Milenianews.com, Mata Akademisi – Kecerdasan buatan (Artificial InteAI) kini semakin akrab dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang menggunakannya untuk mencari informasi, mengerjakan tugas, bahkan bertanya tentang urusan fikih, ibadah, dan berbagai persoalan agama. Alasannya jelas: AI cepat, praktis, dan dapat diakses kapan saja. Kebiasaan baru pun muncul, ketika bingung, cukup membuka aplikasi dan mengetik pertanyaan. Dari fenomena inilah lahir sebuah pertanyaan besar yang sering dibahas: apakah AI layak dianggap sebagai semacam “mufti digital” yang pendapatnya bisa dipercaya?
Pertanyaan ini bukan sekadar soal teknologi. Ia menyentuh persoalan yang jauh lebih dalam, yaitu tentang siapa yang berhak memberi fatwa dan bagaimana umat memahami otoritas keagamaan.
Untuk melihat persoalan ini dengan lebih jelas, kita dapat meminjam kacamata filsafat ilmu. Sepanjang sejarah, ilmu pengetahuan selalu berdiri di atas fondasi yang kuat. Aristoteles menekankan bahwa pengetahuan harus dibangun melalui logika dan pengamatan. Pada era modern, Bacon dan Descartes memperkenalkan metode ilmiah yang sistematis dengan mengandalkan eksperimen, data, dan proses berpikir yang teratur. Sementara itu, Thomas Kuhn melihat bahwa perkembangan ilmu dipengaruhi oleh perubahan paradigma, yakni cara pandang masyarakat yang bergeser dari waktu ke waktu.
Baca juga: Mencari Hakikat Kebenaran di Era Viralnya Informasi
Hal ini menunjukkan bahwa ilmu bukan sesuatu yang statis. Ia berkembang bersama manusia, dipengaruhi oleh budaya, situasi, bahkan teknologi.
Ketika dibandingkan dengan AI, terlihat bahwa kecanggihan teknologi ini memang luar biasa. AI mampu membaca pola dari jutaan data, menjawab pertanyaan dengan cepat, dan menampilkan jawaban seolah-olah ia benar-benar memahami topiknya. Namun pada kenyataannya, AI tidak “mengerti”. Ia hanya mengolah pola data, bukan memiliki kesadaran atau intuisi. AI tidak memiliki pengalaman hidup, tidak memiliki nilai moral, dan tidak mampu merasakan kondisi sosial masyarakat—sesuatu yang sangat penting dalam penetapan fatwa.
AI juga tidak mampu memahami maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu tujuan luhur di balik hukum-hukum agama. Oleh karena itu, meskipun AI dapat membantu memberikan gambaran awal, ia tidak dapat menggantikan peran ulama yang memiliki ilmu, pengalaman, dan kebijaksanaan.
Persoalan ini sering disalahpahami karena orang terlalu fokus pada kemampuan AI dalam menjawab pertanyaan. Padahal, kemampuan memilih, menilai, dan mempertimbangkan jawaban tetap berada pada manusia. AI hanyalah alat; ia bukan guru yang pasti benar. Di sinilah letak tantangan kita. Kita sering menginginkan jawaban yang cepat, tetapi melupakan proses berpikir yang mendalam.
Dalam konteks agama, pemahaman tidak cukup hanya dengan memperoleh jawaban, melainkan juga harus memahami alasan, konteks, dan hikmah di baliknya.
Di sisi lain, muncul pertanyaan yang tidak kalah penting: apakah teknologi seperti AI membuat manusia lebih pintar atau justru lebih bergantung? Banyak orang merasa terbantu karena AI mampu memberikan ringkasan, penjelasan, bahkan contoh yang mudah dipahami. Namun, jika semua hal langsung ditanyakan kepada AI tanpa usaha membaca, menganalisis, atau berdiskusi dengan guru, kemampuan berpikir kritis dapat melemah.
Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan. AI sebaiknya digunakan sebagai langkah awal, bukan sebagai sumber utama. Jawabannya tetap perlu diverifikasi dengan membaca referensi, menelaah sumber asli, dan berkonsultasi dengan pihak yang lebih ahli.
Dalam konteks Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), pembahasan ini menjadi sangat relevan. Mahasiswa KPI mempelajari bagaimana pesan disampaikan kepada masyarakat dan bagaimana dampaknya. Di era digital, dakwah tidak lagi terbatas pada mimbar, tetapi juga melalui media sosial, podcast, video pendek, hingga chatbot berbasis AI. Teknologi membuka peluang besar karena dakwah dapat menjangkau lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat. Generasi muda yang akrab dengan internet cenderung lebih mudah menerima pesan dakwah jika disampaikan melalui media yang mereka gunakan sehari-hari.
Namun, peluang besar ini juga diiringi tantangan yang tidak kecil. AI dapat keliru dalam menyajikan informasi keagamaan. Jika mahasiswa KPI hanya mengandalkan AI lalu menyebarkannya tanpa verifikasi, dakwah justru berpotensi salah arah. Oleh karena itu, literasi digital menjadi keterampilan yang sangat penting. Mahasiswa KPI harus mampu menilai akurasi informasi, memahami etika penyampaian pesan di media, serta memastikan bahwa konten keagamaan memiliki landasan ilmiah dan keagamaan yang kuat.
Menurut Gus Nadir, umat Islam, khususnya santri, tidak boleh takut atau bersikap anti terhadap teknologi. Teknologi justru harus dimanfaatkan untuk memperluas wawasan dan mempercepat proses belajar. Namun, beliau juga menegaskan bahwa AI tidak dapat menjadi sumber fatwa yang berdiri sendiri. Fatwa merupakan hasil dari pemahaman mendalam, pengalaman panjang, pertimbangan sosial, serta intuisi keagamaan. Semua unsur tersebut tidak dimiliki oleh AI. Oleh sebab itu, peran ulama tetap tidak tergantikan. AI dapat membantu, tetapi tidak bisa berada di posisi utama.
Agar penggunaan AI tetap bijak, ada beberapa prinsip yang perlu dipegang. Pertama, gunakan AI sebagai alat untuk memperoleh gambaran awal, bukan sebagai keputusan akhir. Kedua, selalu verifikasi jawaban AI dengan sumber asli, seperti kitab, jurnal, atau guru yang kompeten. Ketiga, terus latih kemampuan berpikir kritis dan jangan menerima jawaban begitu saja. Dengan cara ini, AI benar-benar menjadi alat bantu yang memperkuat proses belajar, bukan melemahkan kemampuan diri.
Selain itu, berbagai kajian menekankan bahwa penggunaan AI dalam konteks agama harus tetap berada dalam koridor maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu menjunjung kemaslahatan, menghindari kerusakan, dan menjaga nilai-nilai agama. Artinya, teknologi boleh berkembang sejauh tetap selaras dengan nilai yang dijaga oleh ulama dan tradisi keilmuan Islam.
Pada akhirnya, perkembangan AI justru mengingatkan kita bahwa kecerdasan tidak hanya soal kecepatan memproses data, tetapi juga kedalaman dalam memahami makna. AI mampu memberikan jawaban, tetapi tidak mampu merasakan kegelisahan manusia ketika mencari petunjuk hidup. Ia dapat menyusun kalimat, tetapi tidak mampu menangkap hikmah yang tersembunyi di balik teks-teks agama.
Baca juga: Hidup di Dunia yang Serba Cepat
Dari sudut pandang filsafat ilmu, AI adalah mahakarya teknologi, tetapi bukan sumber kebenaran. Dari sisi komunikasi, ia memperluas jangkauan dakwah, tetapi tetap membutuhkan manusia untuk menjaga etika dan ketepatan makna. Dari perspektif agama, ulama tetap tak tergantikan karena mereka tidak hanya menyampaikan hukum, tetapi juga membawa warisan kebijaksanaan yang terbentuk dari pengalaman, kedalaman ruhani, dan intuisi yang tidak bisa diprogram dalam sebuah mesin.
Oleh karena itu, AI harus ditempatkan pada posisi yang proporsional, yakni sebagai alat bantu yang mencerahkan, bukan otoritas yang menggantikan. Kita memerlukan keberanian untuk memanfaatkan teknologi, sekaligus kebijaksanaan untuk tidak menyerahkan seluruh pemahaman kepada sesuatu yang tidak memiliki hati. Ketika manusia dan teknologi berjalan berdampingan, dengan manusia tetap memegang kendali arah dan nilai—dakwah tidak hanya menjadi lebih cepat dan luas, tetapi juga lebih bermakna. Inilah inti perjalanan kita di era digital: memanfaatkan kecanggihan mesin tanpa melepaskan kemuliaan akal dan nurani, sehingga ilmu tidak hanya berkembang, tetapi juga memberi manfaat yang mendalam bagi umat.
Penulis: Hajra Multasyah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







