Mata Akademisi, Milenianews.com – Selama puluhan tahun, nama Tan Malaka hampir hilang dari buku-buku sejarah resmi Indonesia.
Sosok revolusioner ini, yang pernah dijuluki sebagian kalangan sebagai “Bapak Republik”, justru lebih banyak dikenang dalam bisikan kelas diskusi mahasiswa atau catatan para peneliti asing.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: mengapa seorang tokoh yang berjuang tanpa kompromi untuk kemerdekaan, justru disingkirkan dari narasi utama bangsa?
Baca juga: Prabowonomics versus Serakahnomics: Ketika Masa Depan Ekonomi Dipertaruhkan
Berasal dari Minang, tapi pemikirannya terlalu jauh untuk zamannya
Tan Malaka lahir sebagai Ibrahim Datuk Tan Malaka pada 1897 di Nagari Pandan Gadang, Sumatera Barat. Latar belakangnya unik: keluarga religius sekaligus bangsawan adat. Pendidikan awal di HIS dan Kweekschool Bukittinggi membawanya ke Belanda, di mana ia mulai bersentuhan dengan sosialisme dan Marxisme.
Namun, berbeda dari tokoh kiri lainnya, ia tidak menjadi pengikut buta. Ia menyesuaikan gagasan Marxisme dengan realitas Indonesia yang religius dan agraris. Dari sini lahir pandangan khas: kemerdekaan Indonesia harus 100% tanpa kompromi, bebas dari dominasi kolonial maupun intervensi asing.
Menolak dipenjara dalam kotak ideologi
Hidup dan perjuangan Tan Malaka dipenuhi kontradiksi yang membuatnya sulit dimasukkan ke kotak ideologi manapun.
1. Ia menolak Sarekat Islam karena dianggap terlalu kompromistis dengan penjajah.
2. Ia juga mengkritik PKI dan Komintern, menolak pemberontakan 1926 yang menurutnya prematur dan hanya meniru model Rusia.
Sikap ini membuatnya terasing: terlalu kiri bagi kaum nasionalis moderat, terlalu kritis bagi komunis ortodoks, terlalu radikal bagi elit politik.
Di pengasingannya, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) secara diam-diam gerakan bawah tanah yang mengusung kemerdekaan total, tanpa kompromi diplomasi maupun tunduk pada kekuatan asing.
Madilog, warisan intelektual yang lebih revolusioner daripada peluru
Di balik pelariannya yang penuh risiko, Tan Malaka melahirkan karya besar: Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Buku ini bukan hanya tentang filsafat, tapi seruan agar bangsa Indonesia meninggalkan takhayul dan cara berpikir dogmatis. Baginya, kemerdekaan sejati hanya bisa diraih dengan kesadaran kritis, rasionalitas, dan pendidikan yang membebaskan.
Warisan Madilog menegaskan bahwa revolusi bukan sekadar soal senjata, tetapi juga soal membebaskan cara berpikir rakyat dari belenggu kebodohan.
Ironinya, jadi pahlawan yang gugur justru di tangan bangsanya sendiri
Ironi terbesar dalam hidup Tan Malaka adalah kematiannya. Pada 1949, ia ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan oleh Divisi Siliwangi di Kediri, Jawa Timur. Bukan Belanda atau Jepang yang membunuhnya, melainkan bangsanya sendiri. Lokasi makamnya hingga kini masih misteri.
Setelah itu, namanya nyaris dihapus dari sejarah, terutama di masa Orde Baru ketika pemikiran kiri dianggap berbahaya. Baru pada 2007, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional sebuah pengakuan yang datang terlalu lambat.
80 tahun merdeka, kita masih terjebak masalah yang sama
Tan Malaka mengajarkan bahwa:
1. Kemerdekaan sejati tidak boleh ditukar dengan kompromi jangka pendek.
2. Perjuangan rakyat harus berpijak pada kesadaran kritis, bukan sekadar perintah elite.
3. Pendidikan adalah senjata revolusi yang paling penting.
Di tengah Indonesia modern yang masih menghadapi masalah korupsi, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, pemikiran Tan Malaka terasa segar kembali. Ia seolah mengingatkan kita: bangsa ini hanya bisa merdeka sepenuhnya bila rakyatnya berpikir merdeka.
Tahun ini Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaan sebuah usia yang tidak lagi muda bagi sebuah bangsa. Namun, peringatan ini juga membawa pertanyaan besar: apakah cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah, pikiran, dan keberanian para pendiri bangsa, termasuk Tan Malaka, sudah sungguh-sungguh terwujud?
Kenyataannya, bangsa ini masih menghadapi ketidakadilan hukum, korupsi yang merajalela, kesenjangan ekonomi, pengangguran, serta rendahnya kualitas pendidikan di sebagian wilayah.
Di sisi lain, polarisasi sosial dan politik masih sering menggerus persatuan. Fenomena ini seolah mengingatkan bahwa “merdeka” belum sepenuhnya menjadi kenyataan, melainkan masih pekerjaan rumah besar.
Di sinilah relevansi pemikiran Tan Malaka menemukan maknanya. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang harus terus diperjuangkan: menegakkan hukum tanpa pandang bulu, membangun sistem pendidikan yang membebaskan, dan memastikan kedaulatan rakyat benar-benar terjaga.
Melupakan Tan Malaka sama saja mengkhianati kemerdekaan
Tan Malaka adalah contoh nyata bagaimana sejarah ditulis oleh para pemenang. Ia terlalu kritis, terlalu independen, dan tidak bisa dijinakkan oleh kepentingan politik. Akibatnya, ia lebih sering dilupakan ketimbang dirayakan.
Baca juga: Jadi Warga Negara Indonesia Seutuhnya Bukan Sekadar Hafal Pancasila
Namun, justru dari kelupaan itulah lahir kewajiban kita: mengingat dan menggali kembali warisan pemikirannya. Tan Malaka bukan sekadar korban sejarah, melainkan cermin keberanian untuk berpikir merdeka sebuah warisan yang seharusnya tetap hidup dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Momentum HUT ke-80 RI seharusnya bukan sekadar pesta karnaval dan upacara bendera, tetapi refleksi nasional: apakah kita masih setia pada cita-cita kemerdekaan yang pernah diucapkan dan diperjuangkan dengan nyawa? Atau justru kita membiarkan kemerdekaan terkikis oleh ketidakadilan dan kepentingan sesaat?
Penulis: Lulu Qoonitah, Mahasiswi Institut Agama Islam SEBI
Profil Singkat: Mahasiswi Program Studi Akuntansi Syariah yang berdomisili di Depok. Aktif dalam berbagai organisasi kampus, di antaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Goresan Pers Mahasiswa SEBI (GPMS). Selain itu, juga berkecimpung di bidang media dan kepenulisan. Memiliki minat pada desain dan fotografi, serta gemar mendiskusikan isu-isu sosial, politik, dan sejarah. Terus berusaha mengembangkan diri melalui kegiatan menulis dan mempelajari hal-hal baru.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.