Mata Akademisi, Milenianews.comย – Mazhab Ciputat, sebuah istilah yang lahir dari dinamika intelektual di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bukanlah mazhab dalam arti teologis maupun aliran keagamaan. Ia lebih tepat disebut sebagai gerakan pembaruan pemikiran keislaman yang berakar dari tradisi akademik Muslim, dan erat kaitannya dengan eksistensi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di masa lalu.
Dua nama besar yang tak bisa dilepaskan dari lahirnya arus pemikiran ini adalah Harun Nasution dan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Keduanya menghadirkan wajah Islam yang moderat, rasional, dan progresif. Harun memperkenalkan filsafat dan teologi rasional, sementara Cak Nur mendorong keterbukaan, pluralisme, dan pembaruan Islam agar tetap relevan dengan zaman.
Rasionalisme dan Pluralisme sebagai Fondasi
Harun Nasution, sebagai rektor IAIN Jakarta (1973โ1984), berani menggugat kebekuan berpikir umat Islam. Ia menghidupkan kembali semangat rasionalisme Muโtazilah dengan menekankan pentingnya berpikir kritis dalam memahami teks-teks agama. Baginya, Islam harus dipahami secara objektif, historis, dan filosofis.
Di sisi lain, Cak Nur membawa gagasan pluralisme dan pembaruan yang mengguncang status quo. Slogan terkenalnya, โIslam Yes, Partai Islam Noโ, menjadi simbol keberanian menolak politisasi agama. Melalui konsep-konsepnya, Cak Nur menekankan bahwa Islam harus hadir sebagai nilai yang menyapa kemanusiaan universal, bukan sekadar alat kekuasaan politik.
Baca juga:ย Gelar Gus dan Ning: Kontribusi Nyata atau Legalitas Semata?
Reinterpretasi Teks dan Semangat Pembaruan
Salah satu ciri utama Mazhab Ciputat adalah reinterpretasi teks keagamaan. Para intelektualnya menilai bahwa pemahaman literal atas al-Qurโan dan hadis seringkali membatasi kemajuan. Karena itu, tafsir ulang diperlukan agar Islam tetap kontekstual dan menjawab tantangan zaman.
Pembaruan ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang asing. Dalam sejarah Islam, reformasi muncul berulang kali sebagai respons terhadap kemunduran peradaban, baik karena faktor internal maupun eksternal. Di Indonesia, semangat serupa dibawa para ulama yang pulang dari Mekkah serta melalui publikasi majalah-majalah Timur Tengah. Dari situlah pemikiran kritis berkembang, hingga kemudian menguat dalam wacana akademik di Ciputat.
Kritik, Resistensi, dan Label โLiberalโ
Namun, setiap pembaruan tak lepas dari resistensi. Sejak era 1980-an, kampus IAIN Jakarta kerap dicap sebagai sarang โIslam Liberalโ. Bahkan muncul plesetan: IAIN = Ingkar Allah Ingkar Nabi. Banyak orang tua ragu menyekolahkan anaknya ke sana karena stigma tersebut.
Pandangan Harun Nasution tentang al-Qurโan yang lebih menekankan aspek rasionalโmisalnya bahwa mushaf hanyalah medium fisik, bukan wahyu itu sendiriโmenjadi pemicu kontroversi. Bagi sebagian kalangan, ini dianggap berbahaya karena berpotensi mengurangi kesakralan kitab suci. Tak heran, ide-ide Mazhab Ciputat sering dianggap bertolak belakang dengan arus besar masyarakat Muslim Indonesia yang cenderung berpegang pada tradisi Asyโariyah.
Meredupnya Mazhab Ciputat
Seiring waktu, pengaruh Mazhab Ciputat kian memudar. Wafatnya Cak Nur pada 2005 menjadi titik balik yang mempercepat redupnya gerakan ini. Ditambah lagi, HMI sebagai salah satu motor intelektualnya semakin terpinggirkan dari kampus akibat kebijakan pembatasan organisasi eksternal.
Kini, ruang yang dulunya diisi oleh wacana progresif digantikan oleh kelompok Islam konservatif. Di tengah arus globalisasi dan meningkatnya konservatisme keagamaan, pertanyaan pun muncul: masihkah Mazhab Ciputat punya peluang untuk kembali menyelimuti ideologi masyarakat Indonesia?
Refleksi: Peluang atau Nostalgia?
Secara realistis, peluang itu tampak kecil. Tidak banyak penerus yang mampu melanjutkan keberanian intelektual ala Harun Nasution dan Cak Nur. Selain itu, kultur mayoritas masyarakat Indonesia yang condong ke teologi Asyโariyah juga membuat ide-ide rasionalisme ala Ciputat sulit diterima secara luas.
Namun, warisan Mazhab Ciputat tetap hidup sebagai catatan penting dalam sejarah intelektual Islam di Indonesia. Ia mengajarkan bahwa Islam bisa hadir secara rasional, terbuka, dan dialogis. Pertanyaannya, apakah generasi intelektual Muslim hari ini berani melanjutkan estafet pemikiran ituโatau membiarkannya tinggal sebagai nostalgia dalam catatan sejarah Ciputat?
Penulis: Mulfi Aulia, Elva Rezqi, Syahfrida Lestari
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtubeย Milenianews.