Musim Dingin di Islandia: Antara Sunyi, Salju, dan Kisah Nordik

islandia

Milenianews.com – Islandia, negara jauh di utara mengarah ke Kutub Utara, posisinya di antara lautan biru yang dingin dan kabut kutub. Islandia, tanah api dan es, negara pulau ini seolah terapung di Samudra Atlantik Utara, dekat dengan Greenland serta bagian timur Norwegia.

Islandia bukan bagian dari Skandinavia daratan, tapi sering disebut Skandinavia karena punya semangat Nordik yang kuat, yaitu semangat masyarakat yang lahir dari sejarah panjang hidup di alam keras dan iklim dingin. Di wilayah yang terisolasi ini, mereka dilatih tangguh, mandiri, dan tabah—ditambah semangat yang tetap akrab dengan alam dan menjaga keseimbangan sosial.

Reykjavik adalah ibu kota Islandia, kota yang menjadi titik pertemuan antara modernitas dan keheningan alam. Dibanding Amsterdam atau Paris, ini adalah kota kecil. Penduduknya 140.000 jiwa; kalau diperluas ke wilayah metropolitan jumlahnya 250.000 jiwa, sementara penduduk Islandia seluruhnya 390.000 jiwa. Artinya dua pertiga penduduk Islandia berada di sekitar Reykjavik. Kepadatan penduduk sangat rendah, hanya 4 orang per kilometer persegi. Memang Islandia adalah negara dengan penduduk paling sedikit di Eropa.

Baca juga: Manila, Kota Dinamis dengan Ragam Cerita

Luas Islandia cukup besar, hampir seluas Pulau Jawa. Tanahnya sebagian besar tidak berpenghuni, berupa gunung, gletser, dan padang lava. Di luar Reykjavik, penduduk banyak tinggal di pedesaan pedalaman dan di wilayah utara. Banyak desa yang penduduknya kurang dari 1.000 jiwa.

Islandia adalah negara yang tidak punya tentara dalam arti militer permanen. Islandia memiliki polisi nasional yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di seluruh negeri. Polisi ini tidak bersenjata dalam tugas rutin karena tingkat kejahatan sangat rendah. Pendekatan sosial, rasa percaya, dan mediasi dipercaya sebagai kekuatan untuk menjaga ketertiban. Walaupun begitu, Islandia anggota NATO sejak 1949 sehingga dilindungi oleh negara-negara NATO, terutama oleh Amerika Serikat.

Islandia memiliki ribuan air terjun dan gletser alami yang selalu memuntahkan air panas setiap beberapa menit. Pengunjung bisa berendam di Blue Lagoon, pemandian air panas berwarna biru susu yang dikelilingi lava hitam. Pulau ini juga menjadi tempat terbaik untuk melihat paus, puffin, dan kuda Islandia. Ini kuda berukuran kecil, tinggi sekitar 130 cm, seperti kuda poni, namun tenaganya kuat seperti kuda besar. Kuda ini dimanfaatkan sebagai alat transportasi jarak jauh di medan terjal, dari gunung es sampai padang lava. Ini kuda ras murni, karena Islandia melarang masuknya kuda impor untuk menjaga kemurniannya.

Negeri yang selalu dingin dan bersalju

negeri bersalju

Pesawat Scandinavian Airlines (SAS) milik Norwegia mendarat di Keflavik International Airport, bandara utama Islandia. Sudah mendekati jam 11.00. Dari balik jendela saya melihat suasana masih kelam: hamparan tanah luas berwarna abu-abu keputihan, campuran salju tipis di tanah hitam, membuat saya serasa berada di dunia yang berbeda. Cuaca menunjukkan suhu 2 derajat di bawah titik beku. Begitu pintu kabin dibuka, angin dingin bertiup menusuk tulang. Udara yang keluar dari mulut berubah menjadi uap tipis di udara.

Di ruang kedatangan, suasana tenang dan tertib. Interior ruang terlihat modern, cahaya redup musim dingin dipadukan material kayu memberi kesan hangat. Petugas imigrasi melayani dengan efisien dan tetap ramah. Bus bandara, Flybus, yang akan membawa ke kota, dipenuhi penumpang berjaket tebal dan topi wol. Aroma kopi hangat dari kafe di bandara sungguh menggoda.

Saat pintu bandara dibuka dan saya berjalan menuju Flybus, hembusan angin dingin langsung menyapu wajah. Daratan hampir rata, ditutupi salju, dengan udara yang terasa sangat bersih. Matahari tengah hari belum menampakkan sinarnya secara penuh.

Perjalanan 45 menit menuju Reykjavik dilakukan dengan nyaman di dalam bus yang hangat. Saya mengambil foto-foto dari jendela bus—negeri dengan alam berbeda jauh dari Pulau Jawa—ini Islandia.

Reykjavik, kota kecil yang menjadi ibu kota negara, tertata rapi dan suasananya terasa damai. Selalu dingin, namun setelah terbiasa, dingin menjadi bagian dari pesonanya sendiri. Kota ini memiliki pemandangan hamparan salju sampai ke pegunungan di kejauhan. Bangunan-bangunan berwarna cerah tampak berderet rapi di bawah langit yang sering berubah warna. Kota ini hidup dan mengesankan; penduduknya ramah, tertib, dan sangat menghargai alam. Rumah, pagar, dan jalan seolah menyatu dengan lingkungan.

Laugavegur adalah boulevard utama, jalan lebar yang terasa lebih luas karena trotoar lurus dan lebar serta bangunan berpagar rendah dan terbuka. Menelusuri jalan utama ini kita akan menemukan deretan kafe, toko makanan, galeri seni, serta butik lokal yang menampilkan karya penduduk Islandia. Karena semuanya tertata rapi dan tertib, suasana terasa santai, ringan, dan tidak tergesa-gesa. Pejalan kaki berjalan cepat lebih karena ingin tetap hangat, menghindari dingin. Banyak orang bersepeda; sesekali mobil lewat. Semuanya menikmati waktu tanpa terburu-buru.

Bangunan gereja yang terinspirasi dari aliran lava beku

gereja

Simbol kebanggaan bangsa Islandia yang memadukan nilai religius, sejarah, dan keindahan arsitektur adalah Gereja Katolik Hallgrimskirkja. Bangunan ikonik yang terletak di pusat kota Reykjavik ini menjadi landmark paling terkenal di negara tersebut. Tidak hanya karena fungsinya sebagai tempat ibadah, tetapi juga karena arsitekturnya yang khas dan simbolismenya yang kuat.

Gereja Hallgrimskirkja memiliki ketinggian 74,5 meter, menjadikannya bangunan tertinggi di ibu kota Reykjavik. Menara ini bisa dinaiki sampai puncak, di mana pengunjung dapat menikmati panorama luas kota Reykjavik, Samudra Atlantik hingga batas cakrawala, serta pegunungan yang mengelilingi pulau.

Gereja ini diambil dari nama penyair dan rohaniwan Islandia abad ke-17, Hallgrimur Petursson. Pembangunannya memakan waktu lama: dimulai pada tahun 1945 dan baru selesai lebih dari empat puluh tahun kemudian, pada 1986. Bentuk gerejanya terilhami oleh lanskap alami Islandia, khususnya kolom batu basal yang terbentuk dari aliran lava beku. Gaya arsitektur modernis yang menyerap elemen alam ini menciptakan kesan monumental dan spiritual yang mencerminkan kekuatan alam Islandia.

Saya menuju pelabuhan tua, Old Harbour, Gamla Hofn. Ini musim dingin. Kota Reykjavik pagi hari diselimuti udara musim dingin; salju malam masih tebal tersisa di tepi jalan dan lapangan. Langit berwarna abu-abu kebiruan, angin laut utara berhembus cukup keras membawa aroma asin yang khas.

Saya berjalan sendirian menuju Old Harbour, kawasan yang menyimpan sejarah sejak awal Islandia terbuka ke dunia luar. Kawasan ini adalah yang paling bersejarah dan paling hidup di Reykjavik. Dahulu, pelabuhan ini merupakan pusat kegiatan nelayan dan perdagangan, tempat bersandarnya kapal-kapal pengarung Samudra Atlantik Utara yang berat dan keras.

Kini pelabuhan tua ini tidak lagi berfungsi dan telah berubah menjadi destinasi wisata. Aroma maritim masih terasa kuat. Jalan-jalan, pos jaga, dan rambu-rambu masih ada, kini menjadi hiasan dan pengingat masa lalu. Bangunan-bangunan gudang tua tetap terawat, dicat warna-warni merah, biru, kuning. Ada yang berubah menjadi toko suvenir, galeri seni, toko makanan, dan kafe. Dari depan kafe, pemandangan mengarah ke Teluk Faxaflói yang tenang. Di kejauhan terlihat Gunung Esja berdiri gagah, puncaknya dan hampir seluruh tubuhnya tertutup salju.

Sun Voyager, Negeri Dongeng, dan ikan cod

reykjavik

Berjalan beberapa ratus meter dari Pelabuhan Tua, ada monumen anggun berwarna perak: Solfar, atau dalam Bahasa Inggris Sun Voyager. Monumen ini dibuat menyerupai rangka kapal bangsa Viking. Monumen diarahkan ke utara, simbol kesiapan berlayar menembus lautan dan angin Arktik. Monumen ini adalah salah satu ikon utama Reykjavik, melambangkan hubungan bangsa Islandia dengan laut dan sejarah keperkasaan Nordik sebagai pelaut.

Sering disebut kapal Viking, tapi senimannya, Jon Gunnar Arnason, mengatakan bahwa itu bukanlah kapal perang Viking asli. Ia menyebutnya kapal impian—simbol perjalanan, kebebasan, dan pencarian arah menuju sinar matahari. Monumen ini terbuat dari baja tahan karat yang dipoles mengilap warna perak.

Dibuat pada 1990 bertepatan dengan peringatan 200 tahun berdirinya kota Reykjavik. Letaknya tidak jauh dari pusat kota dan gedung opera sehingga menjadi titik tujuan wisatawan yang berjalan kaki menikmati laut. Pada musim panas, monumen ini memantulkan birunya langit kutub utara. Pada musim dingin, salju tipis memberikan kesan tenang dan mistis.

Sebagai wisatawan tropis yang jauh melangkah ke Reykjavik, berdiri di Sun Voyager serasa seperti berada di negeri dongeng, di antara masa lalu dan masa depan. Bangsa Viking yang dulu hanya saya kenal melalui komik dan layar ponsel terasa memancarkan semangat Nordik: semangat petualang yang tangguh.

Dari Sun Voyager, pandangan selalu kembali ke arah laut—ke arah utara—seakan menggambarkan harapan dan pencarian makna hidup. Angin utara dan cahaya musim dingin seolah berbisik bercerita tentang keberanian dan ketangguhan manusia menjelajah tanpa batas, melampaui tempat dan waktu.

Baca juga: Di Balik Gemerlap Times Square, Ada Gerobak Halal yang Menggerakkan New York

Udara yang bersih, berada jauh di area kutub utara, dikelilingi laut, membuat kuliner Islandia terasa unik, memadukan bahan-bahan alami biota laut dan darat yang bersih, dipengaruhi iklim serta tradisi bangsa Nordik. Maka Slidring serta fish and chips versi Islandia menggambarkan semua itu saat hadir di meja makan.

Slidring merupakan kuliner tradisional dari daerah pesisir, berbahan dasar ikan laut—cod atau haddock—yang difermentasi untuk mempertahankan kesegaran di cuaca dingin ekstrem. Semua proses masih dilakukan dengan cara tradisional, warisan cara kerja kuno berabad-abad, menghasilkan cita rasa kuat, asin, dan tajam. Slidring disajikan bersama kentang rebus, roti gandum hitam, serta mentega cair.

Kuliner yang memadukan modern dan tradisional tampak pada fish and chips khas Islandia. Bahan utama tetap ikan cod, bisa juga wolffish, tentu dalam kondisi segar dari Atlantik Utara. Ikan dipotong, dilapisi tepung ringan, dan digoreng renyah sampai keemasan. Hidangan ini disajikan dengan kentang tebal dan saus tartar khas. Kedua menu ini menunjukkan bahwa dalam kuliner sekalipun, ada cita rasa masa lampau yang berpadu modernisasi dan pengaruh luar tanpa meninggalkan identitas lokal. Pengalaman yang memperkaya bagi pengunjung—apalagi bagi saya yang berasal dari khatulistiwa.

Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *