Al-Qur’an sebagai Fondasi Pemikiran Kritis di Era Informasi Cepat

Berpikir Kritis Qur’ani

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era ketika informasi beredar begitu cepat dan hampir semua orang bebas berpendapat di ruang digital, kemampuan berpikir kritis menjadi keterampilan yang amat penting. Begitu banyak masyarakat yang mudah percaya pada potongan berita, video pendek, dan komentar sepihak tanpa melakukan verifikasi. Fenomena ini menggambarkan rendahnya kemampuan tabayyun dalam membaca informasi. Padahal jauh sebelum istilah critical thinking populer dalam dunia akademik, Al-Qur’an telah menanamkan ajaran berpikir kritis sebagai prinsip dasar beragama dan berkehidupan.

Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berpikir, merenungkan, serta menimbang realitas hidup dengan nalar yang tajam. Kata-kata seperti ya’qilun (berakal), yatafakkarun (berpikir), hingga yatadabbarun (mentadabburi ayat) menjadi penanda bahwa Islam tidak membangun keimanan yang pasif, tetapi mendorong umatnya untuk memahami kebenaran secara sadar. QS. Al-Baqarah: 219 menegaskan: “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir.” Ayat ini menunjukkan bahwa setiap hukum, nilai, dan pengetahuan dalam wahyu mengandung pesan rasionalitas.

Sikap ilmiah dalam berpikir kritis juga tercermin dalam QS. Al-Isra: 36: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu tanpa ilmu.” Ayat ini beresonansi kuat dengan realitas saat ini: dunia digital penuh hoaks, manipulasi data, hingga propaganda yang dikemas sebagai kabar kebenaran. Melalui ayat ini, Al-Qur’an menetapkan panduan etis dan intelektual bahwa manusia harus bersandar pada ilmu, bukan sekadar perasaan atau sugesti publik.

Prinsip tabayyun pun menjadi pilar utama dalam berpikir kritis Qur’ani. QS. Al-Hujurat: 6 memerintahkan kaum beriman untuk memeriksa informasi dari sumber yang tidak terpercaya sebelum diyakini atau disebarkan. Pesan ini sangat relevan, terutama ketika media sosial memfasilitasi penyebaran kabar tanpa filter. Jika prinsip tabayyun diabaikan, informasi dapat melahirkan fitnah, konflik, dan kesalahpahaman sosial.

Al-Qur’an juga menunjukkan praktik berlogika melalui kisah para nabi. Salah satu contoh paling jelas terdapat dalam dialog Nabi Ibrahim dengan kaumnya. Dengan pendekatan rasional bertahap, beliau mempertanyakan penyembahan terhadap benda-benda langit. Proses ini menegaskan bahwa bertanya bukanlah bentuk keraguan terhadap Tuhan, tetapi langkah ilmiah untuk menemukan kebenaran.

Baca juga: Menjadikan Al-Qur’an sebagai Sumber Mata Pencaharian: Nasaruddin Umar (Menag), “Guru itu tujuannya mulia, bukan cari uang”

Tradisi berpikir kritis kemudian berkembang luas dalam sejarah intelektual Islam. Para mufasir membangun metodologi kajian ayat menggunakan pendekatan linguistik, sejarah turunnya ayat, hingga analisis antar-ayat. Tokoh seperti Al-Fakhr Ar-Razi, Ibn Khaldun, dan Al-Ghazali mengkritisi pandangan-pandangan yang dianggap tidak rasional. Mereka menunjukkan bahwa Islam tidak anti-ilmu; sebaliknya, Islam merawat proses intelektual yang mendalam.

Dalam konteks kehidupan mahasiswa, nilai berpikir kritis Qur’ani memegang peran sangat nyata. Saat menyusun tugas akademik, mahasiswa dituntut untuk membangun argumen melalui sumber kredibel dan analisis mandiri, bukan sekadar menyalin informasi digital. Dalam ruang diskusi, pendapat harus lahir dari data, teori ilmiah, atau rujukan ayat, bukan dari emosi sesaat.

Berpikir kritis menurut Al-Qur’an juga menuntut kerendahan hati intelektual. QS. Az-Zumar: 9 menegaskan bahwa orang yang mengetahui tidak sama dengan orang yang tidak mengetahui. Artinya, berpikir kritis tidak membuat seseorang merasa paling benar; justru mengajak manusia untuk terus belajar, membuka diri terhadap sudut pandang lain, dan memperbaiki kesalahan nalar.

Pada akhirnya, Al-Qur’an menempatkan iman dan nalar sebagai dua unsur yang saling menguatkan. Wahyu memandu manusia untuk menalar, dan nalar membantu manusia memahami wahyu. Ketika generasi muda menginternalisasi nilai berpikir kritis Qur’ani, mereka tidak hanya menjadi pembaca informasi, tetapi pengolah makna yang matang.

Melalui prinsip tabayyun, rasionalitas, dan dialog intelektual, Al-Qur’an memberi fondasi kokoh untuk membangun masyarakat yang ilmiah, etis, dan bijaksana. Di tengah derasnya arus informasi digital, kembali kepada nilai berpikir Qur’ani bukan hanya penting untuk umat Islam, melainkan relevan bagi peradaban manusia secara universal. Dengan iman dan nalar yang terintegrasi, generasi hari ini mampu menebar manfaat dan memajukan kehidupan sosial maupun akademik.

Penulis: Anisyah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *