Milenianews.com – Sebagai penduduk Jakarta yang padat, dengan kemacetan dan klakson, maka Seoul sesama kota Asia terasa lebih teratur dalam kesibukan dan futuristik. Terasa ada kesamaan dalam semangat mengejar prestasi dan mengejar uang, mirip denyutnya, tapi Seoul menjalaninya dengan lebih efisien dan presisi. Kereta bawah tanah menjangkau banyak titik dalam kota dan tepat waktu, pejalan kaki terlihat tergesa-gesa tapi taat lampu lalu lintas, antrian tertib dan tenang, bahkan di jam padat seperti antri makan siang atau antri bus pulang kerja. Sebagai orang Jakarta, saya berpikir, “Beginilah kalau kita sudah menghargai waktu, termasuk menghargai waktu orang lain.”
Malam hari, Seoul punya kemilau setara kota metropolitan Asia lainnya: Tokyo, Shanghai, Singapore, dan bolehlah Jakarta dimasukkan. Gedung tinggi dengan nyala memukau, lampu neon bersinar memberi tahu tentang merek, lokasi, tapi tanpa polusi visual, tertata. Ada Cheonggyecheon, sungai buatan yang panjangnya sampai 10 km membelah pusat kota Seoul, memberikan wajah lebih ramah dan manusiawi. Banyak warga duduk, jalan, santai di sekitar aliran sungai ini, dengan pencakar langit bercahaya di kiri dan kanannya. Metropolitan yang nikmat: tak ada sampah bertebaran, taman bersih, tanpa pedagang kaki lima sembarangan, dan banyak wanita berjalan sendirian malam hari, artinya kota ini aman.
Baca juga: Shanghai ke Beijing, Melaju di Rel 300 Kilometer per Jam
Urusan berisik, bercanda, dan tawa, Jakarta lebih manusiawi, ada di setiap sudut. Di Seoul, di trotoar, taman, dan ruang publik seperti di Hongdae Playground, di mana musik berbunyi keras, anak muda mengekspresikan tarian K-Pop, koreografi orang muda, tari spontan, tapi semua dilakukan dengan tetap hening, praktis tanpa teriakan atau celetukan yang bikin tertawa. Ada keramaian, kumpulan-kumpulan orang muda duduk di kursi, ndlosor di lantai taman, mereka tampak berbicara tetap tanpa berisik atau tawa yang mengganggu. Seoul memberi kesan seperti kota masa depan dalam film science fiction: disiplin, rapi, tapi sepi. Berbeda dengan Jakarta yang ramai dan penuh kehangatan.
Pasar Malam, Ramai dan Tak Berisik

Kami ke Hongdae, panggilan populer, sebutan singkat, akronim dari Hongik Daehagyo atau Universitas Hongik. Awalnya ini kawasan universitas dengan kampus seni dan desain paling bergengsi di Korea Selatan. Selanjutnya kawasan sekitarnya masuk dalam orbit Hongdae, berkembang menjadi pusat seni, budaya, dan kreativitas anak muda. Masyarakat termasuk wisatawan lebih mengenalnya sebagai Hongdae Area, bukan sekadar nama universitas. Sebagai wisatawan, kesan saya ini adalah ruang publik dengan atmosfer muda dengan energi kreativitas yang begitu terasa. Jalan-jalan dipenuhi toko fashion desainer lokal, kafe orang muda, galeri seni dengan mural mengisi dinding bangunan. Di taman dan ruang di sudut bangunan ada spontan musik jalanan, pertunjukan tari modern, dan ini menjadi hiburan bagi pengunjung.
Hongdae Night Market mulai menampakkan diri saat menjelang malam. Hongdae menjadi lebih semarak warna-warni. Lampu-lampu toko, rumah makan, dan taman menyala terang, menghadirkan Seoul yang bercahaya. Kuliner street food membuka gerainya, ada yang di pinggir taman, ada yang di sepanjang gang sempit, diimbuhi ramai lalu-lalang pengunjung, tetap tertib, bersih, dan relatif tidak berisik. Sebagai warga Jakarta, di sini bisa melihat bentuk pedagang asli jajanan jalanan yang sudah mulai semarak di Jakarta: Korea fried chicken, tteokbokki, kimbab, sekaligus melihat makanan dan konsep penyajian yang belum ada di tempat kita. Telinga kita belum akrab dengan gyeranppang, roti panggang yang di atasnya ada kuning telur utuh; dakkochi, sejenis sate taichan ala Korea; atau yang jenis ekstrem, beondegi, ulat sutera kukus.
Tembok Besar Seoul dan Patung King Sejong

Namhansanseong artinya Benteng Gunung Han Selatan. Ini tujuan wisata di tepi kota Seoul yang sayang dilewatkan kalau ke Seoul, sudah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2014. Situs ini contoh luar biasa dari arsitektur pertahanan Asia Timur, kombinasi gaya militer, politik, dan spiritual. Dibangun untuk perlindungan kepada raja kalau Seoul diserang, dibangun pertama awal abad ke-17, masa Dinasti Joseon. Sempat terpakai pada tahun 1636 ketika Raja Injo Joseon berlindung di sini dari invasi Dinasti Qing.
Terletak di ketinggian 480 meter, benteng ini berada di area Gunung Namhan, berupa tembok sepanjang 12 km mengelilingi kota dengan gerbang, paviliun, kuil, dan menara pengintai yang semuanya masih terawat sampai saat ini. Dari pusat kota Seoul, benteng ini bisa dicapai naik subway line 8 ke Stasiun Sanseong, lalu jalan kaki sekitar 20 menit atau naik bus lokal. Di sekeliling benteng dikembangkan desa tradisional dengan penunjang pariwisata seperti restoran khas Korea dan toko oleh-oleh. Mau mencoba makgeolli, arak beras tradisional Korea? Di sini banyak tersedia.
Ada kawasan pusat sejarah dan budaya di kota Seoul, namanya Gwanghwamun Square. Terletak di jantung ibu kota Korsel. Di sini ada Istana Gyeongbokgung, istana terbesar dari Dinasti Joseon, simbol kebanggaan nasional. Di area ini terbentang jalan lebar yang dikelilingi oleh gedung pemerintahan, lembaga budaya, dan gedung komersial. Wisatawan yang mengunjungi kawasan ini dapat menikmati ruang publik yang besar, tempat ambil foto yang bagus, bisa juga menikmati pemandangan Gunung Bugaksan di kejauhan. Gunung ini juga menjadi latar alami Istana Gyeongbokgung.
Di tengah kawasan square ini ada patung Raja Sejong, Statue of King Sejong, simbol kebanggaan masyarakat Korea. Raja Sejong adalah raja terbesar Dinasti Joseon dan raja bijaksana yang membawa kemajuan besar pada bangsa Korea. Raja ini pencipta sistem tulisan Korea, huruf Hangeul seperti dikenal saat ini, yang menggantikan aksara Tionghoa klasik. Patung raja sedang duduk dengan wajah teduh, mengenakan jubah kerajaan berwarna emas. Kami memilih berjalan kaki di sini, menikmati Seoul yang modern berpadu dengan jejak sejarah.
Seoul Muslim Friendly

Sebagai wisatawan muslim, maka perjalanan di Seoul lebih ramah dibanding Shanghai, Hongkong, Tokyo, atau Hanoi. Mungkin sudah setara dengan Bangkok, karena di Bangkok memang banyak muslim. Bedanya, di Seoul tujuan wisata yang ramah terhadap penganut Islam diperhatikan khusus oleh pemerintah dan dipromosikan. Di tengah gemerlap modernitas dan budaya K-Pop yang sudah merambah dunia, Seoul tetap mengembangkan budaya yang ramah dan penuh hormat terhadap keragaman budaya dan keyakinan. Pemerintah Korea mengembangkan program Muslim Friendly Korea yang memberikan pelayanan dan fasilitas khusus bagi pengunjung muslim. Mereka mendorong dan menyediakan fasilitas agar rumah makan halal berkembang dan jumlahnya makin banyak. Di banyak destinasi wisata populer, pengelola menyediakan ruang salat kecil dan arah penunjuk kiblat serta informasi pendukung lainnya.
Itaewon adalah sebuah distrik internasional yang berlokasi di pusat kota, dekat stasiun sentral, dan bagian dari destinasi utama wisata kota Seoul. Itaewon jadi salah satu pusat kehidupan muslim di Seoul. Seoul Central Mosque berlokasi di Itaewon. Ini masjid pertama dan terbesar di Korea Selatan. Masjid yang berdiri tahun 1976 telah menjadi simbol keberagaman dan toleransi agama di Korea Selatan. Di area ini ada deretan restoran halal serta toko bahan makanan Timur Tengah dan Turki. Wisatawan dapat menikmati kuliner halal seperti bulgogi, bibimbap, ramyun, atau kebab Turki yang semuanya halal. Pemerintah daerah Korea sukses memasarkan wisata halal ke Indonesia melalui beragam media dan promosi mulut ke mulut.
Wisatawan yang berkunjung ke Seoul dan menginginkan makanan halal bisa berpegang pada tiga hal: melihat logo halal certified by KMF, stiker Muslim Friendly Restaurant, atau tulisan “No Pork, No Alcohol”. Sertifikat KMF adalah yang resmi dan paling diakui, dikeluarkan oleh Korea Muslim Federation, Halal Committee. Tulisan sertifikat ini menandakan bahwa produk telah memenuhi standar halal dan tidak ada kontaminasi dari bahan non-halal. Stiker Muslim Friendly dikeluarkan Korea Tourism Organization. Sedangkan tulisan No Pork No Alcohol menunjukkan bahwa restoran ini milik muslim atau belum bersertifikat resmi tetapi menjaga makanan tetap halal. Sistem halal ini terus diperbaiki, semakin teratur dan transparan, sejalan dengan semangat merangkul wisatawan muslim dan menjamin mereka tidak khawatir urusan makanan.
Makanan halal yang umum tersedia di banyak tempat adalah hidangan Timur Tengah dan Asia Selatan. Di berbagai sudut Seoul, pusat keramaian, kita yang muslim sudah lebih mudah menemukan makanan halal Timur Tengah seperti kebab, shawarma, nasi briyani atau kari India, serta falafel dan hummus, makanan ringan berbahan dasar kacang Arab. Untuk makanan Korea, yang banyak dimasak halal umumnya berbahan dasar ikan dan sayuran. Bibimbap—nasi campur dengan telur dan sayuran—adalah makanan utama orang Korea, dan kini sudah banyak yang dijual halal. Gimbap, nasi gulung seperti sushi roll dengan varian isi tuna, telur, dan sayur tanpa daging juga sudah banyak tersedia yang halal. Juga haemul pajeon, pancake gurih berisi campuran seafood dan daun bawang, sudah tersedia yang halal di banyak restoran Korea. Makanan populer siap saji, street food, sudah banyak yang muslim friendly di kawasan wisata; penjualnya keturunan Timur Tengah atau orang Korea yang menikah dengan muslim.
Baca juga: Phnom Penh, Kota yang Hidup dari Cerita di Setiap Sudutnya
Tempat menemukan banyak restoran halal adalah di sekitar Seoul Central Mosque. Masjid ini berdiri di kawasan Itaewon sejak 1976. Masjid ini pertama dan terbesar di Korea Selatan, sekaligus menjadi pusat aktivitas keagamaan serta sosial budaya bagi komunitas muslim di Seoul. Pendirianya dimulai dari dukungan pemerintah Korea Selatan yang menyumbangkan lahan, lalu dibangun atas bantuan negara-negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, sebagai bagian dari politik luar negeri Korea Selatan memperkuat hubungan diplomatik dengan negara-negara Timur Tengah.
Masjid ini memadukan elemen arsitektur Islam klasik dengan sentuhan modern. Dua menara tinggi berdiri di sisi kiri dan kanan bangunan utama, tulisan kaligrafi Allahu Akbar terpampang di bagian depan. Masjid bisa dicapai berjalan kaki 10 menit dari Stasiun Itaewon. Bagi umat muslim Korea yang baru mulai tumbuh, keberadaan masjid ini sangat berarti. Jemaah masjid ini adalah orang Korea muslim, pekerja migran dari Asia Tenggara dan Timur Tengah. Di kawasan sekitar masjid terbentuk lingkungan masyarakat muslim yang disebut Muslim Street Itaewon. Di area ini pengunjung dapat menemukan toko pakaian muslim, toko bahan makanan halal, serta aneka ragam restoran halal yang menyediakan makanan Timur Tengah, India, maupun makanan Korea.
Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







