Tashkent, Kota Tua Islam yang Bangkit Lagi dari Warisan Jalur Sutra ke Wajah Modern Uzbekistan

Milenianews.com – Tashkent, tak banyak yang tahu. Tapi kalau menyebut Uzbekistan, rasanya sebagian besar penduduk Jakarta tahu itu nama sebuah negara. Kami mengisi absen di Tashkent, ibu kota negara Uzbekistan, yang berarti “kota batu” dalam bahasa Turki kuno. Nama ini merujuk pada letaknya yang berada di jalur pegunungan dan padang berbatu yang luas.

Tashkent telah menjadi kota perdagangan penting sejak Islam masuk ke Asia Tengah pada abad ke-8. Komoditas yang diperdagangkan saat itu antara lain kuda, sutra, rempah, dan karya seni. Dari jalur perdagangan ini masuklah pengaruh budaya Arab, Turki, dan Persia. Ketiga budaya ini melebur, menjadikan Tashkent kota yang kaya akan tradisi.

Baca juga: Bruges Bukan Sekadar Kota Cantik di Belgia, Tapi Mesin Waktu Abad Pertengahan

Pada abad ke-13, bangsa Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan melakukan ekspansi besar-besaran ke Asia Tengah. Hampir seluruh wilayah Uzbekistan berada di bawah kekuasaan kekaisaran Mongol. Setelah hampir 200 tahun, muncul tokoh besar dari Uzbekistan bernama Timur Lenk. Inilah awal kebangkitan Uzbekistan, dimulai dari pembebasan dari bangsa Mongol dan dilanjutkan dengan pengembangan budaya sendiri.

Pada era Timur Lenk, Tashkent muncul sebagai pusat ilmu pengetahuan, budaya, dan perdagangan dunia. Dinamika global melalui proses panjang—yang tidak sepenuhnya bebas dari tarik-menarik kepentingan militer, politik, dan ekonomi—membawa Uzbekistan bergabung dengan Uni Soviet pada tahun 1924. Uzbekistan menjadi bagian dari blok Timur selama Perang Dingin. Pada tahun 1991, perang dingin berakhir dan Uni Soviet bubar. “Uzbekistan kembali menjadi negara mandiri, negara merdeka.”

Asia Tengah, Jantung Eurasia

mosaik di stasiun

Secara geografis dan geopolitik, Uzbekistan kini termasuk negara Asia Tengah (Central Asia), kawasan daratan yang terletak di antara Eropa Timur, Asia Timur, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Disebut “Tengah” karena posisinya memang di jantung benua Eurasia. Negara-negara yang termasuk Asia Tengah antara lain Kazakhstan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Wilayah-wilayah ini tidak memiliki laut, didominasi padang stepa, pegunungan, dan gurun.

Perjalanan di Asia Tengah mempertemukan kita dengan peradaban Persia, Turki, Arab, Mongol, dan Rusia. Karena itu, pengaruh Islam, Turki, hingga Soviet masih terasa kuat.

Tashkent, ibu kota Uzbekistan, merupakan kota terbesar di Asia Tengah dengan jumlah penduduk sekitar tiga juta jiwa. Kota modern ini memiliki pencakar langit, hotel dan mal internasional, serta bangunan-bangunan peninggalan era Uni Soviet yang masih berdiri. Jalan utamanya lebar dan lurus khas Eropa Timur, dilengkapi taman serta ruang hijau yang rindang. Tashkent juga satu-satunya kota di Asia Tengah yang memiliki kereta metro bawah tanah.

Sarana metro ini membuat Tashkent semakin dikenal. Stasiun-stasiunnya artistik, dihiasi mosaik indah, hingga disebut sebagai “galeri seni bawah tanah”. Metro Tashkent pertama kali dibangun pada tahun 1977 di masa Uni Soviet, menegaskan statusnya sebagai kota modern. Setelah merdeka, metro ini terus dikembangkan dan kini menjadi tulang punggung transportasi kota.

Metro Tashkent memiliki empat jalur utama dan sekitar 50 stasiun yang tersebar hingga ke berbagai sudut kota, dengan panjang lintasan 70 km. Setiap hari mengangkut sekitar 740.000 penumpang, atau sekitar 270 juta per tahun. Dengan jumlah penduduk tiga juta jiwa, itu berarti hampir 50% pergerakan penduduk setiap harinya bergantung pada metro.

Plov, Nasi Kebuli Uzbekistan

makanan tashkent

Ragam latar budaya Uzbekistan juga memengaruhi kulinernya. Negeri ini punya berbagai variasi makanan pokok. Plov adalah hidangan utama khas Uzbekistan, olahan nasi berbumbu yang kaya rempah. Mereka juga mengenal mie tarik bernama lagman, terpengaruh dari kuliner Uighur Tiongkok, serta roti lepyoshka, roti pipih bundar yang dipanggang dalam tungku tandoor.

Semua sumber karbohidrat ini biasanya disajikan bersama aneka daging dan sayuran. Untuk protein, masyarakat Uzbekistan mengonsumsi domba, ayam, dan sapi. Karena negara ini tidak memiliki laut, ikan dan biota laut harus diimpor. Namun, ikan air tawar dari sungai dan danau lokal tetap menjadi sumber protein penting.

Plov—atau nasi kebuli versi Uzbekistan—sering hadir di meja makan. Kuliner nasional ini terdiri atas tiga komponen utama: nasi (beras panjang bertekstur kenyal seperti beras basmati), daging (biasanya domba yang dimasak seperti kari atau dibakar berbumbu gurih), dan wortel iris panjang yang memberi rasa manis alami serta warna keemasan.

Bumbu plov sederhana, hanya rempah dasar dengan tambahan lemak ekor domba yang memberi aroma kuat. Semua dimasak dalam wajan besi cor besar (kazan), dengan urutan ritual khas: minyak dipanaskan, daging digoreng, beras dimasukkan, air dan bumbu dituang, lalu dimasak tanpa diaduk hingga matang sempurna.

Plov adalah hidangan paling ikonik di Uzbekistan, simbol sejarah dan kebanggaan kuliner bangsa. Di masyarakat Uzbekistan, plov bukan sekadar makanan, tapi simbol keramahan. Pada acara besar seperti pernikahan atau kenduri komunitas, plov dimasak dalam kazan raksasa cukup untuk ribuan orang—bentuk penghormatan bagi tamu sekaligus tanda berbagi rezeki.

Berbicara kuliner Uzbekistan tak bisa lepas dari acar (salatlar kislye dalam bahasa Uzbek). Acar menjadi teman makan utama plov, roti, atau mie. Hidangan utama Uzbekistan cenderung berlemak dan gurih; acar berfungsi menyeimbangkan rasa.

Kebiasaan makan acar ini lahir dari iklim ekstrem Uzbekistan: musim panas sangat panas, sedangkan musim dingin sangat dingin. Saat musim dingin, sayuran segar sulit didapat, sehingga mereka mengawetkannya menjadi acar. Variasinya beragam—mentimun, kubis, sawi, paprika, bahkan semangka.

Acar menjadi bagian wajib di meja makan dan selalu mudah ditemukan di pasar maupun bazar. Di Chorsu Bazar, deretan toples besar berisi acar warna-warni menjadi pemandangan menarik. Dengan kamera ponsel di tangan, sulit menahan diri untuk tidak memotretnya.

Pengalaman Jumatan di Tashkent

jumatan

Hari Jumat di Tashkent kami lewati dengan salat Jumat di Masjid Minor, masjid terbesar di Uzbekistan sekaligus pusat spiritual umat Islam di sana. Sejak berpisah dari Uni Soviet, Islam berkembang pesat, baik dalam sarana ibadah maupun pengkajian keilmuan.

Masjid Minor berada di tepi Sungai Ankhor. Bangunannya dikenal sebagai “Masjid Putih” karena seluruhnya berlapis marmer putih, tampak megah, bersih, dan tenang. Masjid ini tergolong baru—dibangun pada 2014—dan menjadi ikon modern Tashkent. Memiliki dua menara dan satu kubah besar berwarna biru langit. Ruang salatnya luas, didominasi karpet merah dan pencahayaan alami, mampu menampung hingga 2.500 jemaah.

Masjid ini juga terbuka untuk wisatawan non-Muslim, dengan aturan berpakaian sopan dan menjaga ketenangan.

Selain itu, Tashkent juga memiliki masjid bersejarah seperti Masjid Khast Imam, dibangun sejak abad ke-10. Kawasan masjid ini menjadi pusat pengembangan ilmu Islam di Asia Tengah. Di dalam kompleksnya terdapat sekolah keagamaan semacam pesantren, serta perpustakaan Islam yang menyimpan banyak naskah kuno. Di sana tersimpan Mushaf Utsman, salinan Al-Qur’an tertua di dunia yang berasal dari abad ke-7, tidak jauh dari awal penanggalan Hijriah.

Jintan, Kymyz, dan Lepeshka di Chorsu Bazar

chorsu bazar

Chorsu Bazar adalah pasar tradisional terbesar di Tashkent—denyut nadi kota dan jantung kehidupan masyarakat. Dari kejauhan, pandangan langsung tertuju pada kubah biru raksasa yang menaungi aula utama, ikon arsitektur pasar ini. Sejak zaman Jalur Sutra, Chorsu Bazar sudah menjadi pusat perdagangan dan interaksi sosial, tempat orang berbelanja, bersantai, dan berbincang sambil minum teh.

Begitu masuk, aroma rempah langsung menyeruak: ketumbar, jintan, cabai, dan saffron memenuhi udara. Gerai-gerai tersusun rapi dan bersih, dikelompokkan berdasarkan jenis dagangan. Bagian sayur-mayur menampilkan warna-warni hasil bumi Uzbekistan, sementara di sisi lain terdapat kacang pistachio, buah kering seperti aprikot, kurma, dan kismis yang ditata menggunung.

Area daging dan produk susu juga ramai. Potongan daging domba segar berjajar rapi, sementara produk olahan susu seperti yoghurt kental dan keju lokal tersaji dalam berbagai bentuk. Tersedia pula kymyz—minuman tradisional Asia Tengah yang dibuat dari susu kuda betina yang difermentasi. Rasanya sedikit asam, berbusa, dan manis alami. Minuman ini telah menjadi sumber energi para pekerja selama ribuan tahun.

Baca juga: Dari Hagia Sophia hingga Bosphorus: Petualangan Sejarah dan Kuliner di Istanbul

Aroma roti lepeshka (atau non) pun tak kalah menggoda. Tumpukan roti bundar berwarna keemasan terlihat seperti matahari kecil di setiap sudut pasar. Roti ini adalah makanan pokok warga Tashkent. Dipanggang dalam tungku tanah liat (tandoor), adonan sederhana dari tepung, air, garam, dan susu yang diperkaya yoghurt.

Keistimewaan lepeshka terletak pada cara pembuatannya: setelah diuleni, bagian tengahnya ditekan lalu dihias dengan cap kayu bermotif khas—tanda tangan sang pembuat. Saat dipanggang di dinding tandoor, roti matang dalam hitungan menit dengan pinggiran renyah dan bagian tengah tetap lembut.

Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *