Analisis Model Komunikasi Lasswell dalam Implementasi Vaksinasi COVID-19 di Kecamatan Meukek

Komunikasi Lasswell

Milenianews.com, Mata Akademisi – Teori komunikasi Harold Lasswell, yang dirumuskan melalui pertanyaan sederhana namun mendalam Who says what in which channel to whom with what effect tetap menjadi alat analisis yang relevan untuk memahami proses komunikasi kebijakan publik, khususnya dalam situasi krisis seperti pandemi COVID-19. Analisis dengan pendekatan Lasswell terhadap kasus ini tidak hanya memetakan elemen-elemen komunikasi secara sistematis, tetapi juga mengungkap titik-titik kritis di mana komunikasi tersebut menemui tantangan, sekaligus menawarkan wawasan tentang kompleksitas komunikasi pemerintah di tengah masyarakat yang resistan.

Dalam model Lasswell, komunikator adalah entitas yang memulai dan menyampaikan pesan. Studi kasus ini mengidentifikasi pemerintah Kecamatan Meukek, Camat, dan Keuchik (kepala desa) sebagai komunikator utama. Mereka bertindak sebagai perpanjangan tangan negara yang memiliki legitimasi formal berdasarkan Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020. Kehadiran mereka di lapangan, turun langsung ke gampong-gampong, menunjukkan upaya untuk menggunakan otoritas sekaligus pendekatan personal. Namun, analisis ini juga menyoroti kerentanan komunikator tunggal. Meskipun pemerintah desa dan Puskesmas terlibat, gelombang hoax dan keraguan masyarakat mengindikasikan bahwa kredibilitas komunikator formal sedang diuji. Kepercayaan masyarakat terganggu oleh informasi kontra yang beredar luas, menunjukkan bahwa dalam konteks Meukek, otoritas formal saja tidak cukup; komunikator perlu membangun kepercayaan yang lebih dalam di tengah arus informasi yang simpang siur.

Baca juga: Pengkaderan Dai dan Daiyah Penghafal Al-Qur’an: Analisis Model Pesantren Maskanul Huffadz dalam Perspektif Tahapan Dakwah Hasan al-Banna

Pesan yang disampaikan komunikator berfokus pada edukasi tentang pentingnya vaksinasi, penjelasan manfaat vaksin, dan himbauan untuk patuh. Pesan ini dirancang rasional dan berbasis kesehatan publik. Namun, teori Lasswell mengajak kita melihat bahwa efektivitas sebuah pesan tidak hanya bergantung pada isinya, tetapi juga pada konteks penerimaannya. Di Meukek, pesan resmi pemerintah harus bersaung dengan “pesan” lain yang sangat kuat dari media sosial dan komunitas, yaitu berita hoax tentang kehalalan, keamanan, dan efek samping vaksin. Pertarungan ini bukan sekadar pertarungan informasi, melainkan pertarungan narasi dan kepercayaan. Pesan pemerintah yang bersifat top-down dan teknis kalah dinamis dibandingkan narasi hoax yang seringkali emosional, sederhana, dan menyentuh keyakinan lokal (seperti keraguan akan keberadaan COVID-19 itu sendiri).

Studi kasus ini menunjukkan penggunaan saluran komunikasi yang beragam: pengeras suara (toa masjid), media cetak (spanduk), dan turun langsung ke lapangan. Saluran-saluran tradisional dan tatap muka ini dipilih karena dinilai tepat untuk menjangkau masyarakat dengan karakteristik seperti di Meukek. Namun, analisis Lasswell menyoroti bahwa pemilihan saluran ini juga menciptakan kesenjangan. Masyarakat di daerah terpencil atau yang tidak terjangkau oleh sosialisasi langsung menjadi terputus dari pesan resmi. Sementara itu, saluran media digital, yang justru menjadi sumber utama hoax, tidak secara efektif dijadikan alat counter-narasi oleh pemerintah daerah. Akun media sosial Dinas Kesehatan setempat, misalnya, tidak disebutkan sebagai saluran yang aktif digunakan. Dengan demikian, terjadi ketidakseimbangan: saluran tradisional terbatas jangkauannya, sedangkan saluran digital yang menjangkau luas justru dikuasai oleh informasi negatif.

Komunikan dalam kebijakan ini adalah seluruh masyarakat Kecamatan Meukek berusia 12-65 tahun. Model Lasswell mengingatkan bahwa komunikan bukanlah entitas yang pasif dan seragam. Penelitian dengan jelas mengungkap heterogenitas respons komunikan: ada yang antusias, ada yang ragu-ragu karena takut efek samping, dan ada yang menolak karena pengaruh hoax atau ketidakpercayaan mendasar. Kelompok penolak dan ragu-ragu ini merupakan “komunikan yang bermasalah” dalam perspektif pencapaian target vaksinasi. Mereka adalah bukti bahwa proses komunikasi tidak linier, pesan yang sama dapat ditafsirkan sangat berbeda berdasarkan pengetahuan awal, keyakinan, dan paparan media masing-masing individu. Pendekatan massal tanpa segmentasi yang detail terhadap komunikan menjadi salah satu kelemahan yang teridentifikasi.

Efek yang diharapkan sebagaimana tujuan kebijakan adalah meningkatnya cakupan vaksinasi dan turunnya penyebaran COVID-19. Penelitian menunjukkan ada peningkatan partisipasi dari 17 orang menjadi ratusan orang, yang mengindikasikan efek komunikasi yang positif. Namun, efek sebenarnya lebih kompleks. Di satu sisi, ada efek kognitif berupa bertambahnya pengetahuan sebagian masyarakat. Di sisi lain, efek afektif (perubahan sikap) dan efek konatif (tindakan) belum sepenuhnya tercapai, terlihat dari masih adanya penolakan dan rendahnya partisipasi secara umum. Efek lain yang penting adalah munculnya ruang dialog terbatas, di mana masyarakat mulai menyampaikan keluh kesahnya. Ini adalah efek samping yang positif, meski kecil, dari interaksi tatap muka. Namun, efek negatifnya adalah menguatnya polarisasi antara yang percaya pemerintah dan yang percaya hoax, serta kelelahan dan beban kerja berlebih pada petugas vaksin sebagai ujung tombak komunikasi.

Baca juga: Dakwah di Era Hoaks: Belajar dari Gagasan Rasional Harun Nasution

Analisis dengan model Lasswell terhadap studi kasus Meukek mengkonfirmasi utilitas teori ini sebagai peta jalan yang jelas untuk mendekomposisi proses komunikasi kebijakan. Kelima elemen berhasil diidentifikasi dan dianalisis. Namun, studi ini juga secara implisit menunjukkan keterbatasan model linier Lasswell. Komunikasi di Meukek bukanlah proses satu arah yang mulus dari pemerintah ke masyarakat. Ia adalah proses dua arah yang tersumbat, di mana umpan balik (feedback) dari masyarakat berupa penolakan, keraguan, dan penyebaran hoax justru menjadi faktor penentu yang mengganggu seluruh alur komunikasi.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan, komunikasi tidak bisa hanya memenuhi kelima pertanyaan Lasswell secara prosedural. Ia harus berkembang menjadi model yang lebih sirkular dan adaptif. Pemerintah perlu secara aktif menjadikan “efek” (seperti penolakan dan hoax) sebagai masukan untuk merevisi “pesan”, memilih “saluran” yang lebih tepat sasaran (misalnya melibatkan influencer lokal atau ulama), dan memahami “komunikan” dengan lebih mendalam melalui pendekatan komunitas. Dengan kata lain, teori Lasswell memberikan diagnosa yang baik, tetapi resep penyembuhannya memerlukan pendekatan komunikasi yang lebih partisipatif, responsif, dan berangkat dari pemahaman mendalam terhadap medan sosial-budaya tempat komunikasi itu berlangsung.

Penulis: Mida Hamidah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *