Milenianews.com – Taj Mahal adalah simbol cinta abadi. Bangunan ini dibangun oleh Raja Syah Jahan untuk mengenang istri tercintanya, Mumtaz, yang wafat saat melahirkan. Lambang cinta ini berupa mahakarya arsitektur dunia, hampir seluruhnya terbuat dari marmer putih. Marmer ini berubah warna mengikuti cahaya matahari dan bulan, menciptakan kesan magis dan romantis. Taj Mahal diakui UNESCO sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, membuatnya otomatis menjadi impian para wisatawan dan penggemar jalan-jalan, termasuk saya.
Kami tiba di Taj Mahal siang hari, saat marmer putih memantulkan cahaya matahari tengah hari, membuat bangunan terlihat sangat terang. Konon, cahaya pagi membuat marmer putih tampak berkilau dengan rona keemasan. Saat senja, warna marmer menjadi oranye kemerahan dan kemudian bergeser ke perak—ini dianggap momen paling romantis. Malam hari, Taj Mahal tampak kebiruan di bawah sinar bulan, memberi kesan mistis. Kunjungan malam dibatasi, hanya dibuka lima hari dalam sebulan.
Baca juga: Boston, Kota Sejarah yang Menggoda Lidah dengan Lobster Segar
Taj Mahal terletak di kota Agra, sekitar dua jam perjalanan naik mobil dari New Delhi. Bisa juga dijangkau dengan kereta, bus, atau kendaraan pribadi. Saya dan istri berkunjung siang hari, berangkat pagi dari New Delhi menggunakan mobil pribadi yang dikemudikan sobat baik. Sebagai wisatawan asing, kami dikenakan biaya 1.300 rupee, sekitar 250.000 rupiah, termasuk akses ke ruang makam dan halaman belakang yang menghadap sungai lebar. Tiket bisa dibeli online atau langsung di pintu gerbang; kami memilih membeli langsung.
Agra adalah kota bersejarah di negara bagian Uttar Pradesh, sekitar 200 km di selatan New Delhi. Sama seperti kota lain di India, Agra beriklim kering, bisa mencapai 45°C saat musim panas dan turun hingga 12°C di musim dingin. Kota ini berkembang pesat pada masa dinasti Mughal, abad ke-16 hingga ke-17, bahkan sempat menjadi ibukota kekaisaran. Pada masa keemasan ini, lahirlah bangunan-bangunan megah yang masih ada hingga kini, membuat Agra dikenal dunia. Selain Taj Mahal, ada Agra Fort, Fatehpur Sikri, Itimad-ud-Daulah, dan lainnya.
Sekilas, kami berkeliling kota dan makan siang. Agra menyimpan jejak sejarah di setiap sudutnya. Kota ini terletak di tepi sungai besar, bagian utama jika ingin melihat kemegahan dinasti Mughal. Terlihat jelas, Agra bukan hanya Taj Mahal; suasana kota siang hari ramai dan padat, seperti Delhi atau Mumbai. Kota dipenuhi suara klakson, kedai beraroma rempah, hiruk-pikuk gerai tradisional menjual kain, kerajinan, dan teh susu khas India. Di balik hiruk-pikuk itu, jejak sejarah berpadu dengan suasana modern, seperti kota dunia lainnya. Perjalanan ke Taj Mahal dan sekilas kota Agra terasa seperti melangkah ke dua dunia: kejayaan masa lalu dan masa kini yang terus bergerak maju.
Jelajah Taj Mahal, jelajah penuh kagum
Mobil kami, mobil mewah kelas duta besar, diparkir di tempat yang nyaman. Menuju gerbang utama, kami harus menggunakan kendaraan resmi berupa mobil listrik terbuka, mirip kereta golf berukuran besar. Bus terbuka bergerak perlahan melewati jalan lurus dengan pohon rindang. Turun dan berjalan kaki, belum sampai tempat tiket, keramaian sudah terasa—kios-kios berderet menjual suvenir, camilan, dan minuman, plus pemandu wisata yang menawarkan jasanya. Kami dipandu sobat istri diplomat berpengalaman, tapi tetap fokus beli tiket.
Tiket sudah di tangan, antrean di pintu masuk cukup panjang. Pemeriksaan keamanan ketat, menggunakan metal detector setara bandara. Lepas pemeriksaan, Taj Mahal belum terlihat, tetapi suasana kekaisaran Mughal sudah terasa. Halaman dikelilingi bata merah dengan beberapa bangunan arsitektur masa lalu. Jalan setapak mengarahkan pengunjung ke gerbang besar, Great Gate atau Darwaza-i-Rauza. Dari gerbang lengkung ini, bayangan putih Taj Mahal tampak anggun dari jauh.
Melewati gerbang, suasana bata merah berganti dengan cahaya putih terang. Area marmer putih menyambut, dengan Taj Mahal sebagai pusat perhatian. Kami berhenti sejenak untuk mengambil foto ikonik, gerbang membingkai indah Taj Mahal di tengah lorong. Banyak pemandu menawarkan diri, dan kami memilih satu dengan kesepakatan harga yang jelas. Bersama guide, kami bisa berfoto nyaman tanpa terganggu lalu-lalang pengunjung.
Melewati gerbang utama, kami memasuki taman luas bergaya Persia dengan pembagian simetris, dibelah jalan dan kolam menuju Taj Mahal. Namanya Taman Charbagh: “char” berarti empat dan “bagh” berarti taman, sehingga Charbagh berarti taman terbagi empat. Taman ini dipisahkan kolam panjang yang memantulkan bayangan Taj Mahal, indah untuk diabadikan.
Setiap langkah melewati taman, kami terus terpesona melihat kolam bersih, pohon, dan perdu yang terawat. Arsitektur Taj Mahal mengarahkan hati dan pikiran pada keindahan, dengan burung-burung kecil berterbangan. Sepanjang jalan selalu mengambil foto atau minta difoto oleh guide yang melayani dengan baik.
Bangunan indah itu semakin dekat, marmer terlihat halus dan digosok sempurna. Detail ukiran dan kaligrafi batu inlay mulai terlihat. Teknik ini disebut pietra dura, potongan batu semi mulia yang ditanamkan ke marmer putih. Inlay tersebar hampir di seluruh permukaan dekoratif marmer dengan kerumitan berbeda.
Menjelang teras marmer, kami memakai penutup kaki khusus. Dari atas teras, pandangan ke arah taman dan kolam refleksi tampak megah, lebih indah dari level lebih tinggi. Di pintu utama mausoleum, batu inlay kaligrafi hitam mengelilingi lengkung pintu, memuat ayat-ayat Al-Quran sebagai pengantar sebelum memasuki ruang suci. Udara terasa lebih sejuk, cahaya yang tadi terang menjadi hening dan redup, masuk hanya melalui kisi-kisi marmer berukir, menciptakan pola di lantai.
Di tengah ruang utama terbentang dua makam simbolis Mumtaz Mahal dan Syah Jahan, dikelilingi pagar marmer dengan pola halus dan rumit. Kami merenung, mungkin memikirkan cinta abadi yang ditunjukkan dengan kemegahan ini. Itu makam simbolis; makam asli berada di ruang bawah tanah dan tidak terbuka untuk umum. Kami keluar melalui pintu belakang, disambut cahaya yang menyilaukan dari pantulan marmer. Sebelum turun dari teras, sekali lagi menatap ke belakang, merasa kagum, haru, dan lega.
Butter Naan dan Murg Makhani: makan siang India Utara
Jam menunjukkan pukul 14.30 saat mobil kami keluar dari halaman parkir Taj Mahal. Kami menghabiskan sekitar tiga jam di area utama, termasuk antre dan pemeriksaan. Perut terasa lapar setelah berjalan cukup jauh. Sepuluh menit kemudian, mobil berhenti di Priya Restaurant.
Restoran dekat Taj Mahal ini menawarkan masakan internasional seperti Chinese dan continental, tapi utamanya menu otentik India Utara, vegetarian dan non-vegetarian. Saya memesan butter naan dan murg makhani.
Butter naan datang hangat, roti pipih bulat khas India Utara, lembut dengan tekstur kenyal. Roti kecokelatan dengan corak gosong halus karena dipanggang di tandoor. Olesan mentega cair menambah hasrat makan siang.
Baca juga: Menelusuri Jejak di Bukares: Paris dari Timur, Kampus Tua, dan Salad Tomat
Murg makhani, olahan ayam mentega penuh rempah, disajikan dalam mangkuk tembaga. Potongan ayam empuk terserap kuah kari bersantan kental berwarna jingga, perpaduan tomat, krim, dan mentega. Aroma kapulaga dan kayu manis terasa khas kari India.
Butter naan disobek dan dicelupkan ke kuah murg makhani, menciptakan perpaduan rasa India Utara yang lezat. Suapan pertama terasa hangat dan kaya rempah, meninggalkan kesan hangat setelah suapan terakhir.
Setengah jam kemudian, kami menutup makan siang dengan segelas kopi panas. Mobil melaju meninggalkan Agra, sementara saya menoleh sekali lagi ke belakang, kagum dan memberi salam cinta abadi pada Putri Mumtaz.
Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.