziarah masih menjadi bentuk ibadah sakral, ataukah telah bergeser menjadi praktik profan?

Baca juga: Mengapa Gagasan Pendidikan Muhammad Abduh Masih Relevan Hari Ini

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori sakral dan profan dari Mircea Eliade, seorang filsuf dan sejarawan agama asal Rumania. Dalam karyanya, Eliade menjelaskan bahwa dunia manusia terdiri dari dua dimensi utama, yaitu sakral dan profan, yang sakral berkaitan dengan hal-hal ilahi, spiritual, dan transenden segala sesuatu yang mengangkat manusia dari rutinitas duniawi menuju kesadaran akan yang Ilahi. Sebaliknya, yang profan adalah dunia sehari-hari, hal-hal rutin yang tidak memiliki makna spiritual mendalam.

Eliade mengamati bahwa masyarakat tradisional memisahkan secara tegas antara dua ranah ini. Mereka mempersepsikan tempat ibadah, makam wali, dan ritual keagamaan sebagai wilayah sakral yang ditandai oleh kekhusyukan dan makna simbolis.

Namun dalam masyarakat modern, terjadi apa yang disebut Eliade sebagai proses desakralisasi: batas antara sakral dan profan menjadi kabur. Nilai-nilai spiritual perlahan tergeser oleh rasionalitas, konsumsi, dan hiburan yang menjadikan banyak aspek keagamaan kehilangan kedalaman maknanya.

Konteks ini sangat relevan untuk melihat fenomena ziarah masa kini. Sebagai contoh, ziarah ke makam Sunan Ampel atau Sunan Kalijaga kini tidak hanya dipenuhi oleh peziarah yang berdoa dan merenung, tetapi juga oleh wisatawan yang mengambil gambar, membeli suvenir, dan mengunggah pengalaman mereka ke media sosial.

Aktivitas  seperti ini mencerminkan percampuran antara sakral dan profan dalam satu ruang yang sama. Tempat yang dulunya eksklusif untuk aktivitas spiritual kini menjadi ruang multifungsi yang juga melayani kepentingan ekonomi dan budaya populer.

Baca juga: Hermeneutika Hasan Hanafi Bukan Sekadar Tafsir Teks

Perbedaan sudut pandang antara ulama tradisional dan modern turut memperkaya diskursus tentang ziarah. Umumnya, ulama sepakat bahwa ziarah kubur diperbolehkan selama niatnya lurus dan tidak mengandung unsur syirik. Namun dalam praktiknya, sebagian kelompok modernis seperti Muhammadiyah cenderung menghindari ziarah karena khawatir terhadap potensi bid’ah.

Sementara itu, ulama dari kalangan tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama justru mendorong praktik ziarah sebagai bagian dari warisan keagamaan yang syar’i. Perbedaan ini mencerminkan dinamika pemahaman agama di tengah arus modernisasi dan globalisasi.

Namun demikian, tidak serta-merta kita bisa menilai bahwa ziarah telah kehilangan makna spiritualnya. Justru dalam perspektif fenomenologi agama, seperti yang dijelaskan Eliade, pengalaman sakral tidak sepenuhnya hilang, tetapi bertransformasi.

Seseorang bisa saja datang dengan niat profan, namun dalam prosesnya mengalami perenungan mendalam karena suasana religius yang masih melekat di lokasi tersebut. Dengan kata lain, hierofani yakni kemunculan yang sakral dalam dunia profan masih dapat terjadi di tengah realitas modern.

Era digital juga telah membawa wajah baru dalam praktik ziarah. Situs-situs makam wali kini tidak hanya dikenal secara lokal, tetapi juga dipromosikan melalui media sosial dan platform daring. Peningkatan fasilitas dan promosi digital terbukti mampu menarik pengunjung dari luar daerah.

Generasi muda yang tumbuh dalam budaya internet memanfaatkan informasi daring untuk merencanakan kunjungan ziarah, dan tak jarang membagikan pengalaman spiritual mereka di platform seperti Instagram atau YouTube. Di sinilah sakralitas dan profanitas tidak lagi terpisah secara mutlak, melainkan saling bertaut di ruang digital.

Tantangan utama dari berkembangnya ziarah di ruang publik adalah menjaga kesakralan tempat di tengah tingginya aktivitas profan. Studi kasus di Makam Gus Dur, Jombang, menunjukkan bagaimana lonjakan jumlah peziarah menyebabkan gangguan pada ketenangan santri pondok karena akses dan ruang banyak diambil oleh rombongan wisatawan. Kemacetan, kepadatan pengunjung, dan banyaknya pedagang kaki lima turut melunturkan suasana religius.

Untuk merespons hal ini, pemerintah setempat mengambil langkah zonasi dengan menyediakan lahan tambahan agar area spiritual dan komersial dapat dipisahkan. Upaya ini menunjukkan pentingnya tata kelola yang sensitif terhadap nilai sakral, agar ziarah tetap menjadi praktik religius yang khidmat meski terbuka untuk masyarakat luas.

Fenomena peziarahan di Indonesia saat ini menunjukkan pertemuan antara dimensi sakral dan profan, seiring dengan pengaruh budaya populer dan kemajuan teknologi. Dalam konteks ini, teori sakral, profane dari Mircea Eliade memberikan kerangka yang relevan untuk memahami bagaimana praktik keagamaan mengalami transformasi makna di tengah perubahan sosial.

Sakralitas yang dahulu dipraktikkan secara khusyuk kini sering kali bersanding dengan aktivitas komersial dan hiburan, yang bisa mengaburkan nilai spiritualnya.

Namun demikian, perubahan ini tidak serta-merta menghapus esensi religius dari ziarah. Justru dalam ruang-ruang profan, pengalaman sakral tetap dapat dihadirkan melalui kesadaran batin dan refleksi pribadi. Tantangan ke depan adalah menjaga agar nilai-nilai spiritual tetap hadir dalam praktik ziarah, meskipun dibalut oleh dinamika zaman dan tren kekinian.

Baca juga: Obat vs Takdir: Apakah Manusia Bisa ‘Mencuri’ Kuasa Tuhan dalam Penyembuhan?

Melihat dinamika ziarah masa kini, penting bagi kita untuk tidak hanya memaknainya sebagai ritual tradisional semata, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan antara yang Ilahi dan yang duniawi. Dalam menghadapi arus modernisasi dan budaya populer, sudah seharusnya praktik keagamaan seperti ziarah tidak kehilangan arah spiritualnya.

Harapannya, masyarakat khususnya generasi muda mampu menggali kembali makna terdalam dari setiap perjalanan ziarah, bukan sekadar sebagai wisata religi, tetapi sebagai proses pencarian jati diri dan penguatan hubungan dengan Yang Transenden. Dengan kesadaran ini, ziarah dapat terus menjadi bagian penting dari kehidupan spiritual yang hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.

Penulis: Upi Zahra, Dosen serta Lili Rahmawati, Khuriyah Nur Aini, Syafa Wafi Salsabila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *