Adab dan Akhlak: Kepribadian Penerus Umat

Muhammad Faqih, Mahasiswa STEI SEBI. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Mata Akademisi– Seorang manusia seyoyganya harus mengedepankan perilaku budi pekerti di  setiap moment kehidupannya didunia ini  Adab dan akhlak merupakan dua bagian berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan oleh semua khalayak manusia. Bagi seorang Muslim,  adab dan akhlak merupakan komponen terpenting dalam peradaban Islam. Betapa rugi kemudian terhina bagi seorang Muslim apabila tidak memiliki nilai norma-norma kehidupan budi pekerti di  dalam hiruk pikuk kehidupannya. Karena selain “bermuamalah dengan Allah SWT dengan baik, seorang Muslim harus bermuamalah dengan sesamanya dengan baik juga”.

Berkomunikasi baik dengan Allah SWT  dan manusia merupakan ciri khas pribadi seorang Muslim yang taat. Maka tidak heran pendidikan adab dan akhlak satu entitas yang wajib diberikan seorang ibu kepada anak-anaknya di  rumah. Ibu juga merupakan sekolah pertama dan selamanya bagi seorang anak, terutama seorang anak laki-laki Muslim. Anak perempuan Muslim pun demikian sama untuk dituntut berpendidikan akhlak dan adab dari balita hingga ia dipinang oleh seorang Muslim yang telah mendapatkan restu dari kedua orang tuanya.

Pertanggung jawaban orang tua kepada anaknya sangatlah besar, bahkan Allah SWT  telah memberikan rambu-rambu pada ayat Al Quran Surat At-Tahrim ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.”

Rambu ayat di  atas bertujuan untuk memperingatkan setiap individual hamba Allah SWT khususnya para orang tua, yang di  pundaknya memikul tanggung jawab untuk mendidik, mengajarkan, mengedukasi setiap lembar pelajaran kehidupan dunia maupun akhirat. Ancaman yang diberikan Allah SWT kepada orang tua ini bukan hal yang main-main, melainkan langsung nerakalah jaminan bagi orang tua yang tidak mendidik betul para anak-anaknya.

Kemudian, terlepas dari peran orang tua dalam mendidik dan mengawal pendidikan akhlak dan adab anak-anaknya, ada peran lingkungan rumah yang bersandingan langsung dari proses pembentukan karakter anak ketika berada di rumah. Peran orang tua diperlukan juga dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya ketika bermain di perantara lingkungan sekitar. Banyak kasus terjadinya salah pergaulan akibat lalainya orang tua dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya.

Melihat perbuatan anak remaja di sekitar lingkungan kita yang semakin hari semakin menurun kualitasnya, seharusnya cukup membuat kita para orang tua khawatir akan kelanjutan kualitas penerus kita di kemudian hari. Fenomena anak zaman sekarang lebih takut tidak dihargai oleh teman-temannya dari pada orang tuanya. Ini masalah yang harus sesegera mungkin dicarikan solusinya agar tidak bertambah parah, kemudian menghasilkan perbuatan yang melampaui batas.

Anas bin malik R.A meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ

“ Bahwa sesungguhnya setiap ajaran agama itu ada akhlaknya, dan akhlak seorang Muslim adalah mempunyai rasa malu.”

Dari hadist di  atas disebutkan bahwasanya “malu” merupakan hal yang sangat wajib dimiliki oleh setiap individual umat Rasulullah SAW. Sesungguhnya malu merupakan bagian daripada keimanan seseorang kepada tuhannya. Peristiwa yang terjadi di  khayalak masyarakat Muslim, banyaknya menormalisasikan perbuatan yang pada dasarnya merupakan hal yang tercela dijadikan rahasia umum. Akibatnya, banyak  perbuatan tercela yang berdampak negatif pada remaja-remaja putra maupun putri Indonesia.

Para tokoh besar republik ini banyak yang meninggalkan kultur akhlak dan adab, salah satunya K.H Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Semasa hidupnya beliau sangat mengedepankan kesederhanaan adab dan akhlak dalam setiap tindakannya dalam bermasyarakat. Bahkan beliau terkenal dalam kejujuran dan sikap rendah hati yang beliau selalu terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Para remaja putra dan putri bisa mengambil contoh dari perilaku Buya Hamka dalam kehidupan sehari-harinya.

Tentu saja mengambil contoh dari seorang tokoh sekaliber Buya Hamka sangatlah susah untuk ditirukan seluruhnya, tetapi paling tidak ada beberapa aspek yang harus dimiliki oleh seorang remaja, agar senantiasa terjaga dari pergaulan negatif yang dapat merugikan dirinya serta keluarganya. Ada banyak peristiwa dari kurangnya pendidikan akhlak dan adab yang seharusnya dimulai dari rumah, banyaknya kasus pembulyan di lingkungan sekolah juga merupakan dampak nyata dari kurangnya dedikasi orang tua terhadap anaknya, maupun lingkungan rumahnya.

Tentu saja seorang guru harus menanggung akibat dari kelalaian   kita dalam menekuni pengawasan kepada anak-anak kita di  dalam maupun di  lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Tidak sedikit dari guru yang menerima ujaran kekecewaan dari orang tua siswa akibat ulah daripada anak-anak kita. Betapa tidak teganya melihat seorang guru, yang hanya menjalankan amanahnya ketika di  sekolah, lalu yang dinaungi tidak hanya berjumlah satu, dua, tiga anak. Kemudian ketika salah satu dari mereka berbuat salah, hanya guru yang bertanggung jawab.

Tanggung jawab besar dimiliki oleh orang tua. Tetapi yang paling besar ialah diri kita sendiri sebagai seorang Muslim. Mayoritas orang tua diyakini sudah mendidik dan mengarahkan sekuat dan semaksimal mereka agar buah hatinya memiliki nilai moral pada kehidupannya. Selanjutnya adalah tugas kita sebagai sang buah hati untuk melaksanakan apa yang sudah orang tua kita ajarkan.

Sebagai seorang anak tidak pantaslah kita untuk mengecewakan kedua orang tua kita. Berusahalan semaksimal diri kita untuk memberikan semua yang terbaik dari segala potensi  diri kita. Terutama potensi adab dan akhlak kita yang paling mudah dilakukan tetapi sering terlupakan.

Bagaimana cara kita bisa beradab dan berakhlak mulia?

  1. Malu

Cara mudah untuk kita dapat mengaplikasikan diri kita untuk menjadi seorang Muslim yang selain taat beragama tetapi mempunyai adab dan akhlak terpuji, yaitu dengan menanamkan rasa “malu” didiri kita disertai oleh perbuatan yang seimbang. Jika hanya mengedepankan rasa malu tetapi tidak diseimbangkan dengan diri kita,  maka hasilnya akan sama saja. Malu bergandengan dengan eksekusi, eksekusi sifat dan sikap kita agar sifat malu dapat terus menahan kita dari perbuatan yang kurang adab dan akhlak. Ketika seorang muslim mengedepankan rasa malu, maka di  kala mau melakukan perbuatan yang kurang terpuji kita dapat dengan cepat berhenti dan terhindar dari perilaku tersebut.

Cara gampang untuk pengaplikasian rasa malu pada diri kita ialah, berawal dari potensi diri kita untuk memilah mana yang baik, pantas, ataupun buruk ketika mengerjakannya. Misalnya, ketika kita berpapasan dengan orang yang lebih tua di  atas kita maka diharuskan untuk kita menunduk ataupun bersalam sapa dengan saling berbalas senyuman. Perilaku ini sangat perlukan dalam hubungan bermasyarakat, malu menjadi dasar terlaksanakan perilaku salam sapa ini. Ketika malu sudah kita jadikan sebagai prinsip diri kita maka secara natural, kita akan menyalami ataupun menyapa langsung tanpa berfirkir panjang.

“Sesungguhnya malu merupakan sebagian daripada iman”. Sebuah hadits  yang penuh makna akan rasa malu yang harus setiap individu  Muslim mampu melakukannya. Rasa malu itu sifat dan merupakan hal yang dapat membentuk karakter kita menjadi baik. Para ulama  berpendapat mengenai malu “ketika seseorang mempunyai hati yang hidup, maka di  situlah ia mempunyai rasa malu, menunjukkan bahwa dirinya memiliki rasa malu. Sedangkan jika hatinya tidak hidup maka malu pun tidak akan dimilikinya”. Maka untuk itu malu haruslah kita junjung tinggi untuk dapat mempunyai serta melaksanakannya. Agar hati kita dapat hidup dan dapat memudahkan guna berkomunikasi bermasyarakat.

  1. Takut

Takut menjadi salah satu cara terakhir untuk dapat menimbulkan sifat dan karakter muslim yang beradab dan berakhlak. Kenapa harus memiliki dan menunjukkan rasa takut? Karena takut selalu berdampingan dengan malu. Mempunyai rasa malu dapat dipastikan juga mempunyai rasa takut, begitupun sebaliknya jika tidak mempunyai rasa malu, takutpun tidak akan dimilikinya. Takut di  sini bukan dalam artian takut dalam melakukan kesalahan, tetapi takut kepada tidak maksimalnya kita dalam berkomunikasi ataupun melakukan pekerjaan di  dalam masyarakat, takut ini dapat membawa dalam kehati-hatian dan telaten dalam melakukan sesuatu.

Takut bertujuan guna menjaga umat Muslim untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif di dalam lingkungan bermasyarakat. Takut menjadi beban lingkungan kita, takut menjai orang yang selalu dicari kesalahannya, takut menjadi anak yang salahkan tanpa sebab dan sebagainya Sifat takut dapat mengembangkan diri kita terhadap evaluasi-evaluasi perbuatan ini utnuk kemudian hari, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang di  luar norma sosial, maupun norma keagamaan. Bagaimana menumbuhkan rasa takut yang baik? Menumbuhkan rasa takut yang baik harus berawal dari pemindaian mana yang hak mana batil. Memisahkan antara keduanya dapat menumbuhkan rasa takut dan malu kepada diri kita.

Marilah kita menumbuhkan rasa malu dan takut dalam melakukan tindakan negatif dalam kalangan masyarakat, agar senantiasa dapat terjaga nama baik kita, keluarga, sekolah dan sebagainya. Agar dapat menjadikan kita sebagai Muslim yang taat dalam beribadah kepada-Nya. Karena dua sifat tersebut, masuk ke  dalam daftar wajib yang harus kita miliki. Hindarilah perbuatan negatif yang dapat merugikan diri pribadi maupun masyarakat secara umum. Itu dapat menjadi suatu hal yang fatal jika dilakukan oleh seorang muslim, karena jika itu terjadi ke depannya kita dapat dikenal sebagai anak yang nakal maupun kurang beradab.

Waallahu a’lam.

Penulis: Muhammad Faqih, Mahasiswa STEI SEBI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *